Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Peluang dan Tantangan Mr. W

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muladi Ketua tim pengacara Wiranto dalam kasus Timor Timur. Tulisan ini adalah komentar atas kolom Rachland Nashidik dalam TEMPO Edisi 2 Mei 2004.

Keunggulan Wiranto (W) terhadap para pesaingnya di konvensi Partai Golkar baru-baru ini cukup mengejutkan, baik bagi para kompetitornya maupun bagi para pendukungnya sendiri. Di atas kertas, mestinya Akbar Tandjung bisa mengungguli peserta konvensi lain karena kedudukannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang sangat strategis, di samping perkiraan koalisi strategis yang dilakukannya dengan salah satu peserta konvensi lain.

Pelbagai spekulasi politik memperkirakan bahwa pertimbangan para peserta konvensi yang memenangkan W, atas dasar kalkulasi terhadap beratnya menghadapi para kompetitor potensial dalam kontes pemilihan presiden 5 Juli 2004 mendatang (Mega, SBY, dan Amien Rais).

Pemikiran cerdas di lingkungan Partai Beringin untuk menggelar konvensi telah menuai pelbagai keuntungan yang multidimensional bagi Partai Golkar, seperti kesempatan melakukan konsolidasi menyeluruh terlebih dahulu sebelum pelaksanaan pemilu 5 April. Selain itu, Partai Golkar juga telah melakukan terobosan sebagai partai reformis untuk secara demokratis melakukan rekrutmen kepemimpinan secara jujur dan adil, transparan, serta terbuka bagi peserta konvensi dari luar.

Capaian luar biasa Partai Golkar tersebut akan mubazir (superfluous) apabila Partai Golkar tidak melakukan langkah strategis secara cepat untuk mengamankan dan menindaklanjuti sukses konvensi. Rekonsiliasi harus segera dilakukan, menghindari langkah yang kontraproduktif seperti isu musyawarah nasional atau musyawarah nasional luar biasa, menjabarkan platform, visi, dan misi partai sebagai bahan kampanye presiden, membentuk tim sukses gabungan antara tim W dan tim DPP dalam satu jaringan komando, melakukan koalisi strategis dan terbatas dengan Partai atau golongan masyarakat yang memiliki konstituen besar dan sebagainya.

Langkah-langkah strategis di atas akan meningkatkan peluang W menuju Istana. Mesin politik Partai Golkar yang andal dan pemolesan ketokohan Wiranto untuk dapat lebih populer di tingkat akar rumput juga akan sangat mendukung. Yang jelas, Partai Golkar sudah sangat profesional dalam hal-hal semacam ini. Struktur, substansi, dan kultur partai secara komplementer telah berpengalaman dalam tiga dekade.

Sikap "siap tempur" Partai Golkar untuk sebagai unity memenangkan calon presidennya hampir pasti akan dihadapkan pada tantangan dan kendala besar di depan, baik yang bersifat alamiah maupun yang merupakan hasil rekayasa politik.

Yang bersifat alamiah antara lain berupa kesiapan kompetitor lain, kelangkaan dana partai, kejenuhan dan kelelahan politik setelah ingar-bingar pemilu legislatif usai.

Rekayasa politik, di samping bisa dilakukan oleh elemen internal partai yang mungkin masih kurang "sreg" terhadap W, juga bisa dikerjakan oleh pihak-pihak di luar Partai Golkar atau bahkan mungkin berasal dari elemen luar negeri yang pada masa lalu tidak diuntungkan oleh Partai Golkar dan militer/W. Mereka yang tidak suka pada Partai Golkar tetap tidak habis pikir, mengapa hanya kurang dari lima tahun partai yang dianggap menanggung dosa terbesar Orde Baru di masa lalu bisa recovered dengan cepat dan terkesan diampuni oleh masyarakat.

Terhadap W, yang sekalipun sudah pensiun masih dianggap merupakan personifikasi dan identifikasi militer, dengan mudah terus dicari kelemahannya. Kedudukannya yang strategis sebagai ultimate commander (Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI) di masa lalu merupakan gudang senjata (arsenal) yang isinya dengan mudah dapat digunakan untuk menyerang W, khususnya dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia berat. Mulai dari kecurigaan akan menerapkan militerisme, selanjutnya tuntutan untuk bertanggung jawab dalam tragedi Mei 1998, kasus Trisakti dan Semanggi, sampai tuduhan terlibat pelanggaran hak asasi berat (gross violation of human rights) di Timor Leste dalam kerangka tanggung jawab komando.

Para propagandis yang berusaha membusukkan W tampaknya secara membabi buta tetap curiga terhadap W sebagai personifikasi militer dan militerisme. Langkah-langkah W di era reformasi, yang berhasil menghapus dwifungsi ABRI, memisahkan Polri dari TNI, dan mencabut status daerah operasi militer di Aceh, tetap dilihat sebelah mata.

Mereka yang telah melakukan propaganda negatif terhadap W juga tidak mau melihat kenyataan bahwa secara keseluruhan tragedi Mei 1998 serta kasus Trisakti dan Semanggi, oleh DPR RI, telah dinyatakan tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi berat yang dapat diadili oleh pengadilan hak asasi.

Unsur kejahatan berupa serangan seperti pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan terhadap penduduk sipil yang bersifat sistematis atau meluas dan merupakan kelanjutan dari kebijakan negara atau kebijakan organisasional untuk melakukan serangan (pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such attack) tampaknya sangat sulit dibuktikan.

Kesulitan untuk menemukan para pelaku lapangan (physical perpetrators) yang menyadari perbuatannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat sistematis atau meluas jelas tidak memungkinkan adanya commanders or superiors yang harus bertanggung jawab, baik secara omisionis maupun secara komisionis.

Tuduhan terjadinya pelanggaran hak asasi berat secara serampangan oleh elemen dalam maupun luar negeri yang tidak suka pada TNI/W (misalnya Amnesty Internasional, Deputy Attorney General Serious Crimes Unit (SCU) Timor Leste, dan International Center for Transitional Justice), yang seolah-olah disamakan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rwanda dan bekas Yugoslavia yang bernuansa ethnic cleansing, amat sangat mengganggu.

W harus dapat menjelaskan ke seluruh dunia bahwa kejadian di Timor Leste harus dipahami dalam kerangka kesejarahan (historical umbrella) bahwa di era reformasi pemerintah RI telah secara demokratis bekerja sama dengan PBB melakukan referendum di Timor Leste, yang hasilnya adalah kemerdekaan Timor Leste. Apabila TNI dan Polri waktu itu berniat buruk, tidak mustahil tidak akan ada referendum di Timor Leste, melainkan pecahnya perang saudara yang berkepanjangan sebagaimana yang terjadi semasa ditinggalkan oleh penjajah Portugis pada 1975.

Indonesia melalui mekanisme domestik sistem peradilan pidana, dan pengadilan hak asasi, telah mendemonstrasikan profesionalisme, independensi, dan sikap tidak memihak, tanpa berusaha sama sekali menciptakan pengadilan dagelan (sham proceeding) untuk melindungi si pelaku.

Standar internasional untuk menilai bahwa pemerintah RI tidak berkehendak dan tidak mampu menggelar pengadilan hak asasi, dan untuk itu asas ne bis in idem harus dikesampingkan, belum sepantasnya diterapkan pada Indonesia.

Atas dasar prinsip primacy dan complementary, seharusnya masyarakat internasional menghormati pengadilan nasional sebagai primary forum, kecuali pengadilan hak asasi Indonesia setelah melalui assessment yang jujur, adil, dan akurat dinyatakan sebagai sham trial.

Dengan demikian, Dewan Keamanan PBB akan tidak bijaksana apabila berusaha membentuk semacam international criminal tribunal untuk Timor Leste atau ingin mendayagunakan hybrid model seperti SCU Timor Leste untuk mengintervensi pengadilan hak asasi Indonesia.

Setiap negara pasti tidak akan membiarkan warga negaranya diadili oleh pengadilan internasional atau pengadilan negara lain yang menerapkan yurisdiksi universal dan akan berusaha menyelesaikan segala persoalan melalui mekanisme domestik secara terhormat.

Contohnya adalah Amerika Serikat, yang atas dasar The American Serviceman Protection Act of 2000 secara intensif telah mengadakan perjanjian bilateral dengan lebih dari 100 negara agar para tentara Amerika yang tergabung dalam peace-keeping force tidak diserahkan ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) bilamana dituduh melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi.

Sukses W dan Partai Golkar sebagai unity untuk memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala serta tantangan tersebut akan menentukan nasib W di masa mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus