Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di studionya di kawasan Lido, Bogor, Jawa Barat, Am-rus Natalsya suatu hari melontarkan gagasan yang mengejutkan. “Aku akan meng-gelar dua acara pameran. Bung harus membaca bahwa ini pameran terakhir aku.”
Pameran pertama direncanakan di Mu-seum Ezham milik pengusaha E.Z. Halim di Citeureup, Bogor, pada 21 Oktober 2018, hari ulang tahunnya yang ke-85. Pameran yang ia juduli “Terimakasih” itu akan me-nampilkan patung dan lukisan kayu bertema kosmologi orang-orang besar. “Isaac Newton, Rudolf Diesel, James Watt, Suster Teresa, sampai Cheng Ho sudah ada dalam rancanganku,” ujarnya sambil duduk di kursi roda.
Pameran kedua akan diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 2019. Karya yang ditampilkan ba-kal bersifat retrospektif, dengan mengangkat semua jenis karya cipta yang pernah ia gubah. Pameran ini sudah ia namai “Selamat Tinggal”.
Namun ide besar itu pupus. Amrus sakit berke-pan-jang-an. Karena itu, sela-ma ber-bulan-bulan ia tak sempat me-nuntaskan rancangan-nya. Pa-da-hal para artisan (peng-ukir dan penatah) yang mentransfor-ma-si desainnya sudah siap bekerja siang-malam.
Namun kekecewaan Amrus terhadap dirinya terobati ketika Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, yang di--dukung VIP Fine Arts serta Etty Art Collection, mendadak memajang karya-karyanya di Galeri Cipta II TIM pada 14-23 Juli lalu. Sebanyak 42 lukisan kayu, beberapa lukisan di kanvas, serta sejumlah patung berukuran mukibat dipertunjukkan. Se-buah pergelaran ciamik dan rapi ke-tika diketahui bahwa pameran nan berbobot ini (dalam kiloan dan mutu) hanya dipersiapkan selama sebulan oleh kurator Mahardika Yudha. Masih di kursi rodanya, Amrus pun berkata: “Jadi pula pameranku. Terharulah aku....” Apalagi saat ia membaca judul pameran yang ia bikin sen-diri: “Terakhir, Selamat Ting-gal dan Terimakasih”.
Bahtera Niaga karya Amrus Natalsya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Juli 2019./ Agus Darmawan T
Karya-karya Amrus selalu hadir mengentak. Begitu pe-nonton mendaki undakan lobi pa-meran, sebuah patung besar yang menggambarkan perahu niaga ter-lihat menghadang. Layar perahu yang men-julang berhias yin-yang dan kepala naga. Yin-yang adalah simbol langit-bumi (kelembutan-kekerasan), yang merupakan episentrum dari pat kwa (delapan penjuru angin). Tanda-tanda ini memberikan pen-jelasan bahwa perahu pengitar antero penjuru itu datang dari Tiongkok. “Negeri yang mengajari manusia seputar bumi dalam berdagang,” kata Amrus.
Karya yang menyajikan rinci bentuk ini agaknya diposisikan sebagai potret dari keluarbiasaan elan vital Amrus dalam melakukan pekerjaannya. Sebab, begitu kita melangkah sedikit ke dalam, sebuah kotak kaca yang berisi palu, serutan kayu, dan baja penatah kayu menghadang pandangan. Di atas kotak yang berisi “jiwa-raga pematung” itu tertulis puisi Amrus yang dimuat di koran Harian Rakyat pada 1957, “Lagukan”. Petikannya demikian: Lagukan isi hatimu secerah bumi/Lebih tinggi dari lengking cemara dan kota-kota/...cita-cita dan hari depan manusia/....yang lebih dalam dari hitam lautan/yang memberi daku mata bersinar terang/selalu senyum dan mengulurkan tangan.
Kemudian mari masuk ke ruang pamer-an yang dindingnya dijajari lukisan kayu Amrus dalam display rapat. Deretan karya itu sebagian besar berobyek kerumunan orang. Mereka berada di pasar, di pesisir, di acara karnaval, di arena balap kuda. Tak terkecuali keriuhan komunitas Pecinan, dengan aksentuasi pertunjukan liong dan barongsai. Pilihan tema riuh rendah ini diyakini sebagai kesukaan Amrus, yang sejak dulu memang selalu memotret dinamika rakyat dalam berkumpul dan berkait rasa. Ingat lukisan legendarisnya yang menjadi koleksi Presiden Sukarno, Kawan-kawanku (1958), yang bercerita ihwal puluhan lelaki yang duduk bersatu padu.
Di hadapan jajaran lukisan, di tengah ruang, berdiri patung-patung yang juga mengisahkan rumah-rumah penduduk dengan kerumunan orang. Yang unik, patung-patung kayu kamper atau mahoni itu selalu ditumpangkan ke atas dataran seperti perahu sehingga menghadirkan imaji terapung. Ia pun berujar, “Patung kayu dan perahu tidak bisa dipisahkan dalam benak aku. Patung kayu seratus persen hidupku. Perahu adalah tumpukan kenanganku.”
Amrus, kelahiran Natal, Sumatera Utara, memang merasa begitu lekat dengan du-nia patung. Kelekatan ini muncul ketika ia hidup di Pematangsiantar dan Sibolga, tempat keluarganya mengungsi pada ujung 1945-1948 akibat kembalinya Belanda dalam aksi pendudukan. Di situ ia berjumpa dengan museum yang mema-jang patung kayu tradisional dari Nias, elemen arsitektur kayu ruma gorga dari Batak, serta bodi caniago dan koto piliang dari Minang. Adapun keakrabannya dengan perahu berangkat dari kisah pengalamannya. Syahdan, selama di Pematangsiantar dan Sibolga, ia sering pulang ke Natal naik perahu yang selalu diterpa gangguan dalam perjalanan. Perahu pun dijunjung sebagai moda penyelamatan.
Di tengah ruang pameran berdiri kekar patung Amrus yang diberi judul Rumah Pohon. Patung dari batang setinggi 232 sentimeter ini merupakan penggambaran monumental kedekatan Amrus dengan sang pohon. Ia merasa betapa dirinya sudah dihidupi dan dihidupkan oleh po-hon, yang menghasilkan kayu. Amrus merasa bahwa dia bisa berumah-rumah dan berjalan begitu jauh karena kayu yang ditumbuhkan pohon. Karena itu, “Tak mungkinlah aku terpisah dari kayu,” ucapnya.
Amrus Natalsya/Agus Darmawan T
Seusai studi di Akademi Seni Rupa Indo-nesia, pada 1961 Amrus bersama Misbach Tamrin dan lain-lain mendirikan Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta. Sanggar ini berada di bawah bayang-ba-yang Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang tercatat sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1965, peristiwa Gerakan 30 September meletus. PKI dianggap dalangnya. Semua organisasi yang berafiliasi dengan PKI dibubarkan. Para anggotanya ditangkap dan dipenjarakan. Amrus pun mendekam sebagai tahanan politik (tapol) selama belasan tahun.
Pada 1973, ia keluar dari penjara dan membuka kios lukisan di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Lantaran ia mantan tapol, nyaris tak ada orang berani membeli lukisannya. Ia pun terpuruk. Dalam kemiskinan itu, ia menemukan berlembar-lembar kayu buangan di belakang kiosnya. Lembaran kayu itu ia cungkil sehingga menghadirkan relief, yang lantas dibubuhi cat berwarna. Keunikan karya tersebut merangsang orang untuk berani membeli karya si man-tan tapol.
Seperti disinggung pada awal, Amrus yang uzur banyak dibantu artisan dalam mencipta. Dominasi tatah artisan ini meng-hasilkan denyut baru dalam wujud. Kini karya Amrus cenderung halus dan dekoratif ala vibrasi garbo. Sedangkan ciptaannya puluhan tahun lalu terasa berperangai kasar dan ekspresif, dengan spirit vibrasi vitae. Bagi saya, keduanya menarik.
Seandainya ada yang perlu dikritik, ya judul pameran itu. Karena Amrus tidak perlu pesimistis bahwa pamerannya ada-lah yang terakhir sehingga harus berucap selamat tinggal. Andaipun Amrus wafat 77 tahun mendatang, karyanya akan tetap hangat menyapa sejarah. Ars longa, vita brevis!
AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT SENI RUPA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo