Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Realitas menunjukkan bahwa pilkada di Indonesia makin didominasi jaringan oligarki yang terorganisasi.
Oligark menggunakan kekuasaan ekonomi mereka untuk mengontrol proses politik, termasuk pilkada.
Apatisme terhadap politik pada gilirannya memperkuat dominasi oligarki karena makin sedikit masyarakat yang terlibat secara kritis dalam proses politik.
DEMOKRASI dalam konteks pemilihan umum secara umum dipahami sebagai mekanisme paling sah dalam menyalurkan kehendak rakyat, dengan janji keterwakilan yang menyeluruh dan legitimasi yang kuat.
Pemilihan kepala daerah atau pilkada sebagai manifestasi lokal dari demokrasi sering diklaim sebagai pesta rakyat yang mengembalikan hak politik kepada publik. Pilkada memungkinkan rakyat memilih pemimpin yang diyakini dapat membawa perubahan.
Namun apakah pilkada benar-benar merefleksikan aspirasi rakyat ataukah hanya menjadi alat bagi elite untuk mempertahankan kekuasaan? Pertanyaan ini bukanlah sekadar retorika, melainkan gugatan mendasar terhadap pemahaman kita tentang demokrasi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Realitas menunjukkan bahwa pilkada di Indonesia makin didominasi oleh jaringan oligarki yang terorganisasi, dengan kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite politik dan ekonomi. Keterkaitan di antara aktor-aktor ini memicu kekhawatiran bahwa pilkada bukan lagi arena kompetisi politik yang terbuka dan adil, melainkan ajang perebutan sumber daya ekonomi-politik yang didorong oleh kepentingan oligarki.
Pilkada telah mengalami degradasi menjadi suatu proses yang legal secara formal, tapi kehilangan esensi substansinya sebagai mekanisme demokrasi yang sebenarnya. Dalam konteks ini, kita perlu mempertanyakan legitimasi proses tersebut serta sejauh mana pilkada dapat dianggap sebagai perwujudan kedaulatan rakyat atau justru sarana untuk memperkuat kekuasaan kelompok oligarki.
Cengkeraman Oligarki dalam Sistem Politik Indonesia
Oligarki di Indonesia bukan hanya kumpulan individu kaya, tapi juga jaringan kompleks antara pengusaha, politikus, dan birokrasi yang bekerja sama mengamankan kepentingan bersama mereka. Kelompok ini menggunakan kekuasaan ekonomi mereka untuk mengontrol proses politik, termasuk pilkada, dengan mendanai kampanye kandidat yang mereka dukung, membeli suara, dan memanipulasi opini publik melalui media. Dengan kata lain, pilkada menjadi ladang subur bagi oligark untuk memperluas pengaruh mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia mengungkap bahwa mayoritas kandidat yang mencalonkan diri dalam pilkada 2024 didukung oleh kekuatan finansial besar dari oligark. Kandidat-kandidat ini sudah pasti akan berutang budi kepada sponsor politik mereka, yang pada gilirannya mengikat mereka pada jaringan patronase yang lebih besar.
Walhasil, pilkada tidak lagi menjadi ajang kompetisi ide dan kebijakan, melainkan pertempuran kekuatan finansial di mana kandidat dengan modal terbesar cenderung menang. Hal ini memperparah ketimpangan kekuasaan di antara masyarakat, dengan elite ekonomi-politik terus memperkuat posisi mereka, sementara rakyat kian terpinggirkan.
Oligark juga menggunakan politik uang untuk mempengaruhi hasil pilkada. Politik uang bukanlah fenomena baru. Tapi, dalam beberapa dekade terakhir, fenomena ini mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kandidat sering menggunakan dana besar untuk membeli suara, mempengaruhi pejabat lokal, bahkan menyuap aparat penegak hukum untuk menjamin kemenangan mereka.
Praktik semacam ini merusak esensi demokrasi karena yang terpilih bukanlah kandidat terbaik, melainkan mereka yang mampu membeli kekuasaan. Hal ini mengarah pada degradasi demokrasi, di mana pilkada kehilangan makna.
Populisme sebagai Topeng Oligarki
Calon kepala daerah yang didukung oleh oligark sering memenangi pemilihan menggunakan sumber daya negara. Mereka memanfaatkan kekuasaan untuk membagikan bantuan sosial secara selektif kepada pendukungnya, mengerahkan birokrasi untuk memobilisasi pemilih, dan menggunakan aparat keamanan untuk menekan lawan politik. Proses pilkada akhirnya menjadi sekadar formalitas legal yang mengaburkan kenyataan bahwa pemenangnya telah ditentukan sebelumnya oleh kekuatan elite.
Banyak kandidat kepala daerah menggunakan taktik populis untuk meraih suara. Misalnya dengan memanfaatkan isu-isu lokal yang menyentuh emosi rakyat, seperti janji pemberian bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, atau pengentasan kemiskinan.
Namun, di balik janji-janji populis tersebut, tersembunyi realitas bahwa kandidat-kandidat ini sering terikat pada kepentingan para oligark. Janji-janji populis tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dukungan sementara tanpa niat serius untuk merealisasinya setelah terpilih.
Fenomena ini sering disebut sebagai populisme palsu. Dalam populisme palsu, para politikus memanipulasi aspirasi rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Namun, setelah terpilih, mereka tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat dan justru melayani kepentingan kelompok elite yang mendukung mereka.
Ketika kandidat populis gagal memenuhi janji-janji mereka, kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap institusi politik makin mendalam. Masyarakat yang sebelumnya termobilisasi oleh janji populis akhirnya menjadi apatis terhadap proses politik secara keseluruhan, merasa bahwa politik hanyalah permainan elite untuk kepentingan mereka sendiri.
Apatisme ini pada gilirannya memperkuat dominasi oligarki. Sebab, makin sedikit masyarakat yang terlibat secara kritis dalam proses politik, makin mudah bagi elite untuk memanipulasi hasilnya.
Kebebasan yang Terpasung Sistem
Kontradiksi utama dalam pilkada adalah, meskipun seolah-olah menawarkan kebebasan politik, kenyataannya kebebasan tersebut sangat terbatas oleh struktur sistem yang dikendalikan oligarki. Pilkada memberikan ilusi kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Nyatanya, pilihan-pilihan tersebut telah dibatasi oleh sistem politik yang dibangun oleh elite untuk melayani kepentingan mereka. Kandidat-kandidat yang muncul dalam pilkada sering kali tidak benar-benar mewakili kepentingan rakyat, melainkan merupakan bagian dari jaringan patronase yang lebih luas.
Sistem pilkada di Indonesia juga dirancang sedemikian rupa sehingga kandidat-kandidat independen atau yang tidak memiliki dukungan dari oligarki sulit berkompetisi. Biaya kampanye yang sangat tinggi, kebutuhan akan jaringan politik yang kuat, serta kontrol oligarki atas media dan birokrasi membuat kandidat independen hampir tidak mungkin memenangi pilkada tanpa dukungan dari elite. Hal ini menciptakan situasi dengan kebebasan politik yang dijanjikan oleh pilkada hanya ada di atas kertas, tapi secara praktis sangat terbatas.
Keterbatasan kebebasan ini terlihat jelas dalam fenomena candidate capture, yakni kandidat yang seolah-olah independen atau populis sebenarnya dikendalikan oleh elite. Meskipun kandidat tersebut mungkin tidak secara langsung terhubung dengan oligarki, mereka tetap terperangkap dalam sistem politik yang didominasi oleh elite.
Setelah terpilih, mereka sering dipaksa mengikuti agenda kelompok oligarki, baik melalui tekanan finansial maupun politik. Dengan kata lain, kebebasan yang ditawarkan oleh pilkada adalah kebebasan semu, yang dikondisikan oleh kekuatan struktural yang lebih besar.
Pilkada, yang seharusnya menjadi mekanisme utama demokrasi lokal, saat ini terperangkap dalam cengkeraman oligarki. Dominasi oligarki atas proses politik telah merusak esensi dari pilkada itu sendiri. Alih-alih menjadi instrumen bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mewakili kepentingan mereka, pilkada telah berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan di antara elite yang makin memperkuat cengkeraman mereka atas kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.