S. SURADI, 58 tahun, adalah pensiunan letnan kolonel TNI-AD. Namun, sejak Sabtu minggu lalu pakaian dinasnya diganti jaket merah. Hari itu, bersama 209 orang lainnya, secara resmi ia menjadi anggota Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Partai Demokrasi Indonesia. "Ini hanya alih profesi saja, bukannya saya membelot. Lagi pula, ketiga partai termasuk ABRI kan menganut asas tunggal, jadi sama saja," ujarnya. Mereka inilah para intelektual yang terjaring iklan ajakan bergabung dari PDI. Awal Desember lalu, Balitbang PDI memuat iklan tersebut di empat harian Ibu Kota dan daerah. Iklan tiga kolom bergambar kepala banteng itu sempat dipertanyakan Dirjen Sospol Departemen Dalam Negeri Hari Sugiman. Kalau banteng itu tanda gambar, bisa jadi masalah karena itu baru boleh muncul pada April 1992 mendatang. Iklan tersebut bisa menarik 210 orang. Sabtu pekan lalu, mereka dipertemukan dengan pengurus Balitbang PDI, si pemasang iklan. Menurut Kwik Kian Gie, Ketua Balitbang PDI, besarnya animo para intelektual memenuhi iklan itu di luar dugaannya. Belum lagi profesi para pelamar yang amat beragam. Selain Suradi yang pensiunan letnan kolonel itu, masih ada dua orang doktor, dokter, industriwan, pengacara, dan beberapa pegawai negeri. Dari 210 pelamar, hanya ada tujuh wanita. Sebanyak 120 orang datang dari Jakarta, sisanya dari pelbagai daerah. Menurut Kwik, mereka disebut "intelektual" karena dianggap punya wawasan ke depan. Umumnya mereka bergabung karena tertarik pada paham demokrasi dan slogan membela wong cilik yang didengungkan PDI. Masalah materi tak masuk hitungan karena sebagai anggota Balitbang mereka tidak mendapat uang sama sekali. Beberapa memang sudah "berdarah" PDI, seperti Pujianto, seorang dokter di rumah sakit swasta, yang sejak empat tahun lalu sudah mendaftar di partai kepala banteng itu. Atau Sri Yuastita Raib, pengacara yang ayahnya pernah menjabat salah seorang Ketua DPP PDI. Ada juga yang punya alasan tersendiri. Rizal Ismail, seorang dosen PTS, tertarik untuk ikut mengembangkan litbang. Sedang Heru, anak pegawai negeri, ingin mengisi waktu sambil menunggu pekerjaan. Para anggota baru ini nantinya bisa memilih salah satu bidang yang diminatinya: polkam, kesra, dan ekuin. Mereka juga bertindak sebagai asisten yang memberi masukan pada 39 anggota PDI di DPR. Keberhasilan PDI menjaring para "intelektual" ini membuktikan bagaimana gesitnya PDI. Sebelumnya, mereka juga merangkul para pengamen Jakarta, dengan menyelenggarakan kursus pengamen. Para anggota Fraksi PDI di DPR juga dikenal cepat tanggap. Misalnya, dengan menerima para pedagang asongan atau seniman yang mengeluhkan pengekangan kreativitas. Balitbang PDI yang didirikan tahun 1984 kini anggotanya melonjak jadi 255 orang. Bisa jadi, jumlahnya nanti akan lebih besar, karena, kata Kwik, pintu bagi para intelektual untuk bergabung masih terus dibuka. "Kami gembira karena minat masuk Balitbang sudah mengarah pada masalah politik juga," kata Wakil Ketua DPP Fatimah Achmad. Padahal, ketika Agustus 1988 beberapa pengurus Balitbang PDI membentuk Yayasan Pengkajian Demokrasi Indonesia, pengurus DPP sempat mencak-mencak karena dianggap akan menyaingi partai itu. Diah Purnomowati, Bambang Aji S., dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini