DI bawah lampu, lelaki yang mengenakan baju Cina hitam itu menghela napas. Matanya memandang sayu, sejuk, misterius. Seluruh hadirin menunggu ucapannya dengan berdebar—bahkan kamera televisi itu juga seakan-akan sejenak tegang. Telah hampir 20 menit Pak Sepuh bicara. Ia, sang paranormal tersohor, sedang mengutarakan ramalannya tentang Indonesia. Hadirin di studio, serta para penonton di jutaan rumah di seluruh negeri, menyimak.
Saya ada di antara hadirin itu. Saya berdebar tetapi saya kenal Pak Sepuh. Ia pernah membisikkan kepada saya bahwa sebenarnya semua ini adalah seni pertunjukan. "It's all entertainment!" Ia mungkin menirukan kata seru dari sebuah film tentang Broadway dan kabaretnya dan variety show-nya dan segala kegembiraan dan nonsensnya. Ia ketawa. Tahukah hadirin, tanya saya, bahwa ini cuma hiburan? "Ada yang tahu, ada yang tidak—dan kedua-duanya senang," jawabnya.
Pak Sepuh punya teori: "Ramalan itu sama dengan science fiction—tetapi tanpa pistol laser, tanpa pesawat ruang angkasa, tanpa Kapten Kirk, tanpa lorong waktu." Star Trek dan Star Wars menampilkan teknologi yang sangat menakjubkan, tetapi justru dengan itu tak ada hubungannya dengan metode dan sistem ilmiah. Dalam setiap science fiction, kebenaran tak berurusan dengan fakta, tak bertaut dengan masa depan. Kisah itu adalah kisah masa kini, saat ini, dengan apa yang ada di bawah kesadaran kita. Begitu pula halnya ramalan. Di sana ada hasrat kita yang tak kita sadari sendiri. Hasrat apa? Pak Sepuh punya teori yang mengejutkan: "Hasrat akan kematian," ia berkata.
Dalam kematian, katanya lagi, orang menemukan kekekalan. Berarti sebuah perhentian absolut. Dalam kematian, manusia berakhir. Ketika ia kembali jadi debu, bergabung dalam sebuah puncak antihumanisme, ia beristirahat. Rest in Peace. Ia tak perlu jadi subyek. Ia tak kepingin tahu lagi. Di nirwana, seperti dalam stupa puncak Borobudur, yang ada adalah sebuah situasi polos, tak berpenanda, ibarat dalam ruang kosong dan terang. Dalam kematian, kata Pak Sepuh lagi, seluruhnya terang. Ketika kita ingin tahu masa depan dengan gamblang, kita telah merenggutkan masa depan sebagai bagian dari proses dan kegelapan dan kegaibannya. Dalam kematian, sebagai sebuah perhentian absolut, pengulangan menjadi sesuatu yang tak jadi problem. Bosan dan lupa tak menjadi sebuah masalah.
Tapi science fiction itu sendiri bisa memikat, dan harus memikat. Begitu juga ramalan. Kalau tidak, para peramal akan kehilangan honorarium untuk acara berikutnya. Maka kegaiban masa depan ia buka, tapi juga ia tak sepenuhnya buka. Seperti tulisan di dalam kue-ramal Cina yang oleh restoran disajikan setelah santap.
Maka tanyalah tentang bagaimana keadaan Indonesia menjelang sidang umum MPR. Inilah jawaban Pak Sepuh: "Akan ada kekerasan." Suaranya dalam keluar dari mulutnya yang tipis dan bagus itu. "Darah akan mengalir," katanya lagi. Para pendengarnya mungkin tahu mungkin juga tidak bahwa setahun lalu Pak Sepuh meramalkan hal yang sama, juga setahun sebelumnya, dan demikian pula setahun sebelumnya. Kekerasan memang terjadi, darah memang mengalir, tetapi tak pernah jelas apakah itu memang yang dimaksudkan oleh Pak Sepuh dalam ramalannya—atau memang di Indonesia yang luas dan beragam ini kekerasan terjadi setiap tahun, darah mengalir secara periodik. Tak ada yang baru. Tetapi karena ada sesuatu yang dramatik, dan Pak Sepuh berbaju hitam dan berpeci poplin putih, para penonton pun terpikat. Percaya atau tidak bukan soal yang pokok. Bukankah kita tiap kali membuka kue-ramal Cina itu, membaca secarik kertas yang tersimpan di sana, dan dengan itu kita bisa melanjutkan gurau dan percakapan di meja makan?
Tetapi ini September 1999, sebuah pemilihan presiden akan berlangsung, justru ketika Indonesia berada dalam krisis yang dahsyat. Perubahan-perubahan drastis akan terjadi, Aceh mungkin tak akan jadi bagian dari Republik lagi, juga Irian Barat. Abad akan berakhir, milenium pertama akan digantikan milenium baru. Bukankah orang banyak—dengan rasa cemas—sungguh ingin tahu apa yang akan terjadi? Bukan sekadar memperoleh suatu entertainment?
Mungkin sebab itu, Pak Sepuh menghela napas. Ia harus menjawab siapa yang akan jadi pemimpin Indonesia nanti. Pertanyaan yang berat. Soal yang krusial. Akhirnya ia pun berkata, pelan tapi bergaung, "Satria piningit."
Para pembaca tahu bahwa itu bukan jawaban. Piningit berarti dipingit, dan dipingit berarti tak diedarkan dalam publik. Tuhan belum mewedarkannya. Berarti Pak Sepuh sendiri belum tahu. Ia memang seakan-akan berbicara tentang akan datangnya sang Ratu Adil. Tetapi ia bisa mengelakkan tuduhan bahwa ia mengada-ada. Ia bisa mengatakan bahwa baik Megawati maupun si Fulan yang akan dicalonkan nanti sebenarnya orang biasa saja—dan kita harus siap dengan itu. Demokrasi adalah sebuah sistem yang siap untuk kecewa. Karena demokrasi adalah sistem dalam sebuah sejarah, sedang sang Ratu Adil berada di luar sejarah: sang Satria Piningit yang tak tampak itu sebuah imbauan yang selalu ada, tapi tak pernah terjangkau. Sebab itu Megawati atau bukan, pada suatu saat ia akan datang dan juga harus pergi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini