Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Destry Damayanti*
Indonesia akan memiliki presiden baru pada Oktober nanti. Siapa pun yang terpilih, ia harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memberikan modal yang baik, di antaranya pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil selama 10 tahun terakhir, inflasi yang cukup terkendali, pendapatan per kapita yang meningkat cukup pesat sehingga menimbulkan kelompok masyarakat berpendapatan menengah, masuknya Indonesia ke kelompok negara berpendapatan menengah, dan juga sektor keuangan yang berkembang secara berhati-hati.
Namun pemerintah tidak boleh berpuas diri karena berbagai PR itu harus diselesaikan jika Indonesia tidak ingin terjebak dalam middle-income trap. Presiden baru mesti memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Penurunan kualitas ini antara lain tecermin dari semakin berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Pada 2009, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi masih mampu menyerap 500 ribu tenaga kerja, tapi pada 2012 sudah menurun menjadi hanya 178.300 orang. Bahkan, pada 2013, jumlah penganggur meningkat. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak berhasil menciptakan lapangan kerja baru.
Penurunan kualitas juga bisa dilihat dari meningkatnya Indeks Gini dari 0,38 pada 2010 menjadi 0,41 pada 2013 serta bergesernya sumber pertumbuhan ekonomi dari sektor tradable (sektor yang berorientasi ekspor), yaitu sektor pertanian dan manufaktur—kebetulan di Indonesia kedua sektor ini banyak menyerap tenaga kerja—ke sektor non-tradable, yakni sektor yang berorientasi domestik tapi penyerapan tenaga kerjanya rendah. Sektor ini antara lain telekomunikasi, transportasi, keuangan, dan utilitas. Perbaikan produktivitas sektor pertanian, selain memperbaiki kualitas hidup petani, meningkatkan daya tahan Indonesia terhadap gejolak harga pangan dunia.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah perbaikan sisi suplai perekonomian melalui peningkatan infrastruktur, produktivitas tenaga kerja, dan penguatan struktur ekonomi, khususnya sektor manufaktur. Rapuhnya sisi suplai ekonomi kita membuat siklus bisnis perekonomian semakin pendek karena perekonomian menjadi mudah over-heated, yang tecermin dari pembengkakan defisit neraca transaksi berjalan seiring dengan meningkatnya kegiatan investasi.
Struktur sektor industri pengolahan yang rapuh tidak mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Akibatnya, ketergantungan terhadap impor bahan baku meningkat hingga mencapai 76 persen dari total impor dan memicu terjadinya defisit transaksi berjalan. Sebagai gambaran, pada 2002 sumbangan sektor manufaktur masih sekitar 30 persen dari produk domestik bruto, tapi pada kuartal pertama 2014 kontribusinya tinggal 24 persen. Karena itu, strategi pengembangan industri pengolahan, khususnya industri hulu dan intermediate, menjadi sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor dan sekaligus meningkatkan daya saing ekspor non-commodity kita. Pembangunan industri petrokimia dan baja sangat penting di Indonesia karena keduanya merupakan mother of industry di mana output-nya menjadi input bagi industri lain.
Lambatnya pembangunan infrastruktur antara lain mengakibatkan buruknya konektivitas intra-region di Indonesia. Dampaknya, biaya logistik di Indonesia termahal di kawasan, yaitu 27 persen dari PDB dibandingkan dengan India (13 persen), Cina (18 persen), dan Vietnam (25 persen). Masalah lain terkait dengan sisi suplai ekonomi adalah kualitas tenaga kerja. Hampir 50 persen tenaga kerja kita hanya tamatan sekolah dasar ke bawah dan hanya 9,2 persen tamatan sekolah menengah atas ke atas. Karena itu, peningkatan pendidikan tenaga kerja–formal dan informal—menjadi sangat penting.
Reformasi di sektor energi. Salah satu sumber utama permasalahan di Indonesia adalah lemahnya kebijakan pemerintah di sektor energi, yang diperparah oleh lemahnya kebijakan subsidi energi. Akibatnya, biaya yang harus dipikul ekonomi luar biasa besar. Anggaran belanja negara 2014 harus disisihkan Rp 400 triliun (32 persen dari belanja pemerintah pusat) hanya untuk membiayai subsidi energi, baik untuk bahan bakar minyak maupun listrik. Padahal kajian selama ini membuktikan bahwa sebagian besar penikmat subsidi adalah masyarakat mampu atau dengan kata lain telah terjadi salah sasaran dalam alokasi subsidi.
Disparitas harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi yang semakin lebar juga mengakibatkan ketidakefisienan konsumsi BBM bersubsidi. Tambahan pula, rendahnya produksi minyak memaksa pemerintah meningkatkan impor minyak yang pada akhirnya memperburuk defisit neraca transaksi berjalan. Reformasi sektor energi, apakah melalui peningkatan konversi energi dengan mengembangkan energi alternatif atau mengurangi subsidi energi secara bertahap dengan menaikkan harga BBM atau memberlakukan subsidi yang ditargetkan untuk kelompok masyarakat kurang mampu, akan memberi dampak positif pada anggaran pemerintah dan pada keseimbangan sektor eksternal kita.
Pendalaman sektor keuangan. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diimbangi kesiapan sektor keuangan tidak akan memberi arti. Sektor perbankan masih sangat mendominasi sektor keuangan Indonesia. Aset sektor perbankan mencapai 75 persen dari total aset sektor keuangan. Sektor perbankan juga masih menjadi sumber utama pembiayaan. Sektor ini berkontribusi hingga 86 persen dari total tambahan pembiayaan per tahun. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang pesat di masa mendatang dibutuhkan sektor perbankan yang kuat sebagai sumber pembiayaan.
Namun penetrasi sektor perbankan Indonesia terhadap perekonomian masih sangat dangkal dibanding negara lain. Hal ini ditunjukkan oleh rasio pinjaman terhadap produk domestik bruto yang masih relatif kecil, yaitu 34 persen, sementara Singapura (139 persen), Malaysia (104 persen), dan Thailand (95 persen). Ironisnya, saat ini loan-to-deposit ratio (LDR) perbankan Indonesia telah mencapai 90 persen dari hanya 31 persen pada 2001. Akibatnya, kemampuan bank untuk membiayai pembangunan menjadi terbatas.
Mobilisasi dana melalui pasar modal juga masih terbatas karena relatif dangkalnya pasar modal Indonesia. Kapitalisasi pasar saham dan obligasi Indonesia baru 48 persen dari PDB, jauh di bawah Malaysia (157 persen) dan Thailand (91 persen). Pendalaman sistem keuangan atau financial deepening menjadi salah satu solusi untuk menambah likuiditas domestik, misalnya melalui penciptaan instrumen keuangan baru di sektor perbankan, seperti produk hedging dan pengembangan repo market, atau melalui peningkatan basis investor domestik dan jumlah emiten di pasar modal melalui program insentif dari pemerintah.
Meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat kurang mampu di daerah pedesaan dan terpencil. Studi Bank Dunia menunjukkan 49 persen masyarakat Indonesia belum memiliki akses keuangan, sementara Malaysia dan Thailand hanya 35 persen dan 40 persen. Jika ada tambahan 20 juta orang dengan pola menabung Rp 10-20 ribu per hari, dalam satu tahun akan ada tambahan dana Rp 51-102 triliun di perbankan kita! Selain menambah likuiditas perbankan (25 persen dari total pinjaman perbankan per tahunnya), dana itu akan meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat tersebut karena memperkenalkan mereka pada budaya menabung.
Perbaikan iklim investasi di Indonesia. Sebagai emerging countries, Indonesia sedang memasuki era akselerasi pembangunan. Jika pemerintah mendatang mempunyai target pertumbuhan ekonomi 7 persen, hal itu harus diimbangi dengan investasi yang tinggi. Dengan incremental capital output ratio yang saat ini mencapai 5,3 persen, kebutuhan investasi akan mencapai 37 persen dari PDB. Padahal saat ini total tabungan nasional hanya 34 persen PDB. Mau tidak mau dibutuhkan tambahan investasi dari luar negeri untuk menutupi kekurangan dana investasi itu. Perbaikan iklim investasi baik untuk investor domestik maupun asing menjadi program ekonomi yang perlu dikedepankan pemerintah mendatang.
Siapapun Presiden Indonesia mendatang, ia akan sangat menentukan apakah Indonesia dapat take-off dari jebakan kelas menengah atau harus tertahan di kelompok ini. Presiden nantinya diharapkan dapat memilih para menteri dari kalangan profesional atau teknokrat, terutama di sektor ekonomi. Presiden juga harus terus menjamin independensi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneternya. Dan, yang paling penting, pemilihan presiden kali ini bisa berjalan damai sehingga tidak merusak kepercayaan investor yang selama ini kita bangun bersama.
*) Kepala Ekonom Bank Mandiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo