Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa Mengail di Tengah Boikot

Buruh Australia mengakhiri aksi boikot. Pemerintah AS juga akan segera mengakhiri penghentian pinjaman ekspor. Kedua kubu yang berebut pasar gandum ke Indonesia itu saling mengintai. Bisakah Indonesia memanfaatkannya

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI raksasa kelaparan, lambung kapal Bogasari V menelan seluruh umpan yang dilemparkan ke dalamnya. Sore itu, Sabtu pekan lalu, puluhan ribu ton gandum dilesakkan ke kapal milik Grup Salim ini. Setelah terkatung-katung satu pekan penuh di lepas pantai Brisbane, Australia, Bogasari akhirnya dibolehkan merapat dan diberi muatan. Pemuatan gandum ke Bogasari V menandai berakhirnya boikot buruh Australia terhadap barang-barang Indonesia. Aksi ini dilakukan sebagai protes atas kekerasan dan krisis yang berlangsung di Timor Timur setelah jajak pendapat. Selain terjadi di pelabuhan, penolakan terhadap hal-hal yang berbau Indonesia digelar di bandar udara dan pos-pos pengiriman surat. Tapi, bersamaan dengan masuknya pasukan penjaga keamanan dari Persatuan Bangsa-Bangsa ke Tim-Tim, Asosiasi Buruh Maritim Australia (MUA) mengizinkan anggotanya melayani kapal-kapal Indonesia. Keputusan itu agaknya bukan cuma melegakan dunia usaha Indonesia atau Grup Salim, raja industri mi instan terbesar di dunia, secara khusus. Dewan Gandum Australia (AWB), penguasa perdagangan gandum di Negeri Kanguru, juga patut gembira. Maklumlah, dominansi Australia di pasar gandum Indonesia sedang terancam berat. Pada 1997, Australia masih mampu mengekspor 2,4 juta ton gandum, tapi tahun lalu sudah merosot 30 persen, tinggal 1,7 juta ton. Pelan-pelan, Indonesia mulai mengalihkan impor gandumnya dari Australia ke Kanada dan Amerika Serikat. Jika aksi boikot itu berkepanjangan, konsumen gandum Indonesia agaknya bisa benar-benar cabut dari Australia. Ketika aksi boikot di Australia berlangsung, sebuah kapal Indonesia dengan tenang menaikkan gandum dari sebuah pelabuhan di Kanada. Diakui atau tidak, boikot gandum sulit dijadikan kartu truf politik oleh Australia. Dalam hal gandum, boikot tak akan banyak merugikan Indonesia. Justru petani dan pedagang Australia yang terkena bumerang. Soalnya, ada petunjuk, aksi boikot ini justru akan dimanfaatkan sejumlah pesaing Australia untuk melancarkan perang dagang. Mereka bisa menggunakannya sebagai momentum untuk merebut pasar Indonesia. AS dan Kanada, misalnya, sudah lama ingin merontokkan dominasi gandum Australia. Harus diakui, ”lobi” AWB di Badan Urusan Logistik (Bulog) pada pemerintahan Orde Baru sangat kuat. AS dan Kanada baru bisa mencicipi kue gandum Indonesia setelah tata niaga terigu dicabut atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF), tahun lalu. Dengan beleid baru ini, Bulog tak lagi menjadi importir tunggal. Karena itu, AS dan Kanada berhasil menjual 1,3 juta ton gandum ke Indonesia—sesuatu yang tak mungkin mereka lakukan tahun-tahun sebelumnya. Ancaman terhadap dominasi gandum Australia makin besar karena pemerintah AS menawarkan sejumlah kemudahan untuk konsumen gandum Indonesia. Salah satu insentif yang bisa merepotkan Australia adalah fasilitas kredit ekspor. Kredit yang dikucurkan Bank Exim AS ini dimaksudkan untuk membantu ekspor perusahaan AS. Caranya dengan memberikan pinjaman bagi konsumen produk AS di negara-negara berkembang. Khusus untuk gandum dan hasil pertanian, pemerintah AS melalui departemen pertaniannya (USDA) menyediakan kredit GSM-102 (jangka waktu pembayaran 1-3 tahun) dan GSM-103 (jangka pelunasan 3-10 tahun). Untuk tahun anggaran 1998/1999, yang akan berakhir 30 September ini, Indonesia punya jatah US$ 400 juta. Ini merupakan jumlah yang amat besar jika dibandingkan dengan jatah negara-negara penerima fasilitas GSM yang lain. Dengan fasilitas kredit ini, dominasi gandum Australia bisa kena sapu bersih. Sebagai gambaran, nilai impor gandum dari Australia dalam setahun cuma US$ 380 juta. Untunglah (bagi Australia), bersamaan dengan aksi boikot itu, secara kebetulan, kredit GSM juga mengalami gangguan: USDA menyetop pencairan pinjaman. Lo? Menurut sumber TEMPO, penghentian pencairan ini terjadi lantaran ada satu bank swasta yang mengemplang kredit ekspor GSM-102 yang mestinya sudah jatuh tempo 13 Maret lalu. Sialnya, izin operasi bank itu dibredel pemerintah. Perkara memang kemudian dipindahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tapi urusan dengan lembaga itu rupanya tak kunjung kelar. ”BPPN sudah berjanji akan membayarnya Agustus lalu, tapi sampai sekarang belum juga,” kata seorang pejabat bidang ekonomi Kedutaan AS di Jakarta. Kepala Urusan Pendaftaran Kredit USDA, Martha Keplinger, berkesan tak mau mengaitkan pinjaman GSM dengan kesempatan bagi AS untuk menguasai pasar gandum Indonesia. Juru bicara Departemen Promosi Perdagangan dari Asosiasi Gandum AS juga memastikan bahwa negeri adidaya itu tak memanfaatkan krisis perdagangan Australia-Indonesia untuk kepentingan bisnisnya. ”Kami tak mengail di air keruh. Semuanya bergantung pada harga,” katanya seperti dikutip Reuters. Tapi, diakui atau tidak, pencairan kredit USDA senilai US$ 400 juta itu bisa menjadi senjata pamungkas yang cukup ampuh. Karena itu, belakangan ini sudah tampak gelagat yang jelas bahwa fasilitas kredit itu akan segera cair. ”Kami terus melakukan negosiasi agar semuanya segera beres,” kata Keplinger, Jumat lalu. Lalu, akan beralihkah sumber gandum kita dari Australia ke AS? Belum tentu juga. Banyak persoalan yang tampaknya masih harus diselesaikan. Yang pertama, USDA punya sejumlah keterbatasan. Salah satunya: kelambanan pencairan kredit. Sebagai bukti, jatah Indonesia hingga kini belum ada satu sen pun yang dicairkan. Bahkan, dari US$ 400 juta yang disediakan, baru US$ 120 juta yang ketahuan alokasinya. Dengan batas waktu akhir September, rasanya mustahil bagi Indonesia untuk bisa memanfaatkan fasilitas kredit GSM-102. Yang kedua, ada juga hambatan teknis. Indonesia tak begitu saja bisa mudah mengalihkan impornya dari Australia ke belahan negeri di ”barat” seperti Kanada dan AS atau bahkan Argentina. Menurut seorang pemain industri tepung di Indonesia, faktor jarak akan menjadi hambatan utama dalam pengiriman gandum. Soalnya, jarak Indonesia ke pantai barat AS bisa sekitar tiga atau empat kali lipat jarak Indonesia ke Australia. Dia menghitung, pengiriman gandum dari pantai barat Amerika atau Argentina ke Indonesia setidaknya membutuhkan waktu dua bulan. ”Kalau stoknya tinggal dua bulan, pabrik-pabrik tepung terigu akan kelabakan,” katanya. Walhasil, kiblat terigu rupanya sulit diubah. Australia agaknya akan tetap menjadi pilihan utama. Justru karena itulah persoalan terigu ini bakal makin pelik jika boikot berkepanjangan. Hubungan perdagangan Indonesia dan Australia bisa ambruk. Kedua negara bisa sama-sama buntung. Boikot sepekan itu saja kabarnya sudah menyebabkan kerugian sampai US$ 55 juta. Tapi, di luar urusan boikot itu, pertarungan yang menajam antara produsen gandum Amerika, Kanada, Argentina, dan Australia mestinya bisa kita manfaatkan untuk memetik untung. Dan boleh jadi gandum akan lebih murah. M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus