Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terlepas dari hiruk-pikuk masa kampanye, pemilihan umum bukanlah sebuah gelanggang perang partai. Kegiatan ini sebenarnya adalah bagian terpenting dari sistem kepemimpinan nasional di negara demokratis. Kualitas hasilnya sangat ditentukan oleh peran setiap warga. Karena itu, mengikuti pemilu yang demokratis adalah kewajiban bagi mereka yang mencintai bangsanya.
Bahwa upaya ini dilakukan secara teratur dalam periode tertentu jelas ada sebabnya. Yang utama karena tantangan sebuah bangsa selalu berubah bersama dengan bergulirnya waktu. Karena itu pemimpin yang dibutuhkan dalam sebuah kurun niscaya berbeda dengan kurun yang lain. Pemilihan umum merupakan pintu politik untuk mengganti pemimpin lama dengan tokoh yang lebih pas dalam menghadapi tantangan yang baru.
Kini bangsa Indonesia tengah sibuk mengetuk pintu politik itu. Belasan ribu kursi wakil rakyat di tingkat kabupaten, kota, provinsi, dan nasional sedang dalam sorotan. Penduduk lamanya sedang ditilik apakah telah menjalankan amanat rakyat pemilih dengan baik dan masih sesuai untuk menghadapi tantangan masa depan. Sementara itu, ribuan tokoh lain ditimang untuk dipertimbangkan kelayakannya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Lantas giliran calon presiden dan wakil presiden yang akan mendapat kesempatan untuk dipilih rakyat secara langsung pada putaran pertama pada 5 Juli nanti, dan mungkin pada putaran kedua pada 29 September, jika belum ada pasangan yang meraih dukungan lebih dari 50 persen.
Bila pemilu ini berjalan baik, bangsa Indonesia akan mempunyai jajaran pemimpin baru atau—setidaknya—yang mendapat mandat baru. Di bawah kepemimpinan mereka, Indonesia diharapkan melaju menempuh berbagai tantangan untuk mendekati tujuan yang dicita-citakan: menjadi negara yang modern, adil, dan sejahtera. Pertanyaannya kemudian: apakah mereka memang yang terbaik untuk menjalankan peran ini?
Jawabannya tergantung di pundak para pemilih. Harus diakui bahwa pilihan mereka tak akan sempurna adalah sebuah keniscayaan. Selain karena sebagian besar rakyat Indonesia dibesarkan di bawah pemerintahan yang bukan demokratis, sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung seperti sekarang ini belum pernah dilakukan. Anggota Dewan Perwakilan Daerah bukan kader partai. Wakil rakyat di parlemen dipilih tidak hanya berdasarkan partainya, tapi juga nama pribadi.
Semua itu adalah bagian dari jalan panjang demokratisasi. Pengalaman bangsa lain menunjukkan ini bukan perjalanan yang bebas gejolak. Namun gejolak tak serta-merta berarti negatif. Sebab, setiap penjelajahan ke wilayah baru—dalam hal ini menuju dunia modern—selalu mengandung unsur trial and error alias coba-coba. Maka error atau kesalahan harus diterima sebagai biaya belajar. Yang harus dijaga hanyalah agar kesalahan yang terjadi sekecil mungkin, sedangkan jarak yang dijelajahi semaksimal mungkin.
Untuk meminimalkan error ini ada beberapa panduan. Masa lalu, kendati bukan segalanya, adalah salah satu titik acuan. Hasil jajak pendapat—tentu yang kredibel saja—merupakan titik penting yang lain. Kombinasi keduanya jelas wajib diperhatikan.
Bila hal ini dilakukan, ada beberapa kesimpulan yang menarik. Para pemilih umumnya menganggap tantangan terbesar bangsa ini di masa depan adalah memulihkan ekonomi, setidaknya selaju di era keemasan Orde Baru. Setelah itu, dalam persentase yang jauh lebih kecil, adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Apakah ini berarti rakyat merindukan era Orde Baru seperti dipercaya para tokoh yang berkampanye tentang sukses partainya di masa itu? Atau dengan partai baru yang mencanangkan diri sebagai "antek Soeharto"? Hasil pemilu nanti akan menjawab pertanyaan ini. Namun, bila kerinduan ini memang terbukti, ongkos kekecewaan yang diraih akan sangat tinggi. Sebab, sukses di masa minyak masih melimpah, hutan masih rimbun, dan bantuan asing lancar mengucur, tak mungkin diulang di masa kini.
Mari perhatikan apa yang terjadi pada ekonomi negeri ini sekarang. Dilihat dari kacamata pemerintah, Indonesia telah beralih dari pengekspor minyak menjadi pengimpor (net-importer). Hutan telah banyak yang berubah menjadi padang ilalang. Sedangkan kucuran pinjaman dan bantuan asing dalam anggaran pendapatan dan belanja negara tahun ini tercatat hanya sekitar Rp 28 triliun, sementara bunga dan utang luar negeri yang harus dibayar mencapai lebih dari Rp 44 triliun. Artinya, dampak dana luar negeri di kocek pemerintah justru negatif.
Ini membuat pemerintah Indonesia semakin bergantung pada pendapatan pajak, yang di era Orde Baru terkesan diabaikan, sehingga proporsi pembayar pajak negeri ini adalah yang terendah di kawasan Asia Tenggara sekalipun. Itu sebabnya upaya peningkatan pendapatan pajak harus dilakukan oleh pemerintah masa depan jika perekonomian ingin dipulihkan. Hal ini hanya dapat tercapai jika aparat pemerintah lebih bersih dan berwibawa, karena korupsi besar negeri ini bukan pencurian uang di APBN, melainkan patgulipat antara pembayar pajak dan aparat pemerintah.
Iklim buruk ini jelas harus diubah. Karena itu, jika ingin ekonomi negeri ini pulih, jangan pilih mereka yang dikenal akrab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Negeri ini memerlukan sang pemenang, yang bangkit dan tegak tanpa sokongan penjualan hutan, minyak, dan utang luar negeri seperti di masa lalu. Untuk itu, pintu politik telah terbuka lebar. Gunakanlah hak pilih Anda sebaik-baiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo