Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rancangan perpres rumah ibadah masih mencantumkan syarat 60/90 KTP.
Kewenangan FKUB memberi rekomendasi pendirian rumah ibadah dihapus.
Peran penganut kepercayaan belum terakomodasi.
RAPAT di kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteng, Jakarta Pusat, pada Januari lalu mulanya tak membahas Rancangan Peraturan Presiden tentang Kerukunan Umat Beragama yang mengatur pendirian rumah ibadah. Kala itu Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang juga menjabat Ketua Dewan Pertimbangan MUI, mengumpulkan anggota timnya untuk membahas isu lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas rapat, Ma’ruf berbincang santai dengan sejumlah petinggi MUI. DI tengah obrolan, Ma’ruf Amin menyinggung isi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 yang mengatur urusan kerukunan umat beragama hingga syarat pendirian rumah ibadah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ma’ruf mengaitkan peraturan lawas itu dengan rancangan peraturan presiden tentang rumah ibadah yang kini tengah digodok sejumlah pihak bersama pemerintah. Sejak akhir 2020, pemerintah sudah menyiapkan rancangan perpres tersebut. MUI ikut dalam pembahasan aturan anyar itu. Perpres ini akan menggantikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Rencananya, sejumlah syarat pendirian rumah ibadah akan berubah.
Dalam pertemuan itu, Ma’ruf berpesan agar MUI ikut mendukung sejumlah pasal yang dianggap baik dalam Peraturan Bersama Dua Menteri untuk dipertahankan. “Jangan diubah, nanti terjadi benturan,” kata Ketua MUI Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Yusnar Yusuf menirukan ucapan Ma’ruf dalam pertemuan itu kepada Tempo pada Jumat, 8 September lalu.
Petugas kepolisian melakukan olah tempat kejadian perkara kasus penyerangan di Gereja Katolik St. Lidwina di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Februari 2018/Antara/Andreas Fitri Atmoko
MUI menjadi pihak yang aktif memberi masukan dalam pembahasan rancangan perpres. Sudah lama MUI ingin ketentuan di Peraturan Bersama Dua Menteri soal rumah ibadah bisa diatur dalam regulasi yang lebih tinggi seperti perpres hingga setingkat undang-undang.
Baca: Tak Ada Perlindungan di Rumah Tuhan
Namun MUI meminta sejumlah klausul tetap dipertahankan. Salah satunya syarat 60/90 pendirian rumah ibadah yang tercantum dalam Peraturan Bersama Dua Menteri. Lewat syarat ini, kelompok yang hendak mendirikan rumah ibadah mesti mengantongi dukungan dari 60 warga setempat dalam bentuk fotokopi kartu tanda penduduk yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Selain itu, permohonan izin mesti menyertakan fotokopi 90 KTP pemeluk yang akan menggunakan rumah ibadah itu. “Pasal yang mengatur soal itu di Peraturan Bersama Dua Menteri sudah bagus,” ucap Yusnar.
Juru bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi, mengaku tidak mengetahui persis pesan yang diungkapkan Ma’ruf dalam pertemuan di kantor MUI pada awal tahun itu. Namun Masduki membenarkan kabar bahwa Ma’ruf pernah meminta agar beberapa kesepakatan yang sudah dicapai selama ini dalam Peraturan Bersama Dua Menteri tidak mudah dirusak begitu saja. “Ada beberapa hal yang masih relevan untuk dijaga,” tutur Masduki.
Peraturan Bersama Dua Menteri diteken pada 21 Maret 2006 oleh Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni dan Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf. Aturan ini memuat sejumlah pasal, contohnya syarat pendirian rumah ibadah. Ada pula pasal yang mengatur peran forum kerukunan umat beragama (FKUB). Dalam aturan lawas ini, pengurus FKUB di tingkat kabupaten atau kota berwenang mengeluarkan rekomendasi pendirian rumah ibadah.
Draf terakhir Rancangan Perpres tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama terdiri atas 18 halaman dan tetap mencantumkan syarat 60/90 seperti yang tertera dalam Peraturan Bersama Dua Menteri. Belakangan, syarat ini menuai kritik dari sejumlah kelompok masyarakat sipil dan para penganut kepercayaan, termasuk tim yang ikut membahas rancangan perpres.
Di antaranya Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan. Ia terlibat dalam pembahasan rancangan perpres bersama pemerintah. Ia menyebut syarat 60/90 kerap menjadi batu sandungan pendirian rumah ibadah. Aturan ini juga pada praktiknya sering tak dipatuhi umat beragama, khususnya penganut agama mayoritas di daerah tersebut. “Ada yang tak butuh 90 sudah bisa mendirikan rumah ibadah,” katanya.
Syarat itu pula yang sering kali menjadi biang kerok konflik umat beragama di daerah. Kasus terbaru dialami jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Kelurahan Rajabasa Jaya, Kota Bandar Lampung. Ketua Pembangunan GKKD Parlin Sihombing mengklaim pihaknya sudah memenuhi semua syarat yang diperlukan, termasuk syarat 60/90 fotokopi KTP, untuk mendirikan gereja. Namun pihak kelurahan tak kunjung mengesahkan KTP masyarakat yang mendukung pendirian gereja. “Mereka beralasan masih ada gejolak di masyarakat,” ujar Parlin.
Pendirian gereja turut terganjal di daerah lain. Saking susahnya, pengurus Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi di Kampung Sangga Beru Silulusan, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Katerina Pasaribu, mengatakan sudah merasa letih mengurus izin lantaran berkali-kali ditolak masyarakat. “Sebagian warga menolak karena tidak berani memberikan dukungan,” ucap Katerina saat dihubungi Tempo, Jumat, 8 September lalu.
Pengurus gereja terhambat hukum syariah yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Qanun itu menyebutkan pendirian tempat ibadah harus memenuhi syarat administrasi, yakni setidaknya memiliki 140 anggota jemaat dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 110 orang.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh Fuadi Mardhatillah mengatakan ada 12 gereja Kristen Protestan dan Katolik yang tengah kesulitan mendapatkan izin di Aceh. Salah satunya di Aceh Singkil. “Ada intimidasi terhadap muslim agar tidak memberi tanda tangan,” tutur Fuadi.
Ketua FKUB Aceh Singkil, Ramlan, mengakui pengurus gereja kewalahan memenuhi syarat administrasi, terutama mendapat persetujuan warga muslim. Di lapangan, dia menemukan bahwa warga menolak mendukung karena dianggap menyalahi keyakinan. “Mereka takut dicap atau mewariskan hal buruk untuk anak-cucu karena memberi dukungan kepada gereja,” ujarnya.
Penolakan pendirian rumah ibadah tak melulu terjadi di daerah yang mayoritas penduduknya menganut Islam. Di Nusa Tenggara Timur, aturan 60/90 itu justru menghambat pendirian masjid. Contohnya kesulitan jemaah untuk mendirikan Masjid Batuplat di Kupang serta larangan pembangunan sekolah madrasah aliyah di Desa Manleten, Kabupaten Belu.
•••
MESKI mempertahankan syarat 60/90 KTP, Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama justru memangkas kewenangan forum komunikasi umat beragama. FKUB merupakan perkumpulan di daerah yang berisi perwakilan pemuka agama. Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006, FKUB di kabupaten dan kota berwenang mengeluarkan rekomendasi pendirian rumah ibadah. Dalam rancangan perpres, kewenangan ini dihapus.
Rancangan perpres justru memperluas keberadaan FKUB. Tak hanya di level daerah, regulasi ini mengatur pembentukan FKUB pusat di tingkat nasional. Klausul pendirian FKUB pusat ini ditengarai menyisip di tengah pembahasan karena draf awal tidak mencantumkannya. Masalahnya, rekomendasi FKUB selama ini juga kerap menjadi batu sandungan pendirian rumah ibadah selain syarat 60/90 KTP.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyebutkan klausul untuk membentuk FKUB di tingkat pusat merupakan perintah langsung dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Tenaga Ahli Utama di Kedeputian V Kantor Staf Presiden Bidang Moderasi, Rumadi, tidak menampik informasi tersebut. “Itu memang arahan Wakil Presiden,” ucap Rumadi, yang juga terlibat dalam pembahasan rancangan perpres tersebut.
Suasana ibadah jemaat Gereja Kristen Kemah Daud di Kelurahan Rajabasa Jaya, Kota Bandar Lampung./Istimewa
Dalam pembahasan, Rumadi mengungkapkan, FKUB di daerah diharapkan punya garis konsolidasi di tingkat nasional. Halili termasuk pihak yang menolak klausul ini. “Tidak ada urgensinya membuat FKUB pusat,” katanya. Ia juga mendengar kabar bahwa sejumlah pejabat pemerintah yang ikut pembahasan perpres sebetulnya juga tidak menyetujui pembentukan FKUB tingkat nasional.
Kritik soal rencana pendirian FKUB pusat ini juga mencuat dalam diskusi yang membahas perpres di Wisma PGI, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, pada akhir Agustus lalu. Acara ini digawangi oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi atau PUSAD Yayasan Paramadina dan sejumlah pihak lain. Perwakilan Kantor Staf Presiden juga hadir.
Direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali Fauzi, yang terlibat dalam diskusi itu, mengatakan FKUB tingkat nasional berpotensi menjadi tempat pemerintah daerah dan FKUB daerah melemparkan masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. “FKUB semestinya berfokus sesuai dengan mandatnya, yakni menggerakkan kerukunan, bukan memberi rekomendasi,” tutur Ihsan.
Masduki mengakui Ma’ruf Amin pernah menggagas pendirian FKUB nasional. Ma’ruf menyatakan FKUB yang selama ini ada merupakan sebuah kesepakatan antar-komunitas agama yang dulu susah dicapai. “Itu agar kerukunan tetap terjaga,” ujar Masduki.
Masduki mengklaim Ma’ruf Amin belum menerima draf perpres terbaru. Bila nanti hampir rampung, Masduki memastikan Ma’ruf akan meminta laporan dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. serta Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. “Komunikasi dengan kedua Menko lancar, tidak ada soal,” ucapnya.
Persoalan lain muncul terkait dengan kelompok masyarakat penghayat kepercayaan. Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Engkus Ruswana menyebutkan komunitasnya bisa terkena dampak karena tak terakomodasi dalam rancangan perpres. “Kami tidak bisa disamakan dengan agama lain karena tak ada tempat ibadah,” kata Engkus.
Keluhan masyarakat penghayat kepercayaan ini juga ditangkap oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Mereka tersebar di Yogyakarta, Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Riau, dan Aceh. Mereka juga sudah membuat catatan kritis sebagai protes terhadap rancangan perpres itu yang dianggap masih diskriminatif.
Rancangan perpres tersebut diprotes lantaran tidak memasukkan penghayat kepercayaan. Kristina Viri, salah satu pegiat koalisi, menyebutkan penghayat kepercayaan akan mengalami kendala dalam mendirikan rumah ibadah yang biasanya juga menjadi tempat berkumpul, seperti sanggar. “Sanggar dan rumah ibadah sewaktu-waktu bisa dirobohkan dan aktivitasnya juga rawan dibubarkan,” ujar Kristina.
Persoalan lain adalah posisi masyarakat penghayat kepercayaan dalam FKUB. Dalam draf awal perpres sebetulnya sudah disebutkan bahwa “unsur penghayat kepercayaan dapat dipertimbangkan untuk menjadi anggota FKUB”. Belakangan, frasa ini dihapus saat proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Padahal rapat lintas kementerian awalnya tidak mempersoalkan klausul tersebut. “Kementerian Dalam Negeri yang keberatan,” tutur Engkus.
Engkus mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang telah memberi pengakuan kepada penghayat kepercayaan. Lewat putusan ini, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepercayaan bisa masuk kolom agama di kartu tanda penduduk.
Hilangnya klausul ini membuat Engkus khawatir suara masyarakat penghayat kepercayaan meredup. Padahal selama ini masyarakat penghayat kepercayaan sudah masuk struktur FKUB di beberapa daerah. Contohnya dalam surat keputusan Bupati Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang pada 19 Januari 2023 menetapkan susunan pengurus FKUB. “Pengurus ini sampai 2027,” ucap Ketua Umum Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Sukirman, yang sudah ditetapkan menjadi salah seorang anggota FKUB.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin (kiri) dalam rapat Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, 2 Agustus 2023./Dok. MUI
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan belum merespons permintaan konfirmasi Tempo mengenai sejumlah pembahasan rancangan perpres ini, termasuk perdebatan soal penghayat kepercayaan. Sementara itu, Rumadi membenarkan bahwa ada perbedaan pendapat di level kementerian mengenai masuk atau tidaknya penghayat kepercayaan ke FKUB. Meskipun demikian, dia menambahkan, frasa di klausul cukup halus, yaitu “dapat dipertimbangkan”.
Hingga awal September lalu, pembahasan rancangan perpres ini masih belum tuntas. Rumadi mengklaim tim masih mendiskusikan posisi masyarakat penghayat kepercayaan di dalam FKUB. Ia mengatakan klausul ini akan dibicarakan oleh Mahfud Md. bersama menteri lain. “Jadi bola masih di Menko Polhukam dan belum sampai ke Presiden Joko Widodo,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Oper Bola Aturan Rumah Tuhan"