Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korupsi ada di mana-mana. Tapi, ketika terjadi di Kementerian Luar Negeri, melibatkan banyak pejabat, dan berpotensi membuat kelakuan curang menjadi tradisi, kejadian itu menyerupai suatu pengkhianatan. Tentu saja pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang dijalankan kementerian itu.
Kita tahu kementerian ini tengah berjuang menjalankan reformasi dan profesionalisme. Jenjang karier disusun berdasarkan meritokrasi, organisasi ditata lebih ramping, sistem rekrutmen lebih ketat, peningkatan kualitas diplomat kian intensif. Di antara perubahan menyeluruh itu, tiba-tiba kita mendengar sejumlah pejabat telah melawan semangat perubahan zamannya. Bekerja sama dengan agen perjalanan, mereka diduga melakukan markup, seraya memanipulasi harga tiket dinas perjalanan pergi dan pulang sejumlah diplomat.
Sebuah dokumen menyebutkan bahwa Inspektorat Jenderal Kementerian Luar Negeri menemukan bukti kuat yang menunjukkan penggelembungan harga tiket mutasi pejabat pada 2008-2009. Selama dua tahun itu nilai total penggelembungan mencapai US$ 2,194 juta atau sekitar Rp 20,549 miliar. Kepada Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch melaporkan beberapa pejabat tinggi Kementerian yang mengambil keuntungan besar dari markup ini.
Sejauh ini Kementerian Luar Negeri menunjukkan sikap mendua. Mencoba bersikap terbuka, tapi pada saat yang sama agak protektif terhadap pejabat yang dianggap lembaga antikorupsi itu terlibat. Kementerian mengakui penggelembungan, tapi meragukan keterlibatan para pejabat tinggi yang sebagian kini telah pensiun. Sebaliknya, Kementerian menyampaikan bahwa yang terjadi bisa jadi pencatutan nama-nama pejabat untuk melakukan kejahatan.
Ya, sebuah pertarungan belum lagi memastikan siapa benar dan siapa salah. Tapi kecenderungan terakhir untuk menganggap ini sebagai persoalan rumah tangga Kementerian Luar Negeri cepat memancing kecurigaan. Jangan-jangan Kementerian sedang menyiapkan skenario klise: penyidikan akan terjadi, tapi kelak akan berhenti sebelum menyentuh pejabat tinggi.
Di antara kecurigaan yang melambung tinggi, menyegerakan proses pengadilan dan bukan mengulur-ulur waktu merupakan jalan keluar terbaik. Pengadilan adalah tempat netral, tidak berpihak kepada salah satu yang terlibat konflik. Dan di sanalah fairness diupayakan, tanpa harus menomorsatukan kepentingan instansi. Keputusan pengadilan diharapkan dapat menjadi deterrent factor yang berdampak sosial dan membuat orang berpikir dua kali sebelum melakukan perbuatan serupa.
Kementerian Luar Negeri dipercaya tidak menjalankan skenario klise di atas. Kita juga tetap menghargai asas praduga tak bersalah bagi siapa saja yang belum terbukti curang. Tapi jika di kemudian hari semangat korps ternyata melampaui rasa keadilan, dan semangat pencitraan kementerian dinilai lebih utama daripada transparansi, pasti barisan reformis akan gigit jari.
Ironi jangan sampai terjadi di kementerian yang sedang mereformasi diri itu: generasi terbaru diplomat menyaksikan bahwa meritokrasi yang susah payah mereka jalani ternyata tidak berlaku untuk para pejabat senior.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo