SEMENJAK reformasi bergulir dan kran informasi dibuka habis, dunia pers di Indonesia pun leluasa menghirup apa yang dengan mentereng disebut sebagai kebebasan pers. Budaya telepon—sejenis sensor yang dilakukan institusi militer sepanjang era Orde Baru—praktis terhenti. Ruang gerak pers semakin luas dan wartawan semakin percaya diri.
Namun, praktek pemeriksaan wartawan oleh polisi—bukan sensor—kini mulai diterapkan. Perlakuan yang bertentangan dengan hak asasi ini—untuk itu harus ada alasan kuat, misalnya demi kepentingan umum—telah diterapkan atas Pemimpin Redaksi Anteve, Askarmin Zaini, dan Pemimpin Redaksi Suara Bangsa, Petron Curie. Kesalahan Askarmin—menurut polisi—adalah menayangkan wawancara dengan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sedangkan Petron Curie diperiksa karena dalam tulisannya ditemukan apa yang disebut aparat sebagai penghinaan terhadap Presiden B.J. Habibie. Dengan tuduhan itu, keduanya lalu dikenai status tersangka.
Becermin pada dua kasus itu, ada beberapa hal yang pantas dipertanyakan. Mengapa pihak kepolisian tidak mengindahkan Pasal 28 UUD 1945, yang intinya menyatakan bahwa kebebasan pers perlu untuk mengontrol penyelenggaraan negara? Kebebasan pers, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 28 UUD 1945, tidak boleh dibatasi oleh sensor ataupun bentuk pengekangan lainnya. Dengan demikian, menetapkan status tersangka atas diri Askarmin tidak hanya dirasakan sebagai setback, tapi sekaligus mengingatkan pada politik kekuasaan Orde Baru. Sebagai tersangka, Askarmin seakan telah melanggar KUHAP, padahal yang dilakukannya hanya menayangkan sebuah wawancara. Apakah usaha menyebarkan informasi berimbang ini bisa dianggap tindak pidana, hingga pantas diancam hukuman penjara berikut denda yang besar?
Di sisi lain, pasal-pasal tentang fitnah dari KUHAP juga berpeluang menggerogoti kebebasan pers, sehingga Petron Curie sebaiknya diberi hak untuk membuktikan kebenaran informasi yang dipublikasikannya. Singkatnya, publikasi yang dituduh memfitnah itu harus dibuktikan sebagai usaha yang dilakukan semata-mata demi kepentingan masyarakat luas. Sedangkan masyarakat itu sendiri layak diakui haknya untuk mengetahui—ini sekadar mengutip bunyi amendemen nomor 1 dari konstitusi Amerika Serikat yang tersohor itu. Dalam konteks ini, memublikasikan wawancara dengan panglima GAM sekalipun, sah-sah saja. Penjelasan dari seorang tokoh GAM setidaknya memungkinkan kita untuk memahami kemelut Aceh secara lebih obyektif. Dalam hal ini, asas pemberitaan berimbang merupakan kunci: akan sangat fair bila aparat yang begitu sering dikutip oleh wartawan—padahal keterangannya belum tentu sepenuhnya benar—juga siap menghadapi informasi dari pihak lain. Baru dengan demikian, masyarakat dapat melihat kasus Aceh dalam perspektif yang tepat.
Manfaat kebebasan pers sesungguhnya tak perlu diragukan. Informasi, kajian atas informasi, pembentukan opini, dan kontrol atas pemerintah serta institusi-institusi negara lainnya, selain bermanfaat dan bernilai tambah, tidak mungkin ditawarkan oleh lembaga lain di luar pers. Singkat kata, pers adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat modern, dari peradaban. Semua itu diulangi di sini bukan karena ingin menepuk dada, tapi karena pihak-pihak tertentu mulai lupa atau sengaja melupakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini