Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJUMPAAN Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki dan Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra yang diatur dan ditengahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana, Jumat pekan lalu, seharusnya dipandang sebagai upaya pencitraan dan basa-basi belaka. Lain tidak.
Presiden tampaknya ingin menunjukkan kepada publik bahwa hubungan kedua petinggi itu ”baik-baik saja”. Sayangnya, tampilan sekilas di panggung politik kelas atas ini terasa hambar. Mereka, terlihat dari gestur, ucapan, dan raut muka, sepertinya tak bisa menyembunyikan sikap saling ledek, sinis, kurang bersahabat, dan tetap ”menabuh genderang perang”—Ruki menantang adu panco segala.
Keduanya diberitakan tengah gontok-gontokan: perang mulut, mengklaim melakukan tindakan yang benar. ”Perang” bermula ketika Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dipimpin Ruki, memeriksa Yusril, Kamis dua pekan lalu. Yusril maju sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan (kini namanya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia), yang dipimpin Yusril saat kontrak diteken, Desember 2004.
Proyek pengadaan yang dikenal ”sangat gampang dan empuk” ini bernilai sekitar Rp 18,48 miliar. Proyek ini diduga digelembungkan sekitar Rp 6 miliar. Tentu saja duit sebanyak itu tidak mengalir tanpa ulah tangan-tangan manusia. Di situ ada peran pemimpin proyek, seorang pejabat eselon tiga bernama Apendi, yang meneken kontrak dengan rekanan yang ditunjuk, PT Sentral Filindo.
Apendi disangka telah melakukan sejumlah dosa. Karena itu, kini ia meringkuk di sel tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dan kita tahu, dan ini sudah jamak terjadi, pelaksana semacam Apendi tentulah tak berani bekerja seenak udelnya sendiri. Di atasnya ada Zulkarnain Yunus, kini Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang juga dijadikan tersangka—plus dikenai sanksi cekal.
Sampai sejauh ini, tak ada tantangan berarti yang dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi. Begitu pula ketika mereka menjebloskan pemilik perusahaan rekanan, PT Sentral Filindo, Eman Rachman, ke sel polisi. Apendi, juga yang lain, dijerat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman penjara di atas empat tahun.
Komisi baru mendapat ”sandungan serius” ketika memeriksa Menteri Yusril. Pendiri dan bekas Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu mengelak dari tudingan bersalah. Padahal ia mengakui telah menyetujui metode penunjukan langsung proyek tersebut. Tapi ia menepis kalau persetujuannya dikaitkan dengan perusahaan bernama Sentral Filindo, yang terlampir dalam memo yang diajukan Zulkarnain itu.
Yusril bisa saja berkilah. Ia pun, sebagai ahli hukum tata negara, boleh saja jika berargumentasi bahwa tindakannya menyetujui penunjukan langsung itu sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa untuk Pemerintah. Kalau kita terfokus pada prosedur ini, tampaknya memang ada sisi ”abu-abu” di dalamnya.
Misalnya ada dua butir kriteria penunjukan langsung yang diperbolehkan. Tapi sesungguhnyalah syaratnya tak mudah. Instansi pemerintah mesti punya harga pembanding dan menawar harga sebelum penunjukan langsung dilakukan. Ini pun hanya berlaku untuk barang berskala kecil, sederhana, dan berbujet tak lebih dari Rp 50 juta. Boleh juga penunjukan ini diberikan kepada penyedia jasa tunggal, pemegang izin atau hak paten. Ini pun harus dicek auditor Badan Pemeriksa Keuangan.
Sisi kelabu lain juga ada, yakni sepanjang berhubungan dengan pertahanan yang kategorinya ”tak bisa ditunda atau harus dilakukan segera” atau menyangkut ”pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh presiden”. Apa maksud kategori ini tak dijabarkan secara jelas, apakah yang dimaksud rahasia adalah ”barang dan jasanya” atau ”proses pengadaannya”.
Klausul inilah yang masih multitafsir. Masalahnya, bisakah keterdesakan waktu, alias mepet, dijadikan alasan penunjukan langsung? Menurut Agus Rahardjo, koordinator tim perumus keputusan presiden nomor 80 tadi, jawabannya tidak bisa. Majalah ini sependapat dengan argumentasi Agus. Maka kami menyarankan sebaiknya dia dijadikan saksi ahli dalam kasus ini, agar tak terjadi silang-selisih yang tak produktif antara Yusril dan Komisi.
Namun, di balik semua selisih paham itu, majalah ini sangat mendukung tindakan Komisi untuk memeriksa siapa pun atau bahkan memberikan status apa pun kepada yang diduga bersalah. Tanpa pandang bulu, tak terkecuali Yusril. Kinilah saat yang tepat bagi Komisi untuk menepis tudingan bahwa mereka ”melakukan tebang pilih”.
Sebaliknya, Bung Yusril, sebagai pejabat publik, sebaiknya menjalani saja proses pemeriksaan itu, sewajar mungkin. Tak usahlah main gertak, yang malah bisa ditafsirkan sebagai tawar-menawar (hukum dan politik) demi keuntungan pribadi. Ini tak akan mengecilkan peluang bahwa Ruki, sang Ketua Komisi, bisa pula disidik kalau memang benar bersalah melakukan penunjukan langsung proyek pengadaan alat penyadap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo