Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 600 orang yang berasal dari beberapa negara berkumpul di Jakarta pada 1-2 November silam. Mereka terdiri atas kreditur (45 persen), debitur (35 persen), dan profesional (20 persen).
Penyelesaian utang perusahaan swasta Indonesia, itulah agenda utama dalam pertemuan yang diberi nama Konferensi Prakarsa Jakarta (The Jakarta Initiative Conference) ini. Sebelum pertemuan, memang tersembul secercah harapan, tapi kemudian terlihat tanda-tanda bahwa dari konferensi itu tidak akan diperoleh sesuatu yang berarti. Penyebab utamanya ialah semua pihak yang terlibat seolah-olah beranggapan bahwa masih akan dapat ditemukan win-win solution bagi sengketa utang yang mereka bicarakan.
Kalangan kreditur seolah bersikeras memperoleh semua kredit yang pernah disalurkan, ditambah bunganya. Sebaliknya, banyak debitur seolah bersikukuh menginginkan adanya pemotongan (haircut) atau penghapusan utang (write-off). Sedangkan pemerintah, yang bertahan pada posisinya sebagai fasilitator,dengan tegas menyatakan tidak akan melakukan pengambilalihan utang (bail-out).
Sungguh tidak mudah untuk percaya bahwa para kreditur tidak memahami kesulitan para debitur, gara-gara depresiasi rupiah yang luar biasa besar dan kontraksi ekonomi Indonesia yang sangat dahsyat. Patut dipertanyakan mengapa mereka seolah ngotot menuntut pembayaran utang dengan kurs yang telanjur melonjak tinggi, padahal mereka tentu menyadari bahwa keinginan semacam itu tidak mungkin terpenuhi.
Secara teoretis, alasan untuk itu memang ada. Jumlah kreditur sangat banyak, sehingga masing-masing ragu atau tidak bersedia menawarkan solusi yang dianggap terbaik bagi dirinya karena, dengan cara ini, akhirnya sebagian (besar) kreditur akan merugi lebih besar dari yang sepantasnya. Tapi, setelah penulis berdiskusi dengan berbagai pihak, tampaknya di samping alasan teoretis itu, masih ada alasan yang juga penting dan patut dikemukakan.
Alasan yang dimaksud adalah pemerintah Indonesia (fasilitator) belum melaksanakan tugasnya secara maksimal dan baik. Di samping itu, para pengutang tidak pula menunjukkan kesungguhan untuk membayar utang mereka. Hal ini tercermin dari pandangan Jepang yang disampaikan oleh Kepala Perwakilan The Industrial Bank of Japan Ltd. di Indonesia. Menurut dia, pengampunan utang (debt forgiveness) bukan merupakan hal yang baru dan biasa diberikan oleh perbankan di dunia. Namun, keringanan itu hanya dapat diberikan jika ada penelitian mengenai kesehatan perusahaan, seperti kondisi liabilitas dan solvabilitas dari sudut pandang kreditur, tidak hanya dari sudut pandang debitur. Hal senada diungkapkan oleh pemimpin Restrukturisasi Perusahaan (Corporate Restructuring) dan Governance Group di Bank Dunia, Gerald Meyer. Katanya, banyak debitur yang sebenarnya tidak memerlukan penghapusan utang dan mereka memang tidak akan mendapatkannya. Lebih dari itu, Meyer mengingatkan para debitur swasta Indonesia agar jangan berharap akan mendapat potongan atau pengurangan dari para kreditur. Para kreditur itu umumnya juga sedang dalam kesulitan pemodalan, sehingga haircut hanya ditempuh jika tidak ada alternatif lain untuk membuat utang kembali lancar (performing).
Dengan terjadinya krisis ekonomi, debitur bisa dibagi ke dalam dua golongan besar, yakni (1) debitur yang ditimpa kesulitan tapi masih mampu melunasi kewajibannya bila diberi keringanan tertentu dan (2) debitur yang tidak mampu lagi melunasi kewajibannya.
Penyelesaian menjadi sulit karena debitur golongan pertama cenderung menyatakan dirinya masuk golongan kedua bila berhadapan dengan kreditur. Tapi mereka tidak bersedia memberikan keterangan lengkap yang mendukung pernyataan itu. Sebaliknya, debitur golongan kedua lebih suka menyatakan dirinya debitur golongan pertama bila berhadapan dengan pemerintah, dengan harapan utangnya diambil alih (bail-out) oleh pemerintah.
Sikap pemerintah yang tidak akan melakukan bail-out didukung banyak pihak. Kalau bail-out dilakukan, yang menanggung beban adalah rakyat Indonesia. Implikasinya, dalam 10-15 tahun, rakyat akan menanggung beban pajak yang lebih berat, tanpa bisa menikmati manfaat dari pengorbanan tersebut. Mestinya yang menanggung beban utang swasta adalah para pemegang saham pemilik perusahaan dan mereka yang telah meminjamkan uang.
Untuk sementara waktu pemerintah dituntut bersikap lebih keras dan berkorban lebih banyak, sebelum para kreditur dengan berat hati--karena akan menderita rugi lebih besar--memanfaatkan Undang-Undang Kepailitan. Pemerintah perlu berusaha meyakinkan kreditur tentang keadaan sebenarnya dari perusahaan swasta yang berutang. Pemerintah dapat "memaksa" para debitur agar berunding dengan kreditur berdasarkan data yang benar tentang liabilitas dan solvabilitas perusahaan. Untuk ini, pemerintah harus berusaha keras dan mungkin perlu mempekerjakan auditor yang kredibel, di samping berkorban di bidang perpajakan.
Penyelesaian utang swasta sesungguhnya mungkin dilakukan tanpa harus membayar harga yang besar sebagai akibat dari ketidakpastian yang berlarut-larut. Pihak kreditur sebenarnya bisa menerima bahwa penyelesaian win-win solution sudah tidak mungkin. Mereka pada umumnya bersedia berbagi rasa sakit. Tapi untuk itu mereka mengharapkan adanya kejujuran dan ketulusan. Dan ini berarti kredibilitas kita sedang diuji.
Pande Radja Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo