Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Nama Keluarga dalam Akta

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama 32 tahun, Orde Baru telah memecah rakyat ke dalam beberapa kelompok yang diskriminatif sesuai dengan asal usul keturunannya. Pemerintah memakai dasar hukum peninggalan Belanda untuk menerbitkan akta kelahiran sesuai dengan suku, agama, pribumi, keturunan, dan asing. Sebagai contoh, empat akta kelahiran diterbitkan dengan dasar hukum berbeda, misalnya Stbld. Th. 1920 No.751, Yo. Th 192 No. 674, Stbld. Th. 1933 No.75, Yo. Th. 1936 No. 607, Stbld. Th. 1917 No.130, Th. 1919 No. 81, dan Non-Stbld. Beberapa suku di Indonesia mempunyai kebiasaan mencantumkan nama keluarga di belakang nama anaknya, tetapi lebih dari sepuluh tahun terakhir ini nama keluarga tidak boleh dicantumkan sewaktu mengurus akta kelahiran. Sudah beberapa kasus mengenai hal ini dimuat di media masa, tapi ternyata belum mendapat tanggapan. Anak pertama saya lahir di luar negeri. Surat keterangan yang dibuat KBRI sudah cukup sebagai bukti untuk membuat paspornya sedangkan akta kelahirannya, menurut kantor catatan sipil, tidak perlu dibuat. Pada surat keterangan lahir tidak ada dasar hukum seperti contoh di atas, dan nama keluarga boleh dicantumkan di belakang namanya. Sedangkan anak kedua saya lahir di Indonesia. Pada waktu saya mengurus akta kelahirannya, nama keluarga tidak boleh dicantumkan. Menurut pegawai catatan sipil, nama keluarga boleh ditulis pada paspor dan surat keterangan kependudukan lainnya. Semua pernyataan pegawai catatan sipil tersebut ternyata sesuai, kecuali mengenai penulisan nama pada rapor. Saya baru menyadari nama keluarga tidak tercantum pada rapor ketika anak saya yang kedua naik ke kelas dua SD. Menurut kepala sekolah, nama keluarga bisa dicantumkan di rapor apabila nama keluarga dicantumkan dalam akta kelahiran, sedangkan pada semua dokumen kependudukan, penulisan nama tersebut tidak menjadi masalah. Menurut informasi kepala sekolah, hal tersebut merupakan perintah. Ternyata, setelah saya telusuri, tidak ada dasar hukum mengenai larangan tersebut. Saya memohon kepada Menteri Kehakiman, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri agar menerbitkan peraturan yang jelas mengenai pencantuman nama keluarga pada semua dokumen pribadi, sehingga tidak ada perbedaan peraturan antara satu departemen dengan departemen lainnya. Peraturan peninggalan Belanda hanya akan menimbulkan disintegrasi bangsa dan sangat jelas unsur SARA-nya. DR. IWAN KURNIAWAN Anggota Dewan Penasihat Solidaritas Nusa Bangsa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus