Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INKONSISTENSI Indonesia dalam menyikapi represi oleh junta militer terhadap rakyat Myanmar sungguh memalukan. Di berbagai forum resmi, pemerintah Indonesia mengecam kekerasan oleh junta militer. Namun, diam-diam, badan usaha milik negara Indonesia malah menjual senjata kepada junta militer Myanmar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Misi Pencari Fakta Independen tentang Myanmar, Myanmar Accountability Project (MAP), dan Organisasi Hak Asasi Manusia Chin (CHRO) belum lama ini mengungkapkan tiga BUMN Indonesia telah menjual senjata kepada militer Myanmar lewat True North Co Ltd—perusahaan milik Htoo Htoo Shein Oo, putra Menteri Perencanaan dan Keuangan Myanmar Win Shein. Ketiga BUMN itu adalah PT Pindad, PT PAL Indonesia, dan PT Dirgantara Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjualan senjata oleh ketiga BUMN itu dilaporkan berlangsung sejak 2014 hingga junta militer berkuasa di Myanmar lewat kudeta pada 2021. Bahkan, dalam laporannya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2 Oktober lalu, MAP dan CHRO menyebutkan penjualan senjata oleh ketiga BUMN kepada True North diduga masih berlangsung hingga sekarang.
Laporan MAP dan CHRO merupakan tamparan terbuka bagi pemerintah Indonesia. Kita masih ingat, dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Mei lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan tidak boleh ada pihak yang mengambil manfaat dari konflik internal di Myanmar. Jokowi juga menegaskan bahwa rentetan kekerasan di Myanmar harus dihentikan.
Di forum yang sama, Indonesia juga turut menyepakati kelanjutan implementasi Lima Poin Kesepakatan atas Krisis Myanmar yang dicetuskan dalam pertemuan negara-negara anggota ASEAN di Jakarta pada Juli 2021. Kelima poin itu berisi solusi damai terhadap konflik di Myanmar. Dengan terungkapnya kasus penjualan senjata itu, semua basa-basi diplomatis Indonesia makin kehilangan artinya.
Dengan motif apa pun, penjualan senjata kepada junta militer Myanmar melanggar Konvensi Jenewa dan Perjanjian Perdagangan Senjata Internasional (ATT). Konvensi dan perjanjian internasional itu melarang sebuah negara mentransfer senjata ke negara lain yang diduga—berdasarkan fakta—akan menggunakan senjata tersebut untuk melakukan tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Jelas sangat naif bila ada pejabat Indonesia yang berdalih bahwa senjata dari ketiga BUMN belum tentu dipakai untuk merepresi dan melanggar hak asasi manusia di Myanmar. Yang kemungkinan besar terjadi justru sebaliknya.
Baca liputannya:
Hasil investigasi Pelapor Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Myanmar mengungkap rentetan pelanggaran HAM di Myanmar selama periode pemasokan senjata oleh ketiga BUMN tersebut. Pelanggaran HAM terberat adalah praktik genosida oleh militer Myanmar terhadap penduduk Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2017. Hasil investigasi Pelapor PBB juga mendapati lebih dari 4.100 warga Myanmar terbunuh sejak kudeta militer terjadi pada 2021 hingga September tahun ini.
Tak ada pilihan lain, Indonesia harus menghentikan penjualan senjata kepada junta militer Myanmar. Di dalam negeri, pemerintah Indonesia juga harus menginvestigasi siapa yang diuntungkan oleh penjualan senjata tersebut. Dengan begitu, Indonesia mungkin bisa sedikit menyelamatkan muka dalam pergaulan antarnegara beradab.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rusak Diplomasi Indonesia karena Bisnis Senjata"