Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Peluru Kosong buat Antasari

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMESTINYA sidang pertama kasus pembunuhan dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Antasari Azhar sebagai terdakwa merupakan awal pendedahan mengenai usaha keras jaksa membangun kasus dengan fondasi yang kukuh. Tapi, dari surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis pekan lalu, tidak tampak tanda-tanda upaya gigih itu. Justru yang terasa adalah kesan bahwa dakwaan sengaja diperlemah—entah tujuannya untuk meloloskan Antasari atau ada motif lain.

Kecurigaan mengenai hal itu timbul mengingat surat dakwaan kasus berat ini ternyata hanya enam halaman. Sebuah kasus kejahatan seperti pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen yang disidangkan itu, dengan kait-mengait antarpelaku dan kepentingan, juga motif, yang samar-samar dan tak mudah disingkap, tentulah membutuhkan uraian dakwaan yang lebih terperinci. Sebagian fakta dalam kaitan-kaitan itu memang termaktub dalam dakwaan. Tapi tak ada elaborasi dan pendalaman.

Ibarat menempuh perjalanan ke suatu tempat yang asing, jaksa sudah merasa puas dengan petunjuk-petunjuk jalan yang telah usang dan bahkan tak lengkap lagi.

Menurut surat dakwaan, pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran itu semata merupakan akibat dari urusan perempuan dan pemerasan. Padahal terdapat banyak petunjuk, di luar yang ada dan diikuti oleh penuntut, berdasarkan berita acara pemeriksaan dari polisi, yang mengisyaratkan adanya soal-soal lain. Sayangnya, sekali lagi, tak tampak keinginan untuk menelusuri dan mendalami.

Misalnya berkenaan dengan peran Sigid Haryo Wibisono, pengusaha dan Komisaris PT Pers Indonesia Merdeka, yang juga menjadi tersangka. Dalam pemeriksaan polisi terlihat betapa Antasari begitu mempercayai Sigid—mi salnya, kepada Sigid, Antasari membagi kerisauannya mengenai ancaman Nasrudin. Dan Sigid juga terkesan bisa dengan mudah mengundang Antasari datang ke rumahnya, lalu mengenalkan Antasari dengan orang lain yang punya kepentingan tertentu. Tak ada penjelasan lanjutan tentang maksudnya membantu Antasari dan ”menginvestasikan” Rp 500 juta untuk biaya melenyapkan Nasrudin.

Atau mengapa Antasari bisa berhubungan dengan Nasrudin. Dalam pengakuannya, sebagaimana dicatat di berita acara pemeriksaan, Antasari menyebutkan bahwa Nasrudin sering memberikan informasi tentang perkara korupsi. Tak jelas perkara yang mana saja. Dan yang lebih menuntut penjelasan: dengan tindakannya itu, apa kepentingan Nasrudin?

Lazim terjadi, investigasi kasus kejahatan mesti menjawab enam pertanyaan dasar: siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, pelakunya bisa diketahui, dan teka-teki kejahatan pun dapat diurai.

”Siapa” merupakan pertanyaan paling gampang—itulah korbannya, orang yang diperkosa, dirampok, atau dibunuh. ”Siapa” adalah sasaran sang pelaku kejahatan. Apa yang dia lakukan, kapan dia melakukannya, di mana, dan mungkin bagaimana dia melakukannya biasanya ketahuan setelah kejahatan terjadi.

Yang pada banyak kasus sulit dipahami adalah soal ”mengapa”. Ini bukanlah ”mengapa” yang jawabannya sederhana seperti dia perlu uang, dia frustrasi, marah, kalap, atau dendam. ”Mengapa” yang sulit dijawab sering merupakan hal yang tak begitu jelas, tak selalu masuk akal.

Tapi justru di situlah motif berada, penyebab seseorang melakukan suatu kejahatan sering bersemayam di balik ”mengapa”. Motif memang biasanya bukan unsur legal suatu kejahatan; ia bukan ”niat” atau mens rea, yakni keadaan mental tertentu yang mendorong seseorang melakukan tindakan melawan hukum. Meski begitu, sistem hukum selalu memungkinkan motif dibuktikan demi menunjukkan bahwa alasan terdakwa melakukan kejahatan memang bisa dimengerti.

Ikhtiar untuk menggali segala hal yang membantu pengungkapan motif pihak-pihak yang terlibat dalam pembunuhan Nasrudin itulah yang tak terlihat di berkas dakwaan Antasari. Malah ada fakta yang tak relevan dan bertentangan. Pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Antasari pun hanya mengarah pada dakwaan tunggal, mengenai usaha membujuk untuk, bahkan turut serta, melakukan pembunuhan berencana. Dan untuk itu, jaksa hanya bersandar pada kesaksian Rhani Juliani, perempuan yang diduga menjadi penyebab terjadinya pembunuhan.

Persidangan toh sudah bergulir. Kini, lebih dari siapa pun, posisi jaksalah yang boleh dibilang paling panas. Mereka harus bekerja keras menyediakan dan menghadirkan bukti-bukti yang menopang dakwaannya. Ini pekerjaan yang tak boleh sama kedodorannya dengan saat mereka berusaha menjelaskan kembali dakwaannya karena Antasari mengaku tak paham. Kecuali jika jaksa memang hendak mempermalukan dirinya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus