PERANG akhirnya tak terhindarkan lagi. Dan orang pun bertanya: apakah pengaruhnya terhadap ekonomi? Harga minyak melonjak ke tingkat US$ 40 per barel pada saat pecah berita bahwa Amerika Serikat dan Sekutu telah memberangkatkan pesawat-pesawat tempur untuk menyerang sasaran-sasaran di Irak dan Kuwait. Lalu tiba-tiba harga minyak merosot ke tingkat US$ 20 ketika rincian berita mulai terdengar, bahwa serangan itu berhasil melumpuhkan sebagian besar kekuatan militer Irak. Kekhawatiran bahwa Irak akan melumpuhkan instalasi minyak di Arab Saudi mulai pupus. Bursa saham dan valuta pun mengikuti gerak balet aerobatik pesawat-pesawat tempur: menghunjam, lalu mendaki tajam, kemudian menghilang. Jatuhnya harga minyak telah membuat harga saham maskapai penerbangan di Amerika Serikat meningkat drastis, bahkan hilang dari pasaran. Padahal, pada saat yang sama Eastern Airlines, yang sudah dua tahun ini masuk Chapter 11 dilindungi oleh Badan Federal dari tagihan kreditor untuk melakukan restrukturisasi), menghentikan penerbangannya secara total, tiga hari setelah perang pecah. Sekalipun perang adalah suatu fenomena yang nyata, ia juga menjadi label yang secara psikologis mempengaruhi tingkah laku konsumen. Sebuah surat kabar di Los Angeles menurunkan berita ini: Seorang pria masuk ke toko untuk membeli pesawat televisi. Begitu masuk toko, ia melihat orang berkerumun di depan layar televisi. Presiden George Bush sedang menyampaikan pidato untuk menjelaskan langkah perang yang diambilnya. Pria itu lalu pulang. Sebelum pulang, ia diwawancarai wartawan. "Begitu mendengar perang, saya buru-buru ingin berkumpul dengan keluarga saya di rumah. Minat saya untuk membeli televisi tiba-tiba sirna," kata pria itu. Laporan di surat kabar seperti itu memang tidak menggambarkan situasi umum. Perang -- sebagai sebuah label psikologis -- telah membuat pria itu secara impulsif membatalkan keputusannya untuk membeli televisi. Tidak semua orang bereaksi sama terhadap suatu fenomena, tentu saja. Dalam surat kabar yang sama dimuat juga wawancara dengan seseorang yang justru membeli mobil baru ketika perang pecah. Apa alasannya? "Saya memperoleh potongan sangat besar," katanya. "Soalnya, penjual mobil pun bingung dan khawatir bahwa perang akan membuat dagangannya lebih lambat. Jadi, saya tawar rendah-rendah pun dia lepas. Saya untung." Secara umum para pengamat ekonomi di Amerika Serikat beranggapan bahwa semakin cepat krisis Teluk diselesaikan, semakin cepat resesi diakhiri. Resesi itu sendiri sebenarnya lebih sering dipungkiri kehadirannya. Alan Greenspan, chairman Federal Reserve Board, tiga bulan yang lalu menyatakan bahwa Amerika Serikat mulai memasuki a meaningful economic downturn. Itu hanya sebuah basa-basi untuk mengurangi dampak reaksi psikologi masyarakat terhadap label resesi. Harga minyak memang membuat reaksi yang terbalik bagi negara-negara maju dan negara-negara penghasil minyak. Naiknya harga minyak bagi Indonesia adalah hikmah. "Rezeki minyak", begitu istilah yang dipopulerkan media massa. Sebaliknya, bagi masyarakat negara maju, naiknya harga minyak membuat tekanan pada real purchasing power. Apa pun fenomena yang sedang terjadi -- perang atau resesi -- konsumsi terus berjalan. Bahkan masa depresi pun tidak sama sekali menghentikan perputaran pada ekonomi. Perang atau resesi tak pernah membuktikan terjadinya lonjakan terhadap angka tabungan masyarakat. Perang, resesi, bencana alam, pengetatan likuiditas, hanyalah merupakan peristiwa yang mengingatkan masyarakat untuk lebih memperhitungkan langkahnya dalam mengkonsumsi. Seorang perokok tak akan menghentikan kebiasaannya hanya karena perang telah pecah di kawasan Teluk. Seorang wanita tidak berhenti membeli lipstik karena pemerintah melakukan kebijaksanaan pengetatan likuiditas. Kita pun tidak berhenti makan karena banjir menyerang kota tetangga kita. We become better buyers. Krisis membuat kita tidak merasa perlu kaviar, tetapi kita tetap butuh sarden. Kalau kita harus minum tiga gelas susu sehari karena alasan kesehatan, maka kita mungkin tidak membeli susu di toko, tetapi langsung ke grosir karena di sana lebih murah. Krisis membuat konsumen mencari alternatif-alternatif baru untuk meneruskan kehidupannya secara layak. Para pemasar yang jeli tentu akan berhasil menciptakan alternatif-alternatif baru untuk memasarkan produk yang sesuai dengan mood konsumen pada situasi tertentu. Perang dan resesi adalah juga trend yang bisa diikuti para pemasar. Kebanyakan pemasar memang hanya berhasil melakukan respon terhadap trend positif, seperti perubahan gaya hidup, perubahan cuaca perbaikan ekonomi. Sudah saatnya para pemasar belajar melakukan respon terhadap trend negatif. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini