Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Diponegoro, dalam Senyap

R.B. Armantono menyajikan teater monolog dalam bentuk film. Di dalam kamarnya, Pangeran Diponegoro menceritakan riwayat hidup dan perlawanannya. Sederhana tapi kuat.

27 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulanya hanya ani-masi yang terjalin dari lukisan pasir war-na-warni. Sebuah gam-bar gunung dan perdesa-an asri dengan suara narator yang mengi-sahkan bagaimana Jawa pada abad ke-18 menjadi daerah perdagangan yang ramai. Lalu layar merentangkan gambar lain, termasuk lukisan Raden Saleh yang menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh tentara Belanda. Setelah peristiwa pada Maret 1830 itu, Diponegoro diasingkan ke Manado. Kemudian Dipone-goro digiring ke Makassar dan wafat di Benteng Rotterdam.

Animasi itu adalah mukadimah film Monolog Diponegoro, yang berdurasi 65 menit. Film ini digarap Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta R.B. Armantono sebagai disertasinya da-lam program doktoral di Institut Seni Indonesia Surakarta. Untuk naskahnya, Ar-mantono mengacu pada buku karya sejarawan Peter Carey, Kuasa Ramalan. Buku itu di antaranya menuturkan pergu-mulan Diponegoro dengan konflik hak atas tanah yang memantik Perang Jawa, juga pencariannya terhadap sosok ibu.

Armantono menyebutkan biopik ber-bentuk monolog ini mengawinkan tra-disi lisan dari teater dengan visual dari film. Sebelumnya, ia bereksperimen selama tiga tahun untuk menjajal latar mana yang paling pas untuk biopik monolognya. Semula dia sempat bermain-main dengan kunci kroma (green screen). Teknik ini menggabungkan dua gambar ke dalam satu bingkai. “Namun ternyata teknik tersebut malah memecah fokus materi monolog,” ujarnya.

Begitu pun lukisan pasir, yang sempat ia coba sebagai latar belakang hingga peng-ujung film. Hasilnya kurang memuaskan. “Akhirnya saya memutuskan monolog murni saja,” kata Armantono. Film ini di-garap tiga tahun dengan proses syuting sepekan.

Setelah animasi singkat, Monolog Dipone-goro mengajak kita ke kamar Diponegoro, yang menjadi latar lokasi hingga akhir film. Pilihan ini mendekatkan penonton pada situasi yang lebih intim dengan sosok bernama kecil Raden Mas Ontowiryo itu. Di kamar ini, cahaya meremang dari se-buah lampu teplok di atas meja marmer berkaki besi. Tak banyak barang lain di sana. Selebihnya adalah tumpukan dua buku, cangkir putih polos, juga piring yang menyimpan beberapa lembar daun sirih. Perabot dan tetek-bengeknya ini dipinjam Armantono dari Museum Monumen Pa-ngeran Diponegoro di Tegalrejo, Kota Yogya-karta, dan Museum Diponegoro di Mage-lang, Jawa Tengah.

Whani Darmawan dalam Monolog Diponegoro./ Naswan Iskandar/FFTV IKJ

 

 

Di kamar tersebut, Diponegoro (dipe-rankan Whani Darmawan) duduk dan me-mulai kisahnya. Ia mengenakan jubah dan serban putih tulang, setelan yang membuat Diponegoro ketika itu dituding larut dalam fanatisme. Diponegoro menuturkan beta-pa dia sengit dalam semua pertempuran, bahwa ia tak kuasa melihat kematian, tak sanggup memanggul senjata, dan ter-pukul tiap kali melihat tubuh-tubuh ber-gelimpangan dan terluka. “Tapi pepe-rang-an adalah takdirku,” ucapnya.

Peperangan memang lekat dengan Dipo-negoro. Perang Jawa, atau De Java Oorlog, ber-langsung tanpa surut selama lima tahun sejak 1825 dan menjadi salah satu bentrok senjata terbesar yang dialami Be-landa selama menindas Nusantara. Da-lam perang tersebut, Belanda dipimpin pang-lima Hendrik Merkus de Kock, sementara pen-duduk Jawa dikomandoi Pangeran Dipo-negoro. Setidaknya 200 ribu warga Jawa tewas dalam laga ini.

Namun Armantono memilih tak ber-fokus pada urusan perang. Dia menyorot kisah Diponegoro sejak lahir dalam keluar-ga Kesultanan Yogyakarta sebagai putra Sultan Hamengkubuwono III dengan Mang-karawati, salah seorang selir. Karena itu, di kamar temaram tersebut Whani se-bagai Diponegoro bertutur secara urut. Sesekali ia tampak merenung, tapi kadang matanya menatap penonton lekat-lekat. Ini membuat jarak aktor dengan penonton seolah-olah terpangkas karena Whani se-perti sedang mengajak berdialog.

Armantono juga menyuguhkan intimasi dengan menampilkan Diponegoro tak melulu berjubah dan berserban. Pada frag-men kedua, rambut panjang sang Pa-ngeran tergerai. Dia menceritakan kela-hirannya sendiri, leluhurnya, tanah lungguh atau lahan bayaran pamong desa, juga pemerasan yang beranak-pinak di negerinya. Whani menuturkan itu sembari melipat daun sirih yang masih segar, lalu mengunyahnya. Selebihnya sunyi. Hanya ada suara jangkrik yang disusul rengekan tokek.


Sutradara  : R.B. Armantono

Pemain     : Whani Darmawan

Durasi       : 65 menit


Armantono memperkuat narasi yang di-ucapkan Whani dengan bebunyian yang memperkuat teks. Saat Whani berkisah tentang azan, ketika itu juga terdengar suara azan. Begitu pun cerita mengenai kuda, yang ditimpali bunyi ringkikan kuda. Ini membangun adegan-adegan menjadi lebih realistis. Musik instrumental tetap ada, tapi hanya muncul sesekali untuk menaik-turunkan tensi.

Selain menuturkan masa kecil dan istana Diponegoro, Monolog Diponegoro men-ceritakan perempuan-perempuan yang hadir dalam kehidupan sang Pangeran. Juga kitab-kitab agama yang dia lahap, per-temuan virtualnya dengan Sunan Kalijaga dan Nyi Roro Kidul, rasa cintanya kepada sang ibu, serta pergumulannya dengan Islam. Soal ini disampaikan lewat adegan dan teks yang kadang blakblakan kadang subtil.

Misalnya adegan Diponegoro tengah ber-zikir dengan tasbih sembari berkisah tentang kampung halamannya yang karut-marut. Diiringi suara hujan dan geledek yang seakan-akan berteriak putus asa, senar tasbih Diponegoro putus. Butir-butir tasbih itu berhamburan di lantai. Ia lalu me-nyucikan diri dengan berwudu, lalu mem-balut kepala dengan serbannya.

Whani mengungkapkan, dia mendalami karakter Diponegoro lewat buku Kuasa Ramalan. “Dari membaca buku Pak Peter saya bisa terbawa secara emosio-nal, ke-mudian mengkonstruksi dan meng-internalisasi emosi serta karakter Dipo-ne-goro,” ujarnya. Selain itu, pria kelahiran Yogyakarta 53 tahun lalu tersebut men-ziarahi petilasan Diponegoro untuk me-ngira-ngira peristiwa yang dulu pernah terjadi.

Selebihnya, Whani tak terbebani meme-rankan tokoh pahlawan nasional itu. Pun bila tampangnya dalam film ini mendekati Diponegoro. Whani mengaku justru ia menjauhkan diri dari upaya memirip-miripkan. “Karena yang saya mainkan karakternya, bukan wajah,” katanya.

Armantono menambahkan, bentuk film seperti Monolog Diponegoro bisa menjadi solusi untuk memproduksi biopik dengan anggaran terbatas. Untuk filmnya ini, dia hanya menghabiskan duit Rp 100 juta. “Kalau penggarapannya baik, termasuk dalam hal musik latarnya, serta tema atau tokohnya menarik, saya yakin masyarakat bisa menerima bentuk film seperti ini,” tuturnya.

 

ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus