Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo terus mempersulit pendirian rumah ibadah. Bukannya mencabut peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 yang restriktif, Jokowi kini akan menandatangani Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama yang substansinya juga kebablasan. Jika draf itu lolos, kaum minoritas bisa jadi bakal lebih sulit memiliki rumah ibadah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Draf tersebut, misalnya, masih mempertahankan syarat 90/60 yang tidak jelas asal-muasalnya. Dibutuhkan 90 tanda tangan pemeluk agama di satu kelurahan yang ingin mendirikan rumah ibadah serta 60 penduduk di kelurahan yang sama untuk meneken surat persetujuan. Syarat itu kerap menjegal proposal pendirian tempat sembahyang. Padahal hidup beragama, juga memiliki rumah ibadah, adalah hak setiap individu. Negara seharusnya memfasilitasi, bukan malah menihilkan hak tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan pada draf juga tak mengeliminasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Bahkan FKUB—yang salah satu tugasnya merekomendasikan pendirian rumah ibadah—dibentuk pula di tingkat pusat. Hasil studi Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina pada 2020 menunjukkan kegiatan FKUB sering bersifat seremonial dan tak efektif memberikan rekomendasi. Dalam praktiknya, lembaga itu justru kerap ikut-ikutan menolak pendirian rumah ibadah.
Setelah 17 tahun berlaku, peraturan bersama dua menteri tak terbukti mampu memperjuangkan hak minoritas untuk beribadah. Hingga kini, misalnya, di Kota Cilegon, Banten, tak ada satu pun gereja, wihara, ataupun pura berdiri. Sementara itu, berdasarkan catatan Kementerian Agama pada 2019, ada 382 masjid dan 287 musala di sana. Lebih dari 8.000 pemeluk Kristen di Cilegon yang ingin beribadah harus melaju ke daerah lain yang memiliki gereja.
Di wilayah seperti Cilegon, bibit intoleransi tumbuh subur. Pada 2022, Setara Institute menobatkan Cilegon sebagai kota paling intoleran se-Indonesia. Namun intoleransi justru menjadi dagangan politik para pejabat. Ketika masyarakat menolak pendirian Gereja HKBP Maranatha pada tahun lalu, kepala daerah hingga anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Cilegon ikut meneken petisi penolakan. FKUB pun mengeluarkan rekomendasi agar tak ada gereja di daerah ini. Para pejabat yang menghalangi pendirian rumah ibadah itu tak mendapat sanksi apa pun.
Dengan berbagai kelemahannya, draf aturan kerukunan beragama yang kini berada di meja Presiden Jokowi akan terus membuka ruang persekusi oleh kelompok mayoritas. Untuk meluruskan konteks, kelompok mayoritas di beberapa daerah beragama nonmuslim. Mimpi lebih buruk bisa dialami para penghayat kepercayaan yang tak termaktub di dalam aturan itu. Setiap saat mereka bisa saja terusir karena beribadah di sanggar yang tak masuk kategori rumah ibadah.
Baca liputannya:
Aturan anyar yang akan diteken Presiden Jokowi tak bisa memberikan rasa aman untuk beribadah bagi para pemeluk kepercayaan. Daripada menambah persoalan baru, Jokowi lebih baik mencabut pangkal persoalan pendirian rumah ibadah, yakni peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006.
Hampir dua periode penuh berkuasa, Jokowi terus membiarkan aturan itu berlaku. Jika ia punya nyali mencabut aturan tersebut, sebenarnya, ia bisa meninggalkan warisan yang nyata untuk kehidupan beragama di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kian Susah Membangun Rumah Ibadah"