Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Pencitraan

Imron Samsuharto*

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pencitraan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Publikasi pada galibnya bisa muncul melalui sarana media yang beragam. Sarana yang kini akrab di tengah publik adalah media sosial melalui jalur online- lantaran keunggulannya: mudah diakses. Sarana lain, seperti media cetak dan media elektronik, masih digunakan, tapi tak sesemarak media online. Dalam skala terbatas, koran atau majalah masih dibaca orang dan radio pun masih didengarkan.

Apa pun medianya, hal hakiki yang menjadi pokok penyampaian adalah publikasi itu sendiri. Melalui publikasi, apa dan siapa yang tadinya bukan siapa-siapa bisa menjadi sosok fenomenal. Itu bisa menyangkut profil ketokohan seseorang di berbagai bidang, lembaga pemerintah atau nonpemerintah, keindahan suatu tempat wisata, dan sebagainya.

Substansi dari publikasi itu dinikmati masyarakat luas yang biasa disebut publik. Namun masyarakat juga yang menjadi korban publikasi jika publikasi itu menyesatkan. Pada media cetak dan elektronik, hal ini bisa dikatakan “aman terkendali”, apalagi ada lembaga khusus yang mengawasinya. Sedangkan pada media online kerap ditemukan publikasi bernada negatif dan sumbang, bahkan cenderung liar, misalnya menyudutkan pihak lain, beropini secara tidak benar dan menyesatkan, menghasut dan memfitnah, atau merekayasa suatu kebohongan seolah-olah itu hal yang sungguh terjadi.

Publikasi profil ketokohan seseorang tak pelak menimbulkan pro-kontra. Hal itu tak melulu ditujukan pada sosok tokohnya, tapi bisa juga menyasar lembaga tertentu. Terlebih jika dikaitkan dengan situasi politik yang kian panas, nilai-nilai publikasi itu cenderung keruh. Apabila tokoh atau suatu lembaga terpublikasi dengan deretan prestasi, itu dianggap pencitraan. Tampaknya, isu pencitraan akan terus bergulir hingga detik-detik pesta demokrasi 2019, bahkan setelah “pesta” itu nanti.

Sejatinya, apakah pencitraan berkonotasi negatif? Pencitraan berasal dari kata citra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata citra antara lain berarti (1) rupa; gambar; gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Dengan demikian, secara simpel pencitraan berarti perihal gambaran tertentu pada seseorang atau lembaga. Apakah berkonotasi negatif atau positif, itu bergantung pada sifat atau substansi yang menyertai pencitraan tersebut.

Dalam panggung politik, terasa ada nada sumbang jika terdengar kata pencitraan yang disematkan pada tokoh atau lembaga tertentu. Padahal substansinya belum tentu negatif, malah bisa positif dan boleh jadi dipublikasikan oleh pihak yang independen. Namun respons dari pihak yang kontra menjadikan pencitraan berkonotasi negatif. Efeknya, publik atau masyarakat luas—dalam media online disebut netizen atau “warga-net”—yang menjadi sasaran publikasi pun turut terhanyut pada anggapan bahwa pencitraan itu negatif.

Misalnya, “Ekonom Indef, Dradjad Wibowo, menilai pengumuman hasil negosiasi pemerintah dan Freeport cenderung berlebihan dan penuh pencitraan” (“Ekonom Indef Kritik Negosiasi Pemerintah--Freeport: Pencitraan”, Tempo.co, 13 Juli 2018).

Dalam contoh di atas, terasa sekali bahwa kata pencitraan itu bermuatan negatif, seperti “cari muka” atau “cari perhatian”, yang semestinya kurang patut dilakukan. Namun itu sudut pandang penilai atau pengkritik. Tentu beda halnya dengan pihak yang dikritik.

Agaknya, kata pencitraan menjadi momok dalam jagat perpolitikan kini. Konotasi negatif pada istilah pencitraan telanjur menancap pada masyarakat luas lantaran gencarnya publikasi itu sendiri, baik lewat layar kaca maupun Internet. Ingar-bingar menjelang Pemilihan Umum 2019 pun turut menciptakan suasana gaduh yang memungkinkan istilah pencitraan itu terlontar ribuan kali ke tengah publik.

Seperti dimafhumi, pada 17 April 2019, pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden akan berlangsung bersamaan. Terbayanglah betapa hiruk-pikuknya suasana menjelang hingga saat berlangsungnya pesta demokrasi itu di Nusantara.

Tentu saja para calon anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden memiliki tim kampanye yang bertugas mengampanyekan program serta visi-misinya melalui berbagi media. Dalam ajang kampanye itulah istilah bernada sumbang pencitraan akan muncul bertubi-tubi, baik tak disengaja maupun direncanakan. Menjaga citra itu penting, tapi pencitraan sangat boleh jadi tetap menjadi cibiran dan sindiran di mana-mana.

*) EDITOR ONLINE

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus