DAPATKAH perang mengakhiri penderitaan? Inilah salah satu dilema yang akan mengganggu Presiden Bush beberapa hari mendatang ini. Sebab, makin lama keadaan "siap tempur tanpa bertempur" (stalemate) berlangsung di Teluk Persia ternyata makin parah penderitaan yang dialami negara-negara miskin. Makin berlarut krisis, makin besar kerugian ekspor mereka. Makin mahal harga minyak yang harus mereka beli, makin berat beban utang mereka karena tingkat bunga di seluruh dunia akan terus naik. Ironisnya, penderitaan yang menyakitkan ini akan berlangsung lebih pendek dan cepat selesai bila perang meletus di Teluk Persia. Perang, yang diperkirakan tidak akan berlangsung lama, dianggap akan segera menyelesaikan krisis, akan memulihkan keadaan, dan akan mengurangi kerugian ekonomi dunia. Alternatif perang makjn hari menjadi alternatif yang makin menarik, apalagi setelah segala upaya politik dan diplomasi gagal, dan kedua kontestan tidak mau mundur sejengkal pun dari posisi semula masing-masing. Tak ada orang yang tahu sampai kapan Saddam Hussein bisa bertahan dari blokade ekonomi. Ada yang memperkirakan cuma dua bulan dan ada yang memperkirakan dua tahun. Memang tak mudah mengukur daya tahan sebuah negara. Bagaimana mengukur daya tahan dengan rasional sebuah negara yang tidak rasional seperti Irak? Irak terbukti tahan hidup di sebuah neraka selama sepuluh tahun berperang dengan Iran, dan mengorbankan kemakmuran yang bisa mereka peroleh dari hasil minyaknya. Tak ada alasan kenapa Irak tak bisa tahan menderita kali ini. Karena alasan seperti inilah makin banyak yang meragukan keberhasilan blokade ekonomi terhadap Irak. Padahal, makin lama stalemate dan blokade berlangsung, keadaan makin tidak menguntungkan buat Amerika dan sekutunya. Di samping biayanya makin mahal, dukungan publik, yang biasanya tak sabar dengan perang, juga bisa makin menipis. Saling tunggu yang terlalu lama juga bisa menggoyahkan sekutu Amerika, dan bukan tidak mungkin akan ada yang malah berpihak kepada Irak. Karena itu, blokade udara yang diputuskan Dewan Keamanan PBB minggu ini diharapkan akan lebih menggencet Irak. Bila Irak benar-benar tergencet, akan ada dua kemungkinan. Irak akan menawarkan kompromi -- sesuatu yang tak akan dilakukan oleh seorang Saddam Hussein -- atau Saddam Hussein akan melakukan sesuatu yang nekat. Dan ini yang memang ditunggu oleh Amerika dan sekutunya. Bahwa agresi militer sebuah negara terhadap negara lain harus dilawan, memang sebuah prinsip. Dan kadang memang diperlukan pengorbanan untuk mempertahankan sebuah prinsip. Tapi haruskah sebuah prinsip dipertahankan dengan harga berapa saja? Ini belum termasuk harga nyawa manusia yang akan menjadi korban, memperingatkan bahwa, bila perang pecah, harga minyak akan melonjak menjadi US$ 60 per barel. Ini akan mengakibatkan resesi ekonomi dan sekaligus inflasi di seluruh dunia. Negara-negara miskin akan merupakan korban yang sangat menderita karena mereka makin tak mampu lagi mengimpor minyak dan bahan baku yang diperlukan industri mereka. Makin banyak industri yang akan ditutup di negeri-negeri ini. Pengangguran akan makin meluas, dan rakyat yang sudah miskin akan tenggelam lagi dalam kemiskinan. George Bush menyadari hal ini, dan pertanyaan getir yang tak akan lepas dari benaknya adalah: Haruskah seluruh dunia menderita untuk sebuah prinsip bahwa pemerintahan sebuah negara yang cuma berpenduduk satu juta orang harus dikembalikan lagi? Alternatif perang juga lebih menarik karena dengan cara ini AS akan mencapai tujuan yang lebih jauh dari tujuan yang dinyatakannya secara resmi sekarang ini. Penyelesaian krisis yang hanya terbatas pada mundurnya tentara Irak dari Kuwait, dan dikembalikannya pemerintah sah Kuwait, akan diterima dengan enggan oleh AS. AS tak akan puas dengan penyelesaian yang membiarkan Saddam Hussein tegar berkuasa terus di Irak. Apa yang tersirat dalam perkembangan krish selanjutnya adalah bahwa AS tidak bisa menerima utuhnya Saddam Hussein, dan dengan cara apa pun Saddam Hussein harus dihabisi. Ini akan menutup pintu kemungkinan adanya kompromi. Dan akan terbuka pintu untuk kemungkinan pecahnya perang, yang akan memberi dalih dan kesempatan buat AS untuk menghancurkan Saddam Hussein dan mesin militernya. Pada saat desakan untuk melakukan penyelesaian secara militer makin gencar, dan pada saat perang makin kelihatan sebagai bentuk penyelesaian logis, Presiden Bush mungkin harus melakukan beberapa renungan. Pada harga berapa prinsip mempertahankan prinsip tidak bisa ditawar lagi? Bila untuk kepentingan prestise, kompromi tidak bisa dilakukan, dan krisis terus berlarut, sampai berapa lama negara-negara miskin harus menderita? Dan bila ribuan nyawa menjadi korban bila perang pecah, untuk apakah mereka mati? Untuk sebuah prinsip? Ataukah mereka harus mati untuk mempertahankan harga bensin satu galon buat pengendara mobil di Amerika? Dan haruskah krisis Teluk ini berkembang menyerupai sebuah bisul yang harus meletus dan berdarah dulu sebelum sembuh dan pulih kembali? Memang ini sebuah perang batin yang harus dilakukan Presiden Bush sebelum berperang melawan Irak. Sejarah memang penuh ironi. Dan ini mungkin ironi yang terbesar sejak perang dingin AS-Uni Soviet berakhir. Seluruh dunia mengharapkan sebuah dividen perdamaian. Pada saat seperti ini, seorang presiden negara superkuat masih harus melakukan kalkulasi harga satu barel minyak dan darah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini