Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gonjang-ganjing lonjakan harga tiket pesawat selama dua pekan terakhir hanya asap dari api yang mesti segera dipadamkan dalam industri penerbangan nasional. Banyaknya maskapai penerbangan domestik saat ini tak berarti telah melahirkan kompetisi yang sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha sepatutnya mengusut persoalan ini untuk melindungi konsumen pengguna jasa penerbangan.
Keputusan maskapai yang serentak menaikkan harga tiket pesawat rute domestik—hingga lebih mahal ketimbang penerbangan luar negeri—sungguh mencurigakan. Keputusan salah satu maskapai menjual kursi lebih mahal lazimnya dimanfaatkan pesaingnya untuk meraup penumpang dengan mempertahankan harga yang lebih murah. Kekompakan operator pesawat, yang berulang ketika lewat Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) bersepakat menurunkan harga untuk meredam kritik publik dan teguran pemerintah, makin menguatkan dugaan kartel bersemi di industri ini.
Tudingan itu bukan yang pertama dialamatkan kepada mereka. Satu dekade lalu, KPPU juga menghukum sembilan maskapai penerbangan dalam perkara kartel penetapan biaya bahan bakar yang dibebankan kepada penumpang (fuel surcharge). Kala itu, Komisi mengungkap biaya yang ditetapkan maskapai—juga setelah adanya perjanjian di tubuh INACA—jauh lebih tinggi dibanding nilai aktual penghitungan penyelidik.
Mahkamah Agung memang menganulir putusan itu pada 2012. Namun itu tak berarti praktik kartel oleh maskapai penerbangan tak terbukti. Putusan KPPU dibatalkan lantaran INACA mencabut surat perjanjian dan fuel surcharge dianggap bukan sebagai “harga” yang pantang ditetapkan lewat kesepakatan antarpelaku usaha. Itu sebabnya kejanggalan harga tiket pesawat kali ini sepatutnya menjadi pintu bagi KPPU untuk kembali membongkar kartel industri penerbangan. Kartel bukan tak mungkin terjadi sebelum harga serentak melonjak.
Struktur bisnis industri penerbangan tampak makin menyuburkan praktik ini. Jika dicermati, meski banyak maskapai, penerbangan domestik kini praktis dikuasai dua grup: Garuda Indonesia dan Lion Air. Pengambilalihan operasi Sriwijaya Air oleh PT Citilink Indonesia, anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk, membuat penguasaan pasar grup maskapai milik negara itu meningkat menjadi sekitar 42,9 persen. Sedangkan Lion Air Group—termasuk Batik Air dan Wings Air—mencapai 50 persen. Kondisi ini menunjukkan struktur oligopoli yang rentan membuka pintu kartel dan melahirkan praktik persaingan usaha tak sehat.
Kartel di industri penerbangan harus diperangi. Dampak kartel, seperti pandangan banyak pakar persaingan usaha, lebih buruk dibanding korupsi. Kesepakatan harga antarpelaku usaha secara langsung dapat merugikan masyarakat pengguna barang atau jasa karena mereka terpaksa membayar lebih mahal dari seharusnya.
Pemerintah juga semestinya menjamin penumpang terlindungi dari penetapan harga yang eksesif oleh maskapai. Kementerian Perhubungan patut segera mengevaluasi kebijakan penetapan tarif batas bawah. Kajian KPPU lima tahun lalu telah merekomendasikan ketentuan tersebut dihapuskan lantaran berpotensi membuat harga tiket pesawat makin mahal. Alih-alih melakukan inovasi bisnis agar industri makin efisien, maskapai lewat asosiasi selalu mengusulkan kenaikan tarif batas bawah setiap kali beban operasional bertambah.
Industri aviasi banyak negara, termasuk Indonesia, memang menghadapi periode suram setelah terhantam pelemahan nilai tukar mata uang dan melonjaknya harga bahan bakar. Tapi kondisi ini tak patut dijadikan dalih maskapai untuk berbuat seenaknya terhadap penumpang yang menghidupi bisnis mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo