MUNGKIN baru kali ini seorang Presiden Amerika Serikat naik ke
atap Gedung Putih. Ini terjadi ketika Jimmy Carter meresmikan
pemakaian sistim air panas bertenaga matahari 20 Juni lalu.
Di atas ruang kabinet Gedung Putih itu, 32 sekat kaca kolektor
sinar matahari berjajar. Disaksikan stafnya, beberapa wartawan
dan undangan, Carter membuka sebuah kran. Air panas mengucur
keluar, yang disusul oleh riuh tawa dan tepuk tangan hadirin.
"Persekutuan asing manapun tak 'kan bisa menetapkan harga tenaga
matahari. Tak seorang pun dapat mengembargo itu," kata Carter.
Pengembangan teknologi tenaga surya sudah menjadi program
pemerintahan Carter dalam usaha mengatasi krisis kenaikan harga
minyak. Ada rencananya mendirikan sebuah "Bank Surya", misalnya,
untuk membantu fihak yang ingin memasang sistim pemanasan
bertenaga surya di rumah mereka. Akan ada pula keringanan pajak
bagi mereka yang mempergunakan atau mengembangkan teknologi
tenaga surya itu yang diharapkannya mengisi 20% dari kebutuhan
enerji di AS menjelang tahun 2000.
Sebuah pusat pembangkit listrik bertenaga matahari di Barstow,
California akan dibuka tahun 1980. Padangnya seluas 50 hektar
dipenuhi oleh deretan cermin yang memantulkan sinar matahari
sehingga terpusat pada sebuah ketel uap. Uap ini menja ankan
turbin dan kemudian generator yang mampu membangkitkan listrik
sebanyak 10.000 kw.
Problim terbesar dalam teknologi ini adalah menurunkan harga
produksinya. Dinas Pengembangan Teknologi, sebuah Badan
Penelitian dari Kongres AS, memperkirakan bahwa menjelang tahun
1980 mereka dapat menghasilkan listrik dengan biaya Rp 1.250 per
kw/jam dan menjelang tahun 1983 dapat ditekan menjadi Rp 625.
Target resmi pemerintah AS adalah Rp 300 per kw/jam -- masih 10
kali lipat dari harga yang dibayar pemakai listrik di Jakarta
sekarang.
Perhatian terhadap penggunaan tenaga matahari meningkat di
mana-mana. Buktinya, ketika Perhimpunan Tenaga Matahari Sedunia
(ISES) mengadakan konperensi tahun 1975 hanya 35 negara yang
hadir. Tapi konperensinya tahun 1978 di New Delhi, India,
dihadiri 52 negara, sedang dua bulan lalu 70 negara
menghadirinya di Atlanta, AS. Pengeluaran seluruh dunia untuk
proyek pengembangan dan pembuatan peralatan bertenaga surya pun
diperkirakan naik dari sebesar $ 500 juta -- 60% dari jumlah ini
di Amerika Serikat -- ke $1 milyar tahun depan.
Teknologi tenaga surya yang sangat populer sekarang ini adalah
sistim untuk pemanasan air. Lebih 50 negara kini membuat
berbagai peralatan untuk keperluan ini. Perhatian besar juga
ditujukan kepada peralatan masak, pengering dan penyuling air
asin.
Kini di RRC dibuat reflektor dengan garis tengah 5 meter, yang
bisa dipakai masak nasi dan air untuk keperluan 100 orang
sekaligus. Cina juga telah mengembangkan alat las bertenaga
matahari.
Rp 900 Milyar
India membina program tungku masak bertenaga surya. Dengan
bantuan Jerman Barat, India akan membangun sebuah pembangkit
listrik dari matahari. Vietnam telah mendirikan sebuah Institut
untuk Penelitian Tenaga Matahari. Thailand mempelajari
kemungkinan mempergunakan tenaga matahari untuk pengolahan air
buangan industri, sedang Filipina mengadakan berbagai percobaan
dengan pohon yang cepat tumbuh berkat tenaga matahari. Terutama
pohon yang dipergunakan untuk kayu bakar.
Di Australia, industri peralatan pengolahan tenaga matahari
berkembang pesat untuk ekspor. Tidak mengherankan kalau Markas
Besar Perhimpunan Tenaga Matahari Sedunia (ISES) berada di
Melbourne.
Jepang menggerakkan "Proyek Cahaya Matahari" yang biayanya
menjelang tahun 2000 akan mencapai Rp 900 milyar. Titik beratnya
adalah pada produksi sel surya. Untuk tahun 1986 direncanakannya
pembangkit listrik dengan daya 10 MW dan tahun 1991 dengan daya
100 MW -- semua dengan sel surya. Sel itu terbuat antara lain
dari bahan silikon yang mengolah sinar matahari langsung menjadi
listrik.
Program Korea Selatan lebih ambisius lagi. Negeri itu yakin
bahwa separuh kebutuhan enerjinya menjelang tahun 2000 dapat
dipenuhi oleh tenaga surya. Rencananya sebanyak 82.000 rumah
tahun 1983 akan dipanaskan dengan tenaga matahari, sedang "Kota
Surya" mulai berwujud di bagian Timur kota Seoul.
Indonesia, negeri matahari, juga tidak ketinggalan. Pelopor
dalam penelitian teknologi ini adalah ITB di Bandung dan GAMA di
Yogyakarta. Sudah ada perjanjian Indonesia dengan Jerman Barat
untuk membangun proyek penelitian di Tangerang dan di sebuah
pulau di Teluk Jakarta. Proyek ini akan dimulai Agustus
mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini