Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kata, Kata, Kata

Apakah yang ingar-bingar dalam politik, yang membuat bising dan menggerakkan hati, yang membuat kita percaya dan tidak percaya? Kata.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kata, Kata, Kata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pidato, debat, janji, dusta, iklan, spanduk, poster, Twitter, Facebook, pesan WA, dan tulisan ini—semua dibangun dengan kata, dalam kata, dari kata.

Penyair Subagio Sastrowardoyo menulis:

Asal mula adalah kata

Jagat tersusun dari kata

Di balik itu hanya

ruang kosong dan angin pagi

Bait ini tak berangkat dari Twitter. Ia datang dari kalimat Injil yang terkenal itu, “Pada mulanya adalah kata.”

“Kata” dalam kalimat itu konon terjemahan dari logos. Apa makna logos tampaknya jauh dari yang lazim kita pahami sebagai sekadar “kata”. Sebab jika kita percaya bahwa “asal mula adalah kata”, bagaimana dengan Tuhan, yang diakui sebagai asal yang paling asal, awal yang paling awal?

Sejak Yohanes menuliskan kalimat Injil itu, beratus-ratus tafsir telah ditulis; ada yang menerjemahkan bahwa Kata, atau Firman, sama dengan Tuhan; keduanya tak terpisahkan; tapi saya tak yakin saya sanggup mempersoalkannya di sini. Yang jelas, sajak Subagio memperluas pengertian dan daya kekuatan “kata” sejauh-jauhnya:

Kita takut pada momok karena kata

Kita cinta kepada bumi karena kata

Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap dalam kata

 

Mungkin benar: kita mengenal diri, mengenal dunia dan yang bukan-dunia, sejak kita dengar ibu kita memanggil kita “nak” atau “sayang”, sejak kita mendengar dongeng kancil dan kuntilanak, sejak kita mengaji atau membaca doa sebelum makan. Sejak itu, bahasa membentuk kita. Tidak hanya dalam perilaku sosial, tapi juga dalam dunia kita yang paling privat—dunia tempat kita berkata-kata dalam hati, merenung atau melamun.

Pada gilirannya, kita mengikuti bahasa—bukan bahasa yang mengikuti kita. Saya bukan subyek yang dalam berbicara sepenuhnya menentukan. Membaca sajak Subagio seperti membaca kembali Heidegger. Begitu perkasanya kata, hingga “yang kita ucapkan hanya mengikuti bahasa terus-menerus”. Die Sprache spricht, bahasa itulah yang berbicara.

Seseorang malah bisa menampilkan personanya atau menyembunyikan sesuatu dari dirinya di balik bahasa:

Karena itu aku

bersembunyi di belakang kata

Dan menenggelamkan 

diri tanpa sisa

 

Tapi benarkah tak ada lagi sisa? Tak adakah yang lain dari bahasa?

Sajak Subagio mengatakan, di balik bahasa hanya ada “ruang kosong dan angin pagi”. Tapi sebenarnya ada yang lain. “Angin pagi” hadir dalam persepsi kita: terdengar desaunya oleh kuping kita, menyentuh kulit kita, mengusap rambut kita. Dan keheningan hadir karena telinga kita menangkap sesuatu yang semula ada dan kemudian tak ada. Dengan kata lain, di luar bahasa—sebelum bahasa—ada pancaindra, ada tubuh.

Ada sebuah sajak Subagio yang lain yang saya hafal:

Ah, baik diam dan merasakan keramahan 

pada tangan yang menjabat dan mata merindu 

 

Diam, tanpa kata, membuka kemungkinan merasakan kehadiran tubuh. Tangan berjabat, mata menatap kangen—semua itu pengalaman konkret yang tak diwakili kata-kata. Kita tahu, dalam hidup, ada hal-hal yang tak dapat dan tak perlu diwujudkan secara verbal.

Tapi, pada saat yang sama, yang tak terkatakan itu mau tak mau akhirnya masuk ke dunia bahasa, meskipun tak akan utuh. Apalagi dalam pengalaman religius. Dengan kata lain, dalam kehidupan religius yang nonverbal itu pun kita tak bisa meninggalkan bahasa dan tubuh. Bahkan dalam bertapa dan bersemadi, dalam puasa dan salat, tubuh adalah unsur yang selalu hadir, baik untuk dikendalikan maupun untuk digerakkan sebagai unsur penting dalam ritual.

Dalam Also sprach Zarathustra, Nietzsche menggambarkan tubuh—yang sering ditampik ajaran-ajaran agama seperti oleh kalangan Calvinis dan Wahabi—sebagai kehidupan yang tak mudah disederhanakan:

Tubuh adalah sebuah kecerdasan amat besar, sebuah kemajemukan dengan satu makna, satu perang dan damai, satu kawanan ternak dan gembala.

 

Dari tubuh yang kompleks itu bahasa datang. Ia muncul bukan dari ego yang tak berjasad. Bunyi kata, yang menentukan artinya, dibentuk bibir, lidah, dan gigi.

Agaknya kita perlu ingat itu. Bahasa dan tubuh membentuk komunikasi—dengan kehadiran yang lengkap, dengan rengut dan senyum, dengan bunyi konsonan dan vokal dari mulut. Kita sering melupakan ini di zaman ketika kata-kata bergerak di dunia maya.

Kita pernah menyangka Internet, seperti bahasa, akan mempermudah hubungan antarmanusia. Kini dalam proses politik digital, justru sebaliknya yang terjadi: orang berhimpun untuk memuja atau membenci tanpa tubuh mereka yang kompleks dan nisbi, yang memungkinkan “tangan menjabat” dan “mata merindu”.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus