DALAM analisa pertama, desakan untuk menaikkan harga BBM
berlandaskan perhitungan dan pertimbangan ekonomis bahwa subsidi
BBM menjadi terlalu berat untuk anggaran belanja. Tapi penentuan
seberapa jauh harga BBM akan dinaikkan, apalagi perincian
tentang kenaikan harga yang akan dikenakan terhadap
masing-masing jenis BBM, dalam analisa terakhir merupakan suatu
keputusan yang pertama-tama bersifat politis. Perincian itu
menentukan berapa beban yang hendak dipikulkan kepada
masyarakat, dan golongan masyarakat mana yang akan diharuskan
memikul beban paling berat, kurang berat ataupun ringan.
Pola kenaikan harga BBM yang mulai berlaku tanggal 7 Januari
pukul 00.00 itu memperlihatkan, nampaknya pertimbangan ekonomis
-- misalnya tentang berapa subsidi yang dapat dihemat, bagaimana
mengoreksi distorsi alokasi dana, dan selanjutnya -- lebih
mempengaruhi keputusan itu daripada pertimbangan politis tentang
pemerataan, keadilan sosial, dan lain-lain. Karena itulah
misalnya bisa terjadi, bahwa persentase kenaikan harga yang
terkecil (11,1%) diberlakukan terhadap bensin Super-98, yaitu
jenis BBM yang hanya dipakai oleh mobil-mobil baru super-mewah.
Juga dalam hitungan rupiah, kenaikan harga untuk Super itu
paling kecil, yaitu Rp 40 per liter, sama dengan kenaikan harga
minyak tanah. Tetapi bagi minyak tanah kenaikan sebesar itu
secara persentase berjumlah 66,7% dari harga lama Rp 60 per
liter.
Kenaikan terbesar dalam hitungan rupiah diberlakukan terhadap
bensin Premium, yaitu Rp 80 atau 33,3% dari harga lama Rp 240
per liter. Persentase kenaikan yang tertinggi (670,6%) tercatat
untuk minyak Solar, yang terutama dipakai oleh truk dan bis,
begitu pula oleh beberapa jenis jeep dan sedan. Berdasarkan
pertimbangan minyak Solar itu merupakan sumber energi utama
untuk pengangkutan barang lan rakyat golongan rendahan, orang
dapat berargumentasi bahwa jenis BBM ini seharusnya tidak
dibebani kenaikan harga yang begitu tinggi. Argumen yang serupa
dapat dikemukakan untuk minyak tanah.
Tapi pertimbangan politis semacam itu ternyata dikalahkan
terhadap perhitungan, bahwa berdasarkan volume konsumsinya maka
setiap rupiah kenaikan harga minyak tanah menghasilkan
penghematan subsidi BBM kurang lebih Rp 8,8 milyar, 220 kali
yang didapat dari kenaikan harga Super 98 dengan jumlah yang
sama. Untuk jelasnya, kenaikan harga dengan Rp 40 per liter
untuk minyak tanah berarti pengurangan subsidi dengan Rp 352
milyar dengan kenaikan harga Rp 40 untuk penjualan Super-98,
kemampuan untuk memberikan subsidi kepada minyak tanah, solar,
diesel dan minyak bakar hanya bertambah dengan Rp 1,6 milyar.
Angka konsumsi jenis-jenis BBM lainnya memperlihatkan, bahwa
setiap rupiah kenaikan harga mengurangi subsidi total BBM dengan
Rp 8,1 milyar untuk Solar, Rp 4,4 milyar untuk Premium, Rp 2,9
milyar untuk Minyak Bakar, Rp 1,5 milyar untuk Diesel, Rp 700
juta untuk Avtur dan Rp 20 juta utltuk Avigas. Pola konsumsi
yang demikian itu memperlihatkan, betapa besar godaan untuk
menaikkan harga Solar setinggi-tingginya, begitu juga harga
Premium. Kenaikan harga Solar dengan Rp 60 per liter berarti
pengurangan subsidi dengan Rp 48 milyar.
Argumen lain untuk menaikkan harga minyak tanah dan Solar
dengan begitu banyak ialah: subsidi untuk kedua jenis BB itu
sudah kelewat besar. Berdasarkan biaya produksi rata-rata BBM
sebesar Rp 152 per liter yang berlaku sekarang subsidi untuk
minyak tanah misalnya sudah Rp 92 per liter. Dan untuk Solar Rp
67.
Biaya produksi rata-rata itu dapat dipastikan naik terus dalam
tahun anggaran 1983/84 sebagai akibat inflasi, depresiasi rupiah
terhadap US$ dan penurunan volume minyak pro-rata yang murah
sebagai akibat peralihan dari Kontrak Karya yang masih tersisa
menjadi Kontrak Bagi-Hasil dalam Semester II 1983/84. Maka
subsidi untuk minyak tanah dan solar jadinya akan bertambah
besar lagi. Kesenjangan antara dan harga kedua jenis BBM itu
jadi akan semakin bertambah menyolok.
Mengingat pentingnya pertimbangan-pertimbangan politis
pemerataan, keadilan sosial dan lain-lain maka sesungguhnya
kesenjangan yang diakibatkan oleh subsidi yang berlebihan itu
pun dapat dikatakan masih belum merupakan untuk menaikkan harga
minyak tanah dan Solar begitu banyak kalau dananya ada.
Tapi apa daya, fulus tidak ada. Maka dominasi pertimbangan
perhitungan ekonomi dalam pola kenaikan harga ini merupakan
pertanda akan beratnya keadaan. Sedang suasana latar belakangnya
memang jauh berbeda yang berlaku ketika harga BBM dinaikkan 1
tahun 3 yang lalu.
Justru karena itu sesungguhnya tidak ada salahnya, jika harga
Super dinaikkan lebih banyak, katakanlah menjadi Rp 450 atau Rp
500 per liter. Penerimaan akan bertambah dengan Rp 2 atau Rp 4
milyar karenanya. Bahkan pemerintah akan mendapat keuntungan
tambahan: citra pemerataan dan keadilan sosial akan bertambah
baik.
Kenaikan harga BBM mau tidak mau harus disusul dengan kenaikan
harga dan tarif di bidang-bidang yang mempergunakan berbagai
jenis BBM itu. Kali ini pemerintah rupanya telah belajar dari
pengalaman tahun yang lalu dan ketentuan-ketentuan baru mengenai
berbagai macam tarif angkutan, pos dan lain-lain segera
diumumkan dengan selisih hanya 1-3 hari.
Kecekatan yang sama sekarang diharapkan untuk memberikan
kompensasi kepada masyarakat dan terutama rakyat kecil sebagai
imbalan terhadap tambahan beban yang harus dipikulnya.
Kompensasi itu terutama harus dicari ke arah pembelian pelayanan
yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar kepada keperluan
rakyat banyak.
Pergeseran-pergeseran yang mau tak mau akan terjadi di dalam
pola konsumsi sebagai akibat perubahan perimbangan harga
berbagai jenis BBM itu memberikan peluang untuk itu. . Ini
hendaknya tidak disia-siakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini