Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REFORMASI telah mendorong peran Dewan Perwakilan Rakyat menjadi kuat, hal yang berbeda dengan di masa Orde Baru. Demikian kuatnya sehingga malah kerap tak sejalan dengan konstitusi. Celakanya, para anggota DPR terkesan menikmati peran berlebih itu, bahkan memanfaatkannya demi berbagai kepentingan. Maka muncullah beraneka praktek transaksional dalam keputusan yang diambil para "wakil rakyat" itu.
Salah satu peran DPR yang paling banyak disorot adalah dalam pemilihan pejabat publik. Kendati para calon telah melewati serangkaian penelitian panitia seleksi selama berbulan-bulan—dari penelusuran rekam jejak, kemampuan, hingga uji psikologis—hasil kerja tim seperti tak berarti di depan anggota DPR. Dengan latar belakang kepentingan politik tiap fraksi, atau kongkalikong antarfraksi, para anggota DPR memilih pejabat menurut selera mereka.
Peran DPR yang terlalu "jauh" dan melenceng dari konstitusi inilah yang digugat rektor dan sejumlah akademikus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Mereka mempersoalkan wewenang DPR dalam pemilihan anggota Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi, dua lembaga yang "galak" dalam meluruskan hukum di negeri ini.
Rektor UII Edy Suandy Hamid menunjuk Pasal 28 ayat 6 dan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Komisi Yudisial serta Pasal 1, 10, dan 11 Undang-Undang KPK, yang berkaitan dengan mekanisme pemilihan anggota, bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 UU Komisi Yudisial, misalnya, menyatakan DPR wajib memilih dan menetapkan tujuh anggota paling lambat 30 hari sejak tanggal penerimaan usul dari presiden. Adapun seleksi untuk KPK, yang semestinya ketat demi mendapat calon independen, kental dengan campur tangan DPR, termasuk pemilihan ketuanya.
Kekuasaan DPR memilih anggota Komisi Yudisial dan KPK itu dituding tak sejalan dengan konstitusi. Undang-Undang Dasar, menurut pemohon uji materi, mengamanatkan tugas DPR sebatas menyetujui, tidak memilih. Pasal 24B UUD 1945 jelas menyebutkan, "Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan presiden dengan persetujuan DPR." Hal yang sama disebutkan dalam Pasal 71 UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para akademikus meminta Mahkamah Konstitusi menghilangkan kewenangan DPR memilih anggota dua komisi tersebut, yang tercantum dalam Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang KPK, dan cukup "menyetujui" seperti dalam hal pemilihan Kepala Kepolisian RI.
Bukan sekali ini kewenangan DPR yang dinilai tak sesuai dengan konstitusi digugat. Beberapa waktu lalu Mahkamah sudah menghapus kewenangan DPR dalam menetapkan anggaran hingga "satuan tiga" (yang sangat teknis serta detail) dan memberi simbol "bintang" (tanda anggaran tak bisa dicairkan eksekutif), yang kerap menjadi biang korupsi. Langkah Mahkamah yang akhirnya menghapus "wewenang kebablasan" tersebut patut dipuji.
Hal yang sama tentu diharapkan dari Mahkamah atas uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang KPK. Pejabat publik mestilah diisi mereka yang memiliki integritas dan semata bekerja untuk kepentingan publik. DPR seharusnya percaya, sepanjang para calon tersebut disorongkan panitia seleksi yang kredibilitasnya tak diragukan, mereka hanya tinggal menyetujui atau tidak menyetujui. Yang terakhir ini pun harus diiringi bukti telak dan semata demi kepentingan publik, bukan kepentingan mereka.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo