Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRWANSYAH Siregar sedang menyantap makan siang pada satu ruangan di Markas Kepolisian Daerah Bengkulu ketika pertama kali berjumpa dengan Yuliswan, pengacaranya. Ia lupa hari tepatnya, tapi pertemuan berlangsung pada pengujung September lalu. ”Waktu itu sedang istirahat pemeriksaan,” kata Irwansyah ketika ditemui di rumahnya di Bengkulu, Jumat pekan lalu.
Bersama Dedi Mulyadi, Irwansyah diperiksa soal penembakan pada 18 Februari malam delapan tahun silam. Ketika itu, keduanya bersama empat orang lain ditangkap polisi dengan tuduhan hendak mencuri sarang walet. Beberapa hari sebelum pertemuannya dengan Yulisman, kata Irwansyah, seorang polisi berbaju preman mendatanginya di Pasar Panorama, Kota Bengkulu, tempat ia berjualan ikan. ”Saya diminta datang ke Polda, lalu saya ceritakan apa adanya,” ujarnya.
Di markas Polda pada jam istirahat itu, Irwansyah dan Dedi dihampiri Yuliswan. Irwansyah lalu diminta bercerita mengapa dulu mereka ditembak polisi. Diselingi obrolan tentang asal-usul, Yuliswan mengaku kerabat jauh Yunita, istri Irwansyah. Di ujung pembicaraan, Yuliswan menawarkan diri menjadi pengacara. Kata Irwansyah, ”Saya terima saja.”
Menurut Irwansyah, setelah pemeriksaan hari itu, ia dan Dedi diminta meneken sebuah surat, yang tak ia ketahui isinya. Satu pekan kemudian, pada 5 Oktober lalu, ia menjalani operasi pengangkatan proyektil di betis kirinya. Proyektil tersebut, menurut polisi, dimuntahkan pistol Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bengkulu ketika itu, Inspektur Satu Novel Baswedan.
Dedi Nuryadi bungkam ketika ditanyai soal ini dua pekan lalu. Menurut ibunya, Sumiati, Dedi sudah melupakan peristiwa penembakan pada 2004 itu. ”Kami tak pernah berniat melaporkan,” ujarnya. Pada akhir September lalu, polisi tiba-tiba menjemputnya di rumahnya di Bengkulu. Sepulang dari markas Polda, Dedi bercerita bahwa ia diminta menceritakan kejadian pada 2004.
Pada 18 Februari 2004, Irwansyah, Dedi, dan empat tersangka lain, yakni Doni Yefrizal, M. Rusliansyah alias Ali, Rizal Sinurat, serta Mulyan Johani alias Aan, disangka hendak mencuri sarang walet di lantai tiga rumah toko milik Aliang Purnomo di Jalan S. Parman, Bengkulu. Mereka kemudian digiring ke kantor Polres. Setelah diperiksa, keenamnya dibawa ke Taman Wisata Pantai Panjang di kota itu oleh tim reserse dan buru sergap.
Menurut laporan kemajuan yang dibikin polisi dua pekan lalu, Novel Baswedan ketika itu ikut ke lokasi mengendarai sedan putih bersama Kepala Unit Pidana Umum Inspektur Satu Yuri Leonard Siahaan. Adapun Kepala Urusan Pembinaan Operasional Inspektur Satu Arif Sembiring menunggang Kijang. Di pantai, menurut laporan itu, mereka masing-masing membawa dua tersangka. Novel menggiring Irwansyah dan Dedi, lalu menembak betis mereka. Adapun Irwansyah dan Dedi mengatakan tak melihat siapa penembaknya.
Delapan tahun kemudian, penembakan itu diungkit lagi ketika Novel telah berdinas di Komisi Pemberantasan Korupsi dan sedang mengusut perkara rasuah proyek simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Polri. Bertentangan dengan cerita Irwansyah, menurut Yuliswan sang pengacara, pengungkapan kasus tersebut bermula dari keluhan kliennya soal sakit bekas tembakan di betis kiri. Ia mengaku bukan baru kemarin mengenal Irwansyah. ”Saya kenal karena istrinya masih satu nenek.”
Yuliswan kemudian menyarankan Irwansyah meminta polisi bertanggung jawab atas penembakan delapan tahun lalu itu. ”Karena kesaksian satu orang kurang kuat, saya minta Irwansyah mencari kesaksian korban lain,” ujar Yuliswan. Menurut dia, dari empat korban, hanya Dedi Nuryadi yang bisa dilacak. Ia mengklaim menerima kuasa dari Irwansyah dan Dedi pada 3 September seperti tertera dalam surat, bukan pada akhir September seperti kata Irwansyah.
Kejanggalan asal-usul surat kuasa tersebut juga dicium Komisi Kepolisian Nasional. Sejak Kamis hingga Sabtu dua pekan lalu, Komisi Kepolisian turun ke Bengkulu dan memeriksa 26 saksi, termasuk Irwansyah dan Dedi. Kepada Komisi Kepolisian, mereka berdua mengaku meneken surat kuasa pada 5 Oktober pagi, sebelum operasi mengangkat proyektil di Rumah Sakit Bhayangkara Bengkulu. ”Menurut korban, surat disodorkan pengacara,” kata anggota Komisi Kepolisian, Muhammad Nasser.
Berbekal surat kuasa tertanggal 3 September, Yuliswan kemudian mengajukan surat permohonan keadilan kepada polisi tertanggal 21 September 2012. Dalam surat bernomor 079/SP/A-YOR/09/2012 itu, Yuliswan menceritakan kronologi penembakan versi kliennya. Tak menyebut Novel sebagai penembak, Yuliswan menulis penganiaya Irwansyah dan Dedi adalah ”aparat Polres Bengkulu di bawah pimpinan Kasat Reskrim Iptu Novel”.
Surat itu ia ajukan kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo dengan tembusan kepada Presiden, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, Ketua Komisi Kepolisian Nasional, dan Kepala Polda Bengkulu. Kenyataannya, Yuliswan tak pernah mengirimkan surat itu kepada Kepala Polri. Yuliswan hanya mengirimkan surat itu kepada Polda Bengkulu—yang diklaim Polda sebagai laporan.
Kejanggalan yang paling kentara terdapat dalam soft copy surat yang juga diperoleh dari Yuliswan. Dalam versi cetak, surat diakhiri dengan tanda tangan Yuliswan selaku kuasa hukum. Di bawah tanda tangan, ada tembusan untuk para pejabat tadi. Dalam versi soft copy, di antara ”tanda tangan” dan ”tembusan” muncul bagian yang tadinya tak terlihat, yakni ”paraf konseptor”. Salah seorang konseptor surat ditulis ”Wakapolda”.
Makin aneh lagi, dari properties berkas terlihat bahwa surat dibuat pada 29 September 2012, pukul 08.45, dari komputer merek Acer. Rekam digital menunjukkan surat terakhir kali dicetak pada 3 Oktober, setelah polisi mulai mengusut kasus Novel pada 1 Oktober (”Hikayat Surat Bertanggal Mundur”, Tempo edisi 15-21 Oktober 2012).
Surat bertanggal 21 September yang sebenarnya bertanggal mundur itu dijadikan dasar oleh polisi untuk mengungkap kasus lama Novel. Menurut Yuliswan, kliennya pertama kali diperiksa pada 1 Oktober. Sedangkan Irwansyah dan Dedi menyatakan diperiksa pertama kali pada akhir September. Dua hari kemudian, pada 3 Oktober, polisi melakukan prarekonstruksi kasus. Pada 5 Oktober, Novel hendak ditangkap di gedung KPK dengan tuduhan telah melakukan penganiayaan berat terhadap Irwansyah.
Setelah kasus ”resmi” pada 1 Oktober, polisi mengklaim sudah memeriksa 17 saksi, mayoritas bekas anak buah Novel. Salah satu kesaksian yang memberatkan Novel datang dari Ajun Inspektur Satu Lazuardi Sembiring. Ketika diperiksa, Lazuardi mengatakan, pada saat kejadian 2004, di Pantai Panjang ia melihat keenam tersangka diserahkan kepada Novel.
Kesaksian Lazuardilah yang mengatakan Novel kemudian menggiring Irwansyah dan Dedi. Kolega Novel—Yuri Siahaan dan Arif Sembiring—masing-masing juga membawa dua orang. Kepada penyidik, Lazuardi kemudian mengatakan mendengar tembakan dari arah Novel membawa tersangka. ”Ada suara tembakan dua kali,” katanya kepada penyidik. Saat itu Lazuardi mengaku berdiri kurang dari 20 meter dari Novel.
Anehnya, ketika diperiksa Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Bengkulu pada 12 April 2004 dalam kasus pelanggaran disiplin Novel dan kawan-kawan, Lazuardi mengaku tak ikut ke Pantai Panjang pada 18 Februari 2004. Lazuardi juga mengatakan baru tahu ada penembakan keesokan harinya ketika ia melongok ke ruang tahanan dan melihat kaki para tersangka dibebat perban. ”Menurut tersangka, itu luka tembak karena ditembak tadi malam,” ujarnya.
Dihubungi pada Jumat pekan lalu, Lazuardi enggan menjelaskan kenapa pengakuannya berbeda-beda. ”Saya enggak bisa jawab,” katanya kepada Subkhan J. Yusuf dari Tempo. Ditanya sekali lagi, ia mengatakan, ”Tanyakan saja kepada Polda Bengkulu.” Polda Bengkulu berulang kali membantah ada rekayasa. Adapun juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan, ”Untuk membuktikan benar atau tidak, tempatnya di pengadilan.”
Aroma rekayasa juga tercium dari alat bukti lain yang disodorkan untuk menunjang keterangan saksi. Menurut polisi, Novel memegang pistol Smith and Wesson dengan nomor seri 12D6646 saat berdinas di Bengkulu. Mengangkat proyektil dari kaki Irwansyah pada 5 Oktober lalu, hari itu juga polisi menyatakan anak peluru inilah yang keluar dari pistol Novel delapan tahun silam. Padahal belum ada uji balistik sama sekali. Yang membikin dahi berkerut, pada 10 Oktober polisi pergi ke Pantai Panjang untuk mencari proyektil lain.
Lokasi pencarian proyektil pun bukan di tempat penembakan. Polisi mencari benda itu di bibir pantai, sekitar 100 meter dari gerbang masuk Taman Wisata Pantai Panjang. Menurut seorang polisi, lokasi kejadian sebenarnya persis di belakang gerbang Taman Wisata.
Kasus penembakan tersebut sebenarnya ganjil sejak awal. Ketika Novel dan kawan-kawan menjalani sidang disiplin, ada upaya menutup-tutupi kematian Mulyan Johani alias Aan, salah seorang tersangka. Setelah penembakan di pantai, malam itu Aan dan kawan-kawan dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Selesai diobati, mereka diangkut lagi ke markas Polres. Di sana mereka kembali mengalami penyiksaan.
Lantaran terus-terusan dihajar, Aan roboh di tangga penghubung lantai satu dan lantai dua markas Polres. Aan lalu diangkat petugas lantaran tak bisa berdiri lagi. Selanjutnya, ia dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara. Ketika itu, sesuai dengan kesaksian sejumlah polisi, Novel dan beberapa anak buahnya sedang makan nasi goreng di samping masjid jami.
Namun, ketika diperiksa Bagian Profesi dan Pengamanan Polda pada 2004, Novel mengatakan Aan tewas di sekitar Taman Remaja, bukan di markas Polres. Ketika itu, menurut Novel kepada pemeriksa, polisi memisahkan Aan dari lima tersangka lain untuk pengungkapan kasus. Dalam suatu kesempatan, pemuda itu mencoba melarikan diri. Novel kemudian menembaknya ke arah kaki. Aan tersungkur menabrak pot bunga yang pecah, lalu tewas.
Pengakuan ini sesungguhnya skenario belaka. Menurut Novel, ia diminta petinggi Polres dan Polda Bengkulu membuat pengakuan demikian agar kasus kematian Aan tak berbuntut. Kenyataannya, hanya Novel yang mengaku demikian. Saksi lain mengatakan Aan tewas di kantor Polres. Menurut Novel ketika dihubungi pekan lalu, ia dulu mau mengaku demikian untuk mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. ”Karena tak mungkin mengusut siapa pembunuhnya,” kata dia.
Yang juga janggal, ada dua surat keputusan penghukuman disiplin untuk Novel. Berdasarkan surat nomor SKKPD/10/VI/2004/P3D tertanggal 25 Juni 2004, Novel hanya dijatuhi hukuman teguran keras. Namun ada surat bernomor SKPD/30/XI/2004/P3D tertanggal 26 November 2004 yang juga menghukum Novel. Berdasarkan surat ini, Novel dihukum kurungan tujuh hari.
Menurut Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Bengkulu Ajun Komisaris Besar Hendrik Marpaung, Novel dihukum tujuh hari berdasarkan surat 26 November. Namun Novel merasa hanya menerima surat bertanggal 25 Juni. Perkara lama yang semakin kisruh.
Anton Septian, Rusman Paraqbueq (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo