Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polri dan KPK kembali berseteru, mengingatkan pada perselisihan cicak vs buaya.
Kali ini siapa cicak siapa buaya terbalik: Ketua KPK diduga memaksakan penyidikan Formula E yang ditentang dua bawahannya.
KPK berada di titik nadir setelah posisinya berada di bawah Presiden karena bisa menjadi tunggangan politik.
DI bawah kepemimpinan Firli Bahuri, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hanya lumpuh, tapi juga menjadi arena politik. Bukti terbaru adalah perseteruan Firli dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam pemberhentian Brigadir Jenderal Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun berkiprah di komisi antikorupsi, Endar menerima surat rekomendasi pengembalian ke kepolisian pada November 2022. Akhir Maret lalu, Listyo Sigit merespons rekomendasi KPK itu dengan memperpanjang masa tugas Endar. Alih-alih menindaklanjuti permintaan Kepala Polri, melalui keputusan Sekretariat Jenderal KPK, Firli mencopot Endar. Awal April lalu, Listyo Sigit kembali berkirim surat kepada pimpinan KPK meminta Endar tetap bertugas di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dasar hukum yang digunakan Firli di antaranya Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan pegawai KPK dikembalikan ke instansi asal jika melakukan pelanggaran disiplin berat. Alasan ini terkesan dibuat-buat karena, menurut Dewan Pengawas KPK, Endar tak pernah melanggar etik. Pencopotan itu juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 yang menyebutkan masa penugasan di KPK paling cepat empat tahun yang bisa diperpanjang empat tahun lagi, berikutnya dua tahun. Satu paket dengan Endar, KPK juga mencopot Inspektur Jenderal Karyoto sebagai Deputi Penindakan KPK.
Kedua jenderal polisi itu tidak mendukung penetapan status penyidikan kasus Formula E Jakarta di era Gubernur Anies Baswedan. KPK sudah meminta keterangan Anies pada September 2022. Karena tak mendukung Anies menjadi tersangka, keduanya dilaporkan sebuah lembaga swadaya masyarakat ke Dewan Pengawas KPK. Sulit tidak mengaitkan LSM ini dengan siasat penyingkiran Endra dan Karyoto mengingat Firli berkeras menyidik dugaan korupsi Formula E.
Sikap Firli memaksakan penyidikan sebuah perkara dan menyingkirkan personel yang tak sejalan menunjukkan betapa rusaknya komisi antikorupsi. Dipreteli kewenangannya oleh undang-undang hasil revisi di ujung periode pertama Joko Widodo, KPK saat ini berada di titik nadir. Masuk rumpun eksekutif, KPK dengan mudah menjadi alat politik penguasa. Indikasinya: KPK sigap mengusut dugaan korupsi yang menyeret lawan politik, tapi menjadi "ayam sayur" ketika berhadapan dengan perkara rasuah pemerintah dan koalisinya.
Dalam kasus Formula E, KPK memang bergerak cepat. Sikap ini patut dipuji jika Komisi menemukan indikasi kuat penyimpangan uang negara dalam penyelenggaraan balapan mobil listrik itu. Jika tidak, KPK tidak boleh memaksakan perkara, apalagi dengan mengabaikan prinsip profesionalitas dan imparsialitas.
Sebaliknya, dalam kasus yang melibatkan kader partai penguasa, Firli dan empat komisioner KPK tak berkutik. Pengejaran buron kasus suap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, hingga kini tak jelas kelanjutannya. Atau perkara bantuan sosial yang melibatkan sejumlah politikus PDIP yang jalan di tempat. Bahkan nama mereka hilang dari berkas dakwaan.
Memaksakan penetapan status tersangka kepada Anies Baswedan menjelang Pemilu 2024 memunculkan wasangka ada pesanan politik di balik perkara Formula E. Dengan berstatus tersangka, Anies tak bisa maju dalam pemilihan calon presiden tahun depan. Pihak yang paling diuntungkan jika Anies tak bisa menjadi kandidat presiden adalah calon lain dan partai pendukungnya. Jika ini terjadi, KPK telah menjadi tukang pukul.
Sulit tak mengaitkan praktik curang ini dengan upaya pemerintah Jokowi melemahkan KPK lewat revisi undang-undang. Segendang sepenarian dengannya, Dewan Perwakilan Rakyat dulu juga menetapkan Firli sebagai ketua Komisi meski sejumlah kalangan telah mengingatkan rekam jejaknya yang buruk dalam menangani perkara korupsi.
Polemik Jenderal Listyo Sigit dan Firli Bahuri dalam pemberhentian Brigadir Jenderal Endar Priantoro hanya salah satu akibat pelemahan KPK. Tentu saja mengharapkan Presiden bersikap adil dan bijaksana menengahi perseteruan KPK dan kepolisian bagai menggantang asap.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo