Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMPANYE hitam menjelang pemilihan presiden sudah sampai tahap mengerikan—sekaligus menjijikkan. Para pelakunya menganggap penyebaran dusta dan fitnah sebagai bagian dari upaya meraup suara publik demi kemenangan kubu yang dibelanya.
Para penggiat kampanye hitam ini jelas menerima upah untuk pekerjaan hina itu. Mereka memanfaatkan berbagai sarana dan saluran informasi, dari media sosial hingga "produk pers" seperti tabloid Obor Rakyat, yang penyebarannya juga dilakukan secara gelap—meski terkesan sistematis dan tangkas.
Menjatuhkan lawan politik dengan isu tidak berdasar, apalagi fitnah, jelas dilarang dalam pelaksanaan kampanye. Black campaign sama sekali bukan manifestasi kebebasan bersuara, melainkan tindakan kriminal yang mendompleng momen politik. Untuk itu, pelakunya harus dipidanakan. Undang-Undang Pemilihan Presiden Pasal 214 mengancam tindakan ini dengan hukuman penjara enam bulan hingga 24 bulan dan denda Rp 6 juta sampai Rp 24 juta. Ancaman bisa dilapis dengan tuduhan penyebaran fitnah dan pencemaran nama, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310 dan 311.
Bila kampanye hitam itu dilakukan pers, pelakunya tidak hanya melanggar UU Pemilihan Presiden, tapi juga Kode Etik Jurnalistik. Mereka juga tidak boleh berlindung di balik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang lex specialis. Penyebaran informasi bohong, fitnah, dan beriktikad buruk sama sekali bukan praktek jurnalistik, melainkan tindakan kriminal.
Untuk itu, menghukum pelaku kampanye hitam harus menjadi prioritas. Toh, semua aturan beserta besaran hukumannya sudah gamblang. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), sebagai otoritas yang berada di garis depan untuk menindak pelanggaran dalam pemilihan umum, perlu segera mengambil langkah. Bawaslu seharusnya proaktif berkoordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia serta Badan Intelijen Negara untuk memantau dan melakukan proses hukum terhadap para pelaku kampanye hitam.
Bawaslu dapat memanfaatkan jaringan publik untuk melaporkan kampanye hitam di lapangan. Jaringan Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu yang diadakan Bawaslu juga bisa diberdayakan. Dengan memberdayakan partisipasi publik, pemantauan pelanggaran hingga ke tingkat akar rumput bisa dilakukan lebih efektif. Selain itu, tim calon presiden dan wakil presiden, baik dari pihak Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, perlu membantu membasmi kampanye hitam, karena pada akhirnya akan menjadi bumerang ke kubu masing-masing.
Untuk jangka menengah dan jangka panjang, pengerdilan kampanye hitam—karena pasti tidak bisa hilang sama sekali—bisa dilakukan melalui pendidikan politik yang melibatkan segenap pengampu kepentingan. Cara partisipasi politik yang santun dan etis bisa disebarkan lewat kampanye kreatif melalui media sosial, diskusi nonformal, dan lain-lain. Harus dipupuk kesadaran: seperti halnya kebebasan pers dan berserikat, kebebasan berpendapat merupakan buah dari iklim demokrasi setelah reformasi 1998, yang wajib kita rawat bersama.
Jangan sampai fitnah dan kabar bohong menjadi senjata berpolitik yang membusukkan demokrasi Indonesia yang masih berusia muda. Kampanye hitam, pada akhirnya, hanyalah mencerminkan sikap pengecut di tengah pertarungan demokratis yang mengandalkan kecerdasan dan akal sehat.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo