"PERUSAHAAN farmasi tidak didirikan untuk tujuan kemanusiaan. Mereka didirikan untuk mencari keuntungan. Kalau dalam kegiatannya secara kebetulan mereka membantu memulihkan kesehatan orang sakit, itu adalah bonus yang kemudian mereka manfaatkan untuk publisitas." Yang menyatakan demikian itu adalah Stanley Adams, seorang manajer perusahaan farmasi selama 21 tahun, dalam tulisannya di majalah New Scientist, 23 Mei 1985. Sebagai usaha bisnis, mereka tentu akan memanfaatkan segala kesempatan untuk dapat memperoleh keuntungan. Demikian pula mungkin sikap mereka menghadapi deregulasi perdagangan obat yang diumumkan tanggal 28 Mei lalu. Kita lihat beberapa lubang yang mungkin akan mereka manfaatkan. Kemudahan pendaftaran obat membebaskan mereka dari uang pendaftaran yang pada masa yang lalu dipungut. Juga kalau dalam jangka waktu setahun pendaftaran mereka tidak dijawab, atau bahkan belum diproses oleh Ditjen POM, mereka boleh langsung mengedarkannya cukup hanya dengan memberi tahu kepada Dirjen POM. Ini tentu berbeda jauh dengan masa lalu yang harus menunggu, adakalanya sampai bertahun-tahun sebelum nomor registrasi keluar. Jadi, mereka yang berminat memasarkan merek atau produk baru, tinggal menunggu paling lama setahun. Disetujui atau tidak, jika setelah jangka waktu itu tidak mendapat jawaban, mereka boleh langsung berproduksi. Tetapi dunia bisnis adalah dunia penuh persaingan. Dan yang akan mendaftarkan merek atau produk yang sama, mungkin tidak hanya satu. Dalam persaingan yang demikian, faktor waktu sangat penting. Siapa yang registrasinya keluar dulu tentu akan lebih dulu memasuki pasar. Perbedaan tiga empat bulan akan sangat berarti. Ini akan mendorong mereka untuk berebut memperoleh nomor registrasi lebih dulu. Jangan sampai ia harus menunggu setahun, sementara pesaing mungkin sudah lebih dulu disetujui. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan segan-segan mengeluarkan sedikit biaya tambahan agar memperoleh nomor lebih dulu. Apalagi jika sifat pendaftaran itu dianggap tertutup. Artinya, siapa yang telah mendaftarkan apa, tidak akan diumumkan. Juga jika syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk meminta nomor registrasi, tidak jelas atau tidak diumumkan. Inilah kesempatan bagi oknum-oknum untuk membuka "tender kecepatan keluarnya izin" melalui negosiasi bisik-bisik. Kemudahan pendaftaran juga akan mengundang merek-merek baru dari obat yang sebelumnya sudah banyak. Mungkin akan muncul merek-merek dagang baru untuk ampisilin yang pada saat ini sudah ada berpuluh merek. Atau akan muncul obat-obat yang khasiatnya masih diragukan, dan dibandingkan dengan harganya sungguh tidak sesuai. Maka pasaran obat akan makin sempit dan persaingan semakin ketat, dan cara pemasaran yang tidak etis makin menjamur. Harga tentu kembali akan tetap mahal. Dulu memang ada Panitia Penilai Obat Jadi yang terdiri dari pakar-pakar dari perguruan tinggi, yang tugasnya menilai apakah obat yang didaftarkan benar-benar diperlukan rakyat Indonesia apakah khasiat yang diklaimnya benar-benar nyata, dan jika dibandingkan dengan harganya khasiat itu lebih tinggi nilainya. Tetapi Panitia Penilai Obat Jadi saat ini sudah telanjur dibuat mandul, bahkan mungkin dimintai pendapat pun tidak pernah lagi. Maka kemungkinan membanjirnya merek baru -- untuk obat yang sama -- akan terjadi. Atau membanjirnya obat-obat yang khasiatnya tidak sebanding dengan harganya. Pembukaan keran impor obat jadi tentu akan menarik minat para pedagang pula. Peraturan mungkin akan dibuat, agar obat diimpor dari negara yang terkenal ketat pengawasannya, serta dibeli dari industri yang sudah dikenal di dunia sebagai penjamin mutu. Pemohon registrasi impor mungkin akan memasukkan data dan invoice dari negara dan pabrik yang memenuhi syarat. Tetapi pengusaha yang licik akan juga membeli obat jadi dari sembarang pasar. Dan sesampainya di sini akan dikemas ulang dengan menggunakan kemasan yang sama dengan obat yang sudah mendapat izin. Rakyat yang membeli toh tidak tahu. Kesungguhan pemerintah untuk menjaga keamanan dan mutu obat, baik yang impor maupun yang dibuat di sini, harus ditampilkan benar. Kerja sama pihak Ditjen POM dengan Bea Cukai sangat penting di sini, karena petugas bea cukai tentu awam dalam hal obat. Ketika Inggris melakukan parallel importation di tahun 1984, pemerintah melarang pengimpor mengubah kemasan. Juga pemerintah mengharuskan mereka mengarsipkan faktur serta melakukan pembukuan yang jelas yang sewaktu-waktu akan di-"audit" petugas pemerintah. Ganjalan lain adalah upaya beberapa pedagang farmasi yang merasa terancam kenikmatannya oleh deregulasi ini. Mereka tentu akan melakukan lobbying yang keras untuk menunda pelaksanaan deregulasi, atau paling tidak menunda dikeluarkannya peraturan-peraturan pelaksanaan yang jelas. Semakin tidak jelas aturan mainnya, semakin mudah untuk dibelokkan. Motto mereka adalah: "Britain rules the waves. We wave the rules". Kembali kita perlu merenungkan pernyataan Stanley Adams di atas. Mereka yang demikian itu memang hadir di dunia untuk mencari untung. Soal manfaat bagi kesehatan adalah efek samping, yang baik untuk publisitas perusahaan. Dan sebagai pedagang, hal itu adalah sah adanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini