Laporan Utama TEMPO 29 Maret tentang putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai pengacara Adnan Buyung Nasution begitu pula tindakan Ketua Pengadilan Negeri jakarta Utara/ Timur sebelumnya terhadap Advokat Thamrin Manan, membuat saya bertanya, dapatkah perbuatan kedua pengacara itu dikategorikan sebagai contempt of court. Sebab, sebelum adanya gagasan mengenai contempt of court, kita telah mengenal beberapa peraturan mengenai tingkah laku dan ujar-kata para advokat, pengacara, dan pokrol bambu, baik di luar maupun dalam menjalankan profesi mereka. Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, berupa usul pencabutan izin pengacara Adnan Buyung Nasution, nyata-nyata ditimba dari pasal 192 alinea akhir Reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der Justitie in Indonesia (RO) yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung, baik karena jabatan maupun karena usul pihak pengadilan, dapat mengajukan pada organ eksekutif, agar para praktisi (advokat dan pengacara) yang sering kali berbuat hal-hal yang tercela (herhaalde misdragingen) atau berbuat sesuatu jauh melampaui batas kesopanan (verregaande buitensporigheden), dipecat dari jabatan mereka. Itu tanpa mengurangi wewenang pihak eksekutif bertindak sama di luar usul semacam itu. Lain halnya dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur terhadap Thamrin Manan dahulu, yang jelas bersumber pada Pasal 3 Zaak waarnemersordonnantie Tahun 1927 - peraturan yang memberikan hak pada Ketua Pengadilan Negeri menskors paling lama untuk setahun, advokat, pengacara, atau pokrol bambu berpraktek pada pengadilannya, karena sikap yang tidak sopan terhadap hakim (betoonde oneerbiedigheid aan de rechter). Kedua putusan tadi tidak dapat digolongkan putusan pidana atau putusan mengenai contempt of court. Apalagi putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang baru berbentuk usul belaka kepada pihak eksekutif mengenai suatu tindakan administratif yang akan diambil. Dengan demikian, tidakkah Indonesia mengenal contempt of court? Secara expressis verbis memang belum, tapi secara rangkuman sudah, yaitu yang dikenal dengan kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII KUHP). Yang perlu dipikirkan, apakah contempt of court nanti akan menyempurnakan Bab VIII KUHP ataukah akan berdiri sendiri di samping ketentuan pidana lainnya, karena, agaknya, pengertian contempt of court belum lagi jelas. Sebab, masih saja dicampuradukkan dengan kejahatan atau pelanggaran jabatan oleh hakim, jaksa, polisi, atau dengan pelanggaran nilai-nilai sopan santun oleh advokat, pengacara, dan pokrol bambu. J.Z. LOUDOE Jalan Penjernihan IV/11 Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini