Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pada Suatu Hari, Salemba

"kampus" (itb) & salemba (ui) dibredel menurut deppen "salemba" sudah main politik & komersil, sedangkan "kampus" karena adanya perubahan bentuk dari majalah bulanan ke surat kabar bulanan.

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORAN tengah bulanan ini tampaknya sudah lama membuat risi Departemen Penerangan. Berita dan karikaturnya sering dianggap kelewat pedas. Sudah dua kah Deppen memberi peringatan resmi kepada Surat Kabar Kampus (SKK) Salemba, Universitas Indonesia. Peringatan lisan pun sudah pernah disampaikan lewat Prof. Mahar Mardjono, Rektor UI. Akhirnya vonis jatuh juga. Sejak 6 Mei, Salemba dilarang terbit -- Surat Tanda Terdaftarnya dicabut. Pengasuhnya maupun Prof. Mahar kaget. Sebab menurut Prof. Mahar, ia sudah meminta kepada Sukarno SH, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan G!afika, agar jangan dulu menindak Salemba. "Saya sedang melakukan penataan ke dalam, dan ini butuh waktu," kata Prof. Mahar mengulang ucapannya pada Sukarno. Tapi Deppen rupanya sudah tak sabar. Menurut S.K. Menteri Penerangan ditandatangani Sukarno. Salemba dinilai telah melampaui beberapa ketentuan perundang-undangan bagi penerbitan khusus. Ia dianggap cenderung menjadi koran umum, karena ternyata dijual di pasaran bebas. Isinya pun dinilai menyerupai koran umum -- sifatnya cenderung ke arah kegiatan politik praktis Kendati sudah diperingatkan, sebut keputusan tersebut,. Salemba tetap belum mengubah kebijaksanaan pemberitaannya. Pendeknya pembahasan dan pernberitaan Salemba dianggap sudah tidak ilmiah lagi. "Sudah mengarah kepada pembahasan politis," kata Sunarto Sindupranoto, Direktur Bina Pers, Deppen. "Padahal forum kemahasiswaan itu kan maksudnya forum ilmiah . " Bahkan Sunarto menuduh SKK itu telah melakukan pembahasan yang menjurus kepada permainan kekuasaan. Mengkritik dan mencela pemerintah, dengan menyudutkan pejabat tertentu. Hal demikian, menurut Surarto, tidak patut dilakukan. "Bukan di Salemba tempatnya, tapi di pers umumlah tempatnya, " katanya. Benarkah Salemba berpolitik praktis? "Apanya sih yang politik Fraktis, saya kok tidak melihat ada politik praktisnya," kata Prof. Mahar. "Tidak jelas bagi saya tulisan manakah yang bersifat politik praktis," tambah Wikrama I. Abidin, Pemimpin Redaksinya. Kenapa dijual di pasaran bebas? "Untuk mengongkosi biaya produksi," jawab Prof. Mahar yang juga jadi pelindung koran itu. "Bisa saja tidak dijual kalau pemerintah mau mensubsidi seluruh biaya produksi." Salemba, menurut Antony Zeidra Abidin, Pemimpin Umumnya, memperoleh subsidi (dari anggaran UI) hanya untuk penerbitan 5.000 lembar. Setelah Knop besarnya sekitar Rp 300 ribu, sebelumnya hanya Rp 265 ribu. Padahal SKK tengah bulanan tersebut setiap terbit dicetak 18 ribu. Yang terjual di kampus UI diperkirakan sekitar 7.000 lembar. Biaya produksinya sekitar Rp 800 ribu. Untuk menutupi kekurangan subsidi itulah koran tadi dijual dengan harga eceran Rp 125/eks. Pun iklan yang masuk dengan tarif rendah (Rp 300/mm kolom) dan komisi tinggi (sampai 30%), semata-mata dilakukan untuk menutup ongkos produksi. "Jadi tidak benar kami komersial. Karena sesungguhnya kanli tidak cari untung," lanjut Antony. Tapi bagi Sunarto, penjualan untuk umum tadi kurang logis. Karena diangapnya bisa mengganggu kepentingan bisnis koran umum. "Lha kalau disubsidinya dalam jumlah tertentu, sebaiknya juga dicetak dalam jumlah tertenru pula. Jangan berlebihan," ujar Sunarto. Dengan alasan dianggap komersial juga, Laksusda Kodam V Jaya 3 tahun lalu pernah menindaknya. 700 Salemba yang beredar di Lapangan Banteng Jakarta, disita petugas Laksusda Jaya. Kampus Tapi tak cuma Salemba yang kena. Deppen ternyata sejak 5 April juga telah mencabut Surat Izin Terbit (SIT) majalah bulanan Kampus, Institut Teknologi Bandung. Alasan pokok pencabutan, antara lain, perubahan bentuk Kampus dari majalah bulanan ke surat kabar bulanan tidak minta persetujuan Deppen. Kecuali itu, perubahan pergantian pimpinan umum, redaksi, dan tempat cetaknya juga tidak dilaporkan. Apalagi pada edisi Januari, sebut keputusan itu, Kampus tampil dengan pemberitaan yang dinilai memperuncing situasi. Hal tersebut jelas bertentangan dengan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Pengasuh koran bulanan itu juga kaget. Mereka tidak tahu, kalau setiap perubahan penerbitan, dan pergantian pimpinan harus diberitahukan. "Seharusnya kami ditegur, atau diperingatkan dulu," kata Achmad Sugeng, Pemimpin Umumhya. Sebelum Salemba dan Kampus ditutup, GeloYa Mahasiswa, koran kampus Universitas Gajah Mada, dibredel rektornva sendiri Oktober tahun lalu. Media ITS, Surabaya, dan Alma Mater, Institut Pertanian Bogor, konon masih sulit terbit. Akan semakin sehatkah kampus tanpa koran? Antony Zeidra Abidin dan Prof. Mahar mengkhawatirkan kemungkinan makin gampang tersebarny. kabar tidak benar di dalam kampus. "Saya takut anak-anak (mahasiswa) membuat koran gelap. Saya tidak akan bisa mengontrol dan mempertanggungjawabkannya," ungkap Prof. Mahar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus