Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pembangunan Infrastruktur: Untuk Apa?

Relevansi dan urgensi pembangunan infrastruktur tak perlu lagi dipertanyakan.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Relevansi dan urgensi pembangunan infrastruktur tak perlu lagi dipertanyakan. Sudah sekian lama kita mendambakan pembangunan infrastruktur yang masif seperti sekarang. Namun, bagaimana kita menempatkan pembangunan infrastruktur dalam konteks strategi pembangunan, atau strategi industrialisasi, tampaknya masih perlu berbagai penataan.

Laporan Ease of Doing Business 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dari 190 negara yang disurvei, naik 19 peringkat dari periode sebelumnya. Dengan pencapaian yang progresif, Indonesia dikategorikan sebagai satu dari sepuluh negara paling giat melakukan pembenahan dalam 15 tahun terakhir. Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, peringkat kemudahan berbisnis telah membaik 39 peringkat. Pencapaian penting ini perlu dilanjutkan dan terkonsolidasi dengan kebijakan lain guna menopang kinerja perekonomian.

Infrastruktur sebagai backbone

Peringkat kemudahan berbisnis memang lebih menilai faktor kelembagaan yang banyak menyangkut aspek birokrasi. Namun perbaikan faktor kelembagaan tanpa perbaikan infrastruktur fisik tak akan berdampak signifikan. Apalagi pemeringkatan tersebut menggunakan metode survei atau mengandalkan persepsi para pelaku usaha, baik asing maupun domestik.

Dalam hal kebijakan ekonomi, pemerintah mengandalkan dua pilar program utama, yaitu paket kebijakan ekonomi yang berujung pada pembenahan kelembagaan (perundang-undangan) dan birokrasi serta kebijakan infrastruktur yang hasilnya bisa tampak dan segera dirasakan. Bisa jadi jawaban responden terhadap pertanyaan intangible (birokrasi) lebih banyak dipengaruhi faktor tangible (pembangunan fisik). Apa pun itu, tak bisa disangkal aspek birokrasi dan infrastruktur fisik merupakan jangkar kebijakan tiga tahun terakhir yang perlu sinergi dari waktu ke waktu di masa depan.

Seperti tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah menetapkan Proyek Strategis Nasional terdiri atas 245 proyek. Sebanyak 37 proyek menjadi proyek prioritas, dengan kriteria memiliki dampak ekonomi tinggi. Hasilnya sudah mulai bisa dinikmati. Sepanjang tiga tahun terakhir, terjadi penambahan panjang jalan tol 560 kilometer.

Ada dua isu yang perlu diperhatikan terkait dengan pembangunan infrastruktur yang progresif. Pertama, penjaminan mutu terhadap kualitas pembangunan dengan memperhatikan aspek keselamatan pengguna. Membangun infrastruktur cepat dan masif cenderung diikuti dengan penurunan kualitas. Karena itu, mitigasi terhadap penjaminan mutu tak terelakkan. Kedua, persoalan pendanaan yang mulai membebani anggaran pemerintah (APBN). Itu sebabnya, perlu strategi pendanaan jangka panjang (long term financing strategy) guna memastikan target pembangunan infrastruktur bisa dilaksanakan tanpa menaikkan profil risiko, baik bagi pelaksana proyek (sebagian besar badan usaha milik negara) maupun pemerintah.

Dalam hal pendanaan, pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla diuntungkan dengan penurunan harga komoditas. Subsidi energi bisa dipangkas dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur. Perlu diingat, penurunan harga komoditas juga menimbulkan trade off berupa penurunan penghasilan dari ekspor komoditas yang selama ini sangat diandalkan.

Pembangunan infrastruktur dari pengurangan subsidi harus mampu mendongkrak ekspor yang turun akibat penurunan harga komoditas. Pembangunan infrastruktur tak akan ada gunanya jika tak mampu meningkatkan produktivitas ekonomi domestik. Jika korelasi ini tak diperhatikan, jangan heran bila pembangunan infrastruktur tak diiringi dengan peningkatan pertumbuhan industri, perdagangan, dan ekonomi. Pembangunan infrastruktur harus menjadi bagian dari perubahan orientasi perekonomian yang tadinya berbasis komoditas menjadi berbasis industri manufaktur. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur harus diletakkan dalam konteks strategi industrialisasi.

Strategi industrialisasi

Laporan Ease of Doing Business 2018 menekankan konteks spesifik, yaitu peningkatan lapangan kerja. Hal ini terkait dengan dinamika perekonomian dunia, ketika krisis menghancurkan sektor industri, khususnya negara maju. Dari jantung industri, krisis telah menggeser perkembangan fase industri konvensional menjadi industrialisasi berbasis inovasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Dari situ muncul genre industri 4.0 atau gelombang keempat revolusi industri.

Dalam konteks Indonesia, situasi ini agak dilematis. Di satu sisi, kita ingin keluar dari jebakan negara penghasil komoditas primer. Di sisi lain, jenis industri terbaru tak lagi bertumpu pada penyerapan tenaga kerja, tapi berbasis pada inovasi padat modal. Profesor ekonomi dari Harvard University, Dani Rodrik, memiliki argumen menarik. Tak mungkin pembangunan sebuah bangsa tanpa melewati fase industrialisasi. Dia melihat kasus beberapa negara di Afrika yang meloncat dari perekonomian berbasis komoditas primer menuju perekonomian berbasis jasa. Kalaupun terjadi peningkatan kinerja perekonomian secara umum, biasanya tak akan berkelanjutan, selain disertai gejala kesenjangan.

Berbasis fakta itu, Rodrik berargumen strategi pembangunan ekonomi negara penghasil komoditas primer jangan meloncat langsung ke sektor jasa, tapi harus bersabar membangun sektor industrinya. Pelajaran ini tampaknya relevan dengan kondisi Indonesia. Setelah paket kebijakan diluncurkan untuk merombak birokrasi dan kelembagaan serta pembangunan infrastruktur masif, apa strategi industrialisasi kita?

Pertama, pembangunan infrastruktur perlu direncanakan dalam satu paket pengembangan ekonomi kawasan. Proyek Trans Papua, misalnya, tak akan banyak mengungkit produktivitas perekonomian daerah jika tak dibangun sentra industri yang menggerakkan perekonomian setempat. Papua adalah barometer dalam mengubah haluan perekonomian, dari berbasis komoditas menjadi industri. Pembangunan infrastruktur harus menghubungkan sentra-sentra industri baru di Papua. Dorongan besar (big push) di bidang infrastruktur saja jelas tak mencukupi buat Papua. Persoalannya, dari mana dana untuk mengembangkan sentra industri di sana? Tak mungkin APBN menopang program big push lain.

Kedua, upaya pemerintah bertumpu pada pembangunan infrastruktur dengan menempatkan menteri profesional di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat perlu diimbangi dengan pendekatan yang sama di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Dua kementerian ini sangat vital perannya dalam menghela strategi industrialisasi. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Koordinator Perekonomian perlu berkonsolidasi guna mencapai titik temu yang solid dalam rancang bangun strategi industrialisasi.

Ketiga, pembangunan infrastruktur fisik yang dibarengi dengan program reformasi ekonomi melalui paket kebijakan perlu dikonsolidasikan dengan backbone lain, yaitu roadmap e-commerce. Pendekatan berbasis teknologi digital ini tak bisa ditinggalkan. Pendekatan digital bisa menyelesaikan beberapa kelemahan utama daerah terpencil di pelosok Tanah Air. Infrastruktur fisik berfungsi menyangga daerah utama saja. Untuk masuk ke jantung perekonomian yang lebih dalam, perlu integrasi dengan pendekatan teknologi digital.

Keempat, strategi pembangunan infrastruktur yang terkait dengan pengembangan destinasi wisata merupakan terobosan penting. Penerimaan sektor pariwisata meningkat tajam. Meski begitu, perlu integrasi lanjutan dengan sektor industri lokal agar pembangunan infrastruktur mampu mengkonsolidasikan perekonomian (jasa) pariwisata dengan sektor industri (kreatif) manufaktur lokal.

Kelima, perlu strategi komunikasi yang terencana dan sistematis, baik kepada publik, perangkat di daerah, maupun investor, agar konsolidasi program kerja besar ditangkap jelas oleh semua pihak. Sejauh ini, komunikasi pada publik belum mampu menunjukkan bagaimana integrasi pembangunan infrastruktur dengan pengembangan kawasan, ekonomi daerah, dan strategi industrialisasi secara menyeluruh.

Itu sebabnya, pembangunan infrastruktur harus menjadi penyangga strategi yang lebih besar dan rinci di berbagai sektor ekonomi yang ditangani kementerian teknis. Sudah saatnya pemerintah mengkonsolidasikan semua itu dalam seperangkat kebijakan utuh. Kerja keras memang selalu menyisakan pekerjaan rumah lebih besar. Momentum tersebut harus ditangkap dan sisa waktu harus dimaksimalkan.

Ekonomi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus