Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokowi memilih Jenderal Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI.
Andika Perkasa hanya memiliki masa tugas pendek.
Sistem regenerasi buruk bagi institusi tentara.
PEMILIHAN Panglima Tentara Nasional Indonesia pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto berujung antiklimaks. Presiden Joko Widodo mengambil jalan tengah dengan mengedepankan faktor politis ketimbang menjaga proses regenerasi yang berkualitas di institusi tentara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden menetapkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa menjadi calon tunggal Panglima TNI pada Rabu, 3 November lalu. Setelah melewati uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat, alumnus Akademi Militer 1987 itu akan mulai bertugas pada 1 Desember mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jatuhnya pilihan Jokowi kepada Andika pada detik-detik terakhir menandakan Presiden memilih jalan kompromi. Sebab, sudah lama dia bertahan atas desakan sejumlah kalangan agar mengangkat Andika sebagai Panglima. Apalagi Presiden disebut-sebut menginginkan calon lain.
Jokowi akhirnya memilih Andika sebagai Panglima TNI meski hanya memiliki masa tugas selama 13 bulan. Wajar jika timbul kecurigaan Presiden tidak sanggup membendung permintaan kelompok yang menginginkan Andika menjadi Panglima.
Sejatinya sikap Jokowi menghindari memilih Andika berlangsung sudah lama. Nama mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat ini sebagai calon kuat Panglima bergema sejak pertengahan 2019, menggantikan Hadi Tjahjanto, yang saat itu sudah bertugas lebih dari dua tahun.
Nyatanya, pengangkatan itu tidak pernah terjadi. Presiden berkukuh mempertahankan Hadi hingga pensiun. Guna meredam kegaduhan, Jokowi membuat jabatan Wakil Panglima TNI dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Posisi ini tidak pernah terisi hingga sekarang.
Saat itu, belum ada sikap terang dari Jokowi siapa kandidat Panglima yang dia inginkan, hinggaberdampak buruk karena membelah institusi tentara. Bahkan, sejak awal 2021, terjadi perkubuan kuat di lingkup internal TNI antara pendukung Andika dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono, yang lebih diunggulkan.
Gerbong politik besar di belakang Andika menjadi faktor pemaksa Jokowi memilihnya. Andika adalah menantu mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Abdullah Mahmud Hendropriyono, yang juga sangat dekat dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Tidak salah jika tekanan politik besar membuat Jokowi mengabaikan begitu saja soal kinerja dan rekam jejak kandidat pilihannya. Sulit menemukan prestasi dan terobosan Andika dalam meningkatkan kemampuan dan profesionalitas prajurit sejak menjadi KSAD. Kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay, pada 2001, juga sempat menyeret namanya.
Sebetulnya, sebagai Panglima Tertinggi TNI, Jokowi memegang kekuasaan penuh memilih siapa pun yang diinginkan orang nomor satu di organisasi tentara. Pertimbangan utama tentu kandidat adalah prajurit terbaik, cakap dan profesional dalam menggerakkan roda organisasi.
Jokowi melepaskan begitu saja kesempatan meniru proses regenerasi Panglima TNI yang mulus di era pemerintahan sebelumnya. Dia meminggirkan tradisi rotasi antarmatra yang dimulai sejak Reformasi demi politik akomodasi segelintir orang. Padahal pola itu membangun rasa kesetaraan antarmatra, kesempatan yang sama, dan membangun soliditas internal TNI.
Dari aspek administrasi kenegaraan, keputusan soal Panglima kali ini sudah pasti akan menimbulkan kerumitan baru. Setahun ke depan, Presiden harus mencari dan mengangkat kembali pengganti Andika. Apalagi jika yang terpilih menjadi salah satu dari kepala staf, yang mayoritas memiliki masa tugas tinggal setahun.
Artinya, setara dengan lama masa jabatan Hadi Tjahjanto, Jokowi mesti mengangkat tiga Panglima TNI baru. Ini kebijakan mubazir dan mungkin bisa menjadi kontraproduktif menjelang Pemilihan Umum 2024. Apalagi setiap pergantian Panglima selalu melahirkan perseteruan dan perkubuan di lingkup internal tentara.
Kontestasi Panglima TNI ini makin menunjukkan rendahnya komitmen Jokowi dalam mempertahankan supremasi sipil dalam urusan militer. Pelbagai kebijakannya makin mendorong institusi tentara naik tangga terhormat dalam percaturan politik kita. Ini menyedihkan karena terjadi di era pemerintahan sipil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo