Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sukatani sempat didatangi personel Direktorat Reserse Siber Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Personel Polri kerap memaksa warga negara menyebarkan video permohonan maaf dan menghapus konten elektronik.
Intimidasi terhadap Sukatani tidak hanya mencoreng wajah Polri.
PEMBERANGUSAN lagu "Bayar Bayar Bayar" gubahan Sukatani tidak boleh dibiarkan. Intimidasi terhadap band asal Purbalingga, Jawa Tengah, itu menambah panjang daftar pembredelan karya seni yang akhir-akhir ini makin sering terjadi di Indonesia. Fenomena tersebut merupakan pertanda bahwa otoritarianisme telah berada di depan pintu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kamis, 20 Februari 2025, publik dikejutkan oleh unggahan Sukatani di akun Instagram mereka. Dua personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti dan Novi Citra Indriyati, menyatakan menarik lagu "Bayar Bayar Bayar" dari sejumlah platform, seperti Spotify dan YouTube. Keduanya juga menyatakan permintaan maaf kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri atas lirik lagu yang banyak menyerukan frasa "bayar polisi" tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski Sukatani menyatakan keputusan mereka dibuat tanpa paksaan, kecurigaan publik terbukti. Duo electro punk tersebut sempat didatangi personel Direktorat Reserse Siber Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang mempersoalkan lagu "Bayar Bayar Bayar". Detail peristiwa dugaan intimidasi itu belum terang. Namun respons pejabat Polri yang gelagapan menjawab kritik publik sudah cukup mengindikasikan adanya tindakan sewenang-wenang dalam kejadian ini.
Semula, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Artanto mengklaim langkah personel Polri menemui Sukatani sebagai tindakan profesional dalam menjalankan tugas. Belakangan, setelah Jenderal Listyo Sigit menegaskan institusinya tidak antikritik, Artanto menarik pernyataannya. Divisi Profesi dan Pengamanan Polri masih memeriksa enam personel Polda Jawa Tengah yang diduga terlibat dalam intimidasi terhadap band Sukatani.
Kapolri tidak perlu bermanis muka dengan menawari Sukatani menjadi duta lembaganya. Dia sebaiknya memastikan pemeriksaan terhadap kasus dugaan intimidasi yang dilakukan anggotanya berlangsung transparan dan akuntabel. Sudah selayaknya para pelaku dihukum atas tindakan sewenang-wenang. Perkara ini membuat publik makin tidak percaya terhadap profesionalisme Polri.
Jenderal Listyo Sigit juga perlu mengevaluasi sejumlah peraturan internal Polri yang kerap menjadi celah tindakan sewenang-wenang anggotanya. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif merupakan satu di antaranya. Peraturan tersebut mensyaratkan penyelesaian keadilan restoratif pada tindak pidana informasi dan transaksi elektronik melalui permohonan maaf dan penghapusan konten di media sosial.
Pangkal masalahnya, peraturan tersebut menyatakan penanganan bersyarat berlaku di semua tahapan pemeriksaan, baik di penyelidikan maupun di penyidikan. Walhasil, personel Polri kerap memaksa warga negara menyebarkan video permohonan maaf dan menghapus konten elektronik kendati belum jelas duduk perkara tindak pidananya. Tindakan sewenang-wenang yang memberangus kemerdekaan warga negara dan melangkahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) inilah yang diduga dialami oleh band Sukatani.
Intimidasi terhadap Sukatani tidak hanya mencoreng wajah Polri. Lebih dari itu, peristiwa tersebut mencerminkan gejala kemunduran demokrasi di negara ini. Dalam beberapa waktu terakhir, pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi yang semestinya dilindungi konstitusi makin sering terjadi, menyasar karya seni yang memuat kritik sosial.
Kita belum lupa pembatalan pameran tunggal Yos Suprapto yang bertajuk "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" di Galeri Nasional Indonesia pada Desember 2024 dan pementasan teater Wawancara dengan Mulyono di Institut Seni Budaya Indonesia pada Februari 2025. Sebelumnya, pembredelan karya seni juga marak terjadi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Makin ke sini, pemerintahan setelah Reformasi 1998 malah makin meniru gaya Soeharto, Joseph Stalin, Adolf Hitler, Augusto Pinochet, dan banyak pemimpin diktator lain yang cemas terhadap karya seni karena bisa menggugah kesadaran kritis masyarakat dan mengancam kekuasaan mereka.
Demokrasi yang sudah dilemahkan di era Jokowi bakal makin megap-megap jika kita terus berdiam diri. Apalagi ada kecenderungan, di bawah Presiden Prabowo Subianto, pemerintah tidak hanya menunjukkan gelagatnya yang makin sentralistik, tapi juga antikritik dan militeristik—resep bagi hadirnya kekuasaan yang absolut. ●