Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa mengadu ke pusat

Peran ulama di desa menurun karena pembangunan terlalu sentralistis. kedudukan mereka tergeser oleh peran kepala desa. rembug desa kurang bergairah. ada usul agar ada dpr tingkat desa.

26 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH peran ulama di desa mulai merosot? Setidaknya sejak tahun 1950-an, para ulama sangat berperan. Selama beberapa tahun terakhir, misalnya, keberhasilan kampanye KB dan pemilu antara lain ditentukan oleh pengaruh ulama. Tapi kini, setidaknya sejak 1980-an, kedudukan penting informal leader itu sudah digeser oleh kepala desa. Begitu kesimpulan Sunyoto Usman, 49 tahun, dalam diskusi di Yayasan Hatta, Yogya, pekan lalu. Kesimpulan itu berasal dari disertasinya, Local Elites and Development, di Universitas Flinders, Adelaide, Australia, pada 1989. Ini menarik. Lebih-lebih karena staf pengajar Fisipol UGM ini juga berkesimpulan bahwa tersisihnya ulama tersebut gara-gara pilihan kebijaksanaan pemerintah (menyangkut pengaturan proyek-proyek pembangunan di desa) yang kurang tepat. Di lain pihak, kepala desa bukan lagi sebagai "kepala milik desa" yang mewakili aspirasi rakyat, tapi lebih sebagai wakil pemerintah. Penelitian Sunyoto dilakukan di tiga desa di Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang memenuhi syarat sebagai desa santri: masyarakatnya warga NU tulen dan penganut tarekat Naqsyabandiyah. Sampai pemilu 1987, sebagian terbesar penduduk selalu mencoblos PPP. Salah satu sebab merosotnya peran ulama ini, menurut Sunyoto, antara lain karena pembangunan di pedesaan masih sentralistis. Misalnya dalam tiga proyek: Supra-Insus, TRI, dan Bandes alias bantuan desa. Dalam pelaksanaan Supra-Insus dan TRI, misalnya, semua kebijaksanaan yang diambil selalu harus mendapat rekomendasi kepala desa. Dalam hal bantuan desa, proyek-proyek memang diusulkan dari bawah, melalui rapat dusun sampai LKMD. Tapi karena lembaga-lembaga itu didominasi pamong desa, elite pamong desalah yang mewarnai jenis proyek yang dirancang masuk anggaran. Formulasinya seolah-olah melibatkan semua tokoh, tapi keputusan terakhir tetap di tangan kepala desa. "Rembug desa sekarang ini tidak lagi gayeng (meriah) seperti dahulu kala. Sebab, keputusan terakhir tetap di tangan kepala desa. Masyarakat hanya dilibatkan dalam proses formulasi, bukan eksekusi," ujar Sunyoto. Ini dinilainya sebagai kemunduran. Itu sebabnya, kini banyak penduduk desa mengadu ke DPR (pusat), tidak ke kepala desa. Untuk mengembalikan peran pemimpin informal, Sunyoto sependapat dengan sosiolog Selo Soemardjan, yang mengusulkan dibentuknya DPR tingkat desa, hingga tokoh-tokoh informal memiliki mekanisme untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Lembaga seperti itu diharapkan bisa mengimbangi dominasi elite pamong desa, menjembatani kepentingan pemerintah dan rakyat. Pentingnya peran kaum ulama pertama kali disimpulkan oleh Cliffort Geertz pada 1950-an dalam disertasinya Religion of Java. Tapi benarkah kesimpulan sosiolog tenar ini sudah terpatahkan? Hal ini diragukan oleh Zamakhsyari Dhofier, penulis Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. "Secara keseluruhan saya tak melihat peranan ulama melemah, bahkan mereka dapat berintegrasi dalam pembangunan," kata Direktur Perguruan Agama Islam Departemen Agama ini. Contoh: K.H. Zainuddin M.Z. yang teramat kondang, sebagai dai yang dikagumi jutaan umat. Begitu pula Hajjah Tutty Alawiyah A.S. Tapi harus diakui bahwa lembaga-lembaga resmi di desa kini memang lebih didominasi oleh pamong desa. Bahkan juga LKMD, yang sebagaimana diatur oleh UU Pemerintahan Desa, diketuai oleh kepala desa. Sementara itu, kebijaksanaan pemerintah, bahkan yang menyangkut proyek-proyek pembangunan desa, sangat sentralistis. Pada titik inilah harus dilihat bahwa peran kaum ulama memang benar mulai melemah. Laporan Ajie Surya (Yogya) dan Wahyu Muryadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus