Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frasa “peserta didik” menjadi sangat populer pada bulan Juni dan Juli. Meningkatnya penggunaan frasa itu berkaitan dengan pendaftaran siswa baru di sekolah. Frasa itu digunakan dalam frekuensi tinggi di berbagai jenis wacana sehingga popularitasnya mengalahkan “pelajar”, “murid”, dan “siswa”.
Jika ditelusuri sejarah penggunaannya, “peserta didik” merupakan terminologi birokrasi. Arsip peraturan tentang pendidikan menunjukkan frasa itu pertama kali digunakan pada 1989 melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Frasa itu digunakan sebagai hipernim untuk menyebut berbagai jenis -subyek yang menjadi sasaran pendidikan.
Pada bagian penjelasan pasal 24 disebutkan, “Peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut pelajar, murid, atau siswa dan jenjang pendidikan tinggi disebut mahasiswa.” Dari situ tampak bahwa “peserta didik” digunakan penyusun undang-undang sebagai kata umum untuk menghindari pemerian yang terlalu detail.
Ketika undang-undang tersebut tidak lagi berlaku dan digantikan Undang--Undang Nomor 20 Tahun 2003, frasa “peserta didik” dipertahankan. Frasa itu bahkan digunakan sebanyak 31 kali. Persebarannya makin luas ketika pemerintah menerbitkan peraturan turunan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun peraturan menteri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, misalnya, ditemukan 104 frasa “peserta didik”. Adapun dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018, frasa itu dapat ditemukan 73 kali.
Dalam undang-undang pendidikan yang lebih tua, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, frasa “peserta didik” sama sekali tidak ada. Pembuat undang-undang konsisten menggunakan kata “murid” untuk menyebut subyek sasaran pendidikan. Pada bagian batang tubuh, kata “murid” digunakan 18 kali. Adapun pada bagian penjelasan digunakan 14 kali, baik sebagai kata dasar maupun hasil reduplikasi.
Pergeseran penggunaan kata “murid” ke “peserta didik” patut mendapat perhatian karena mengandung persoalan semantik. Sebab, pergeseran itu tidak hanya membuat komunikasi administratif menjadi lebih efisien, tapi juga (berpotensi) menyebabkan pergeseran persepsi terhadap obyek petandanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “murid” diartikan sebagai “orang (anak) yang sedang berguru atau bersekolah”. Penggunaan awalan “ber-“ pada definisi itu menunjukkan pemahaman bahwa murid adalah subyek aktif. Makna leksikal ini selaras dengan makna etimologis kata “murid”. Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab, kata dasar kata “murid” adalah aroda, yang berarti keinginan kuat dari dalam diri. Adapun kata turunan “murid” berarti orang yang berkeinginan kuat.
Secara semantik, kata “murid” memiliki jarak makna cukup jauh dengan “peserta didik”. Sebab, makna aktif yang hadir dalam kata “murid” tidak dapat ditampung oleh frasa “peserta didik”. Sebaliknya, secara inheren kata “peserta” justru mengandung kesan pasif karena makna leksikalnya adalah “orang yang ikut serta atau yang mengambil bagian”. Adapun frasa “ikut serta” bermakna “turut” yang maknanya berimpitan dengan “ikut”.
Persoalan semantik ini bisa dianggap serius karena bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Sebagaimana didalilkan oleh Edward Sapir (1921), bahasa tidak merefleksikan realitas, tapi secara aktual membentuknya. Dalam berbagai tingkatan bahasa, melekat pandangan dunia (worldview) tertentu. Artinya, dengan mengganti penanda tertentu, penutur bahasa sedang menghadirkan realitas baru dan membuang realitas lama.
Masalah tidak berhenti di situ karena bahasa merupakan produk konvensi. Namun, dalam bidang sosial dan budaya, konsep konvensi tidak dapat dipahami sebagai kesepakatan yang melibatkan semua pesertanya secara adil. Konvensi dalam konteks sosial-budaya adalah kontestasi antarpihak yang berkepentingan. Sebagaimana kontestasi pada umumnya, pihak yang kuat berpeluang lebih besar untuk menang.
Pemikir sosial seperti Michel Foucault (1980) dan Noam Chomsky (2000) telah menunjukkan bahwa bahasa adalah arena pertarungan kekuasaan. Teori itu kemudian disimulasikan novelis Inggris, George Orwell, dalam novel 1984. Pada prinsipnya, tokoh-tokoh itu berpendapat bahwa bahasa adalah instrumen yang efektif untuk mengontrol pikiran dan (kemudian) perilaku publik.
Pertimbangan itulah yang membuat pergeseran “murid” ke “peserta didik” tidak bisa dianggap sebagai gejala yang normal atau alamiah. Di balik pergeseran itu, ada subyek dan agenda. Siapa subyek yang berkepentingan di balik pergeseran itu? Agenda apa yang dibawanya? Mari bertanya kepada rumput yang bergoyang.
*) Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo