PAK Arouet punya anak dua orang. Tapi dia agak kesal. Menurut
notaris yang cukup sukses di Paris menjelang akhir abad ke-17
ini, kedua anaknya sinting. Buktinya mereka tak tertarik kepada
dunia ang "normal".
Yang sulung. Armand, tertarik kepada suatu kepercayaan yang tak
direstui Gereja, tapi begitu ia yakini. Bahkan ia mengharapkan
mati syahid karena itu. Yang satu lagi Franois, tertarik kepada
kesusastraan. Bahkan ia sudah bikin sajak begitu ia bisa menulis
namanya sendiri. "Saya punya dua anak sinting," begitulah keluh
Pak Arouet, "yang satu dalam bentuk prosa dan yang satu lagi
dalam bentuk puisi."
Cerita ini hanya akan bicara tentang Francis, si
sinting-dalam-bentuk-puisi. Suatu hari bapaknya bicara tegas
kesusastraan adalah profesi orang yang ingin jadi sia-sia bagi
masyarakat dan jadi beban bagi keluarganya dan akan mati
kelaparan." Maka Francois pun memilih kesusastraan.
Ia memang sudah mengagumkan sejak remaja dan sudah
menjengkelkan. Ia mengeluyur malam-malam, bergaul dengan segala
yang baik dan terutama yang buruk. Tapi kenakalannya tak cuma
mengganggu bapaknya (yang pernah mengirimnya ke luar kota untuk
disetrap). Pada umur 21 di Paris ia dengan cepat dikenal sebagai
pemuda yang fasih dalam mengejek dan menyebarkan desas-desus
tentang istana.
Waktu itu Prancis diperintah seorang Regent, wali raja yang
berkuasa karena Baginda Louis XV masih anak kecil. Franois
memperolok-olokkannya dan malah menulis sajak yang menuduh sang
Regent berambisi naik tahta. Tentu saja sang Regent marah "Saya
akan kasih lihat padamu apa yang belum pernah kamu lihat,"
katanya kepada Franois. "Apa itu?," tanya Franois. "Bagian
dalam penjara Bastille," jawab sang Regent.
Di penjara Bastille itulah Franois Marie Arouet kemudian
disekap. Entah karena apa kemudian ia memakai nama Voltaire.
Sang Regent kemudian membebaskannya. Dan setelah mengucapkan
terima kasih kepada wali raja (karena sudah memberinya
penginapan gratis, begitulah katanya) orang yang kurang ajar ini
mementaskan sebuah karyanya: Oldipus. Ternyata sukses. Penonton
berjubel dan lakon berlangsung 45 malam.
Bapak sang pengarang, Pak Arouet, ikut menonton. Bangga juga
bapak yang pernah jengkel ini, meskipun untuk menutupi
perasaannya orang tua ini berulang-ulang mengucap "Ah, si
brandaaal, berandal! ".
Voltaire memang berandal, sampai tua. Dalam suatu jamuan ia
memberi jawab yang begitu mengena pada seorang bangsawan
tinggi. Malamnya Voltaire dikroyok. Esoknya ia menantang sang
bangsawan untuk berduel. Tapi ia diusir ke Inggris + negeri yang
ternyata ia kagumi.
Inggris adalah tempat kebebasan berpikir. Tak ada bui Bastille,
tak ada gereja dan polisi yang mengawasi gerak-gerik.
Parlemennya kuat, bahkan pernah menghukum mati seorang raja.
Kalangan cendekiawannya leluasa. Tak heran di sini lahir Orang
seperti Isaac Newton yang teorinya oleh Voltaire kelak dibawa
pulang ke Prancis. Untuk sementara Voltaire hanya merekam
kesan-kesannya tentang negeri asing ini -- dalam bentuk
surat-surat yang tak berani ia terbitkan. Sebab isinya adalah
suatu perbandingan dengan Prancis -- dan sudah jelas di mana
Voltaire menaruh hati.
Bagaimana ia bisa menaruh hati kepada penindasan di tanah airnya
sendiri? Ketika Voltaire akhirnya diizinkan balik ke Paris, ia
tak lama kemudian harus kembali menyingkir. Seorang penerbit
yang brengsek, tanpa seizinnya, menerbitkan surat-surat
Inggrisnya, dan Voltaire tak urung dikutuk. Tulisannya dianggap
"menentang agama, moral dan rasa hormat kepada penguasa".
Voltaire lari dari ibukota, cepat-cepat.
Tapi itu bukanlah akhir riwayatnya sebagai orang usiran. Di
tahun 1750 ia memenuhi undangan raja muda Prusia, Frederick,
untuk tinggal di Berlin. Tapi masa bahagia ini tak sampai 4
tahun. Ia juga harus meninggalkan pelindungnya itu -- antara
lain karena melanggar larangan menerbitkan sebuah karyanya.
Menderitakah Voltaire? Mungkin jiwanya diselamatkan oleh
kegemarannya buat main-main. Tapi ia tak main-main dalam
mengalami himpitan pikiran, dan melihat penderitaan manusia
karena itu . Di tahun 1765 seorang muda berumul 16 dituduh
merusak salib. Setelah disiksa, mengaku. Lehernya pun dipotong
tubuhnya dilontarkan ke api, dan massa pun bersorak. Sejak saat
itu Voltaire tak lagi tersenyum. Ia menulis tentang fanatisme
sebagai "penyakit segala abad", dan agaknya ia benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini