Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mimpi-mimpi Einstein
Penulis: Alan P. Lightman
Penerjemah: Yusi A. Pareanom
Penerbit: KPG, Jakarta, 1999
BERPULUH-puluh tahun dunia diajari bahwa teori Relativitas adalah konsepsi matematis yang luar biasa ruwet. Ditata oleh sebuah kejeniusan dengan menggunakan ide-ide geometri Riemann yang meruntuhkan supremasi Euclides berusia 2.300 tahun, teori ini menjadi sebuah kawasan pengertian yang bukan fisikawan brilian jangan harap dapat ambil bagian.
Novel Alan P. Lightman, seorang profesor fisika di Massachusetts Institute of Technology, ini menarik karena mengubah waktu yang digeluti Einstein, dari abstraksi murni matematis ke pengalaman konkret-manusiawi. Waktu yang dihadirkan adalah waktu berdenyut dalam diri manusia, yang mengonstitusikannya menjadi benar-benar manusia. Ketimbang memberi paparan teoretis tentang sebuah fenomena kosmos yang berlangsung rumit di luar diri manusia, Lightman berupaya untuk mengintensifkan kesadaran waktu yang hidup dalam hati dan kelenjar manusia, dalam rasa perih berpisah dan nikmat bercinta, serta dalam aspirasi tentang takdir dan kebebasan.
Dengan 30 vinyet literer, novel ini mengeksplorasi berbagai kemungkinan imajiner waktu. Itulah jenis-jenis waktu yang belum sepenuhnya terengkuh oleh jangkauan penataan logika ilmiah. Beberapa di antara jenis waktu itu mengingatkan kita pada, misalnya, waktu bercecabang yang dirajut Tsu'i Pen dan waktu beku yang dilihat Jaromir Hladik dalam ficciones Jorge Luis Borges.
Waktu yang ajaib dengan sendirinya menghadirkan ruang, tempat, atau kota-kota yang juga tak kalah ajaib. Kota Bern di Swiss dibuat hampir sama ajaibnya dengan Armilla atau Octavio dan kota-kota kuno lain yang diceritakan Marco Polo kepada Kubilai Khan dalam Invisible Cities Italo Calvino.
Lightman memang tampil lebih sebagai sastrawan ketimbang fisikawan. Ia tak bekerja dengan akurasi pengukuran dan ketatnya penalaran. Ia bekerja dengan bahasa dan teknik bercerita untuk menghadirkan impresi dan kilasan kompleks kognitif lewat sederet imaji yang puitis. Beberapa bagian novel tanpa plot ini rasanya lebih mirip sebuah antologi prosa lirik. Jukstaposisi imaji yang berderet mirip lukisan awal Giorgio de Chirico bisa mengingatkan pembaca pada beberapa sajak Chairil Anwar, khususnya Senja di Pelabuhan Kecil. Seperti halnya sang "Aku" dalam sajak itu, bagian paling menyentuh novel ini adalah respons manusia menghadapi situasinya dan waktu yang melingkar dan bertaut dalam dirinya sendiri—waktu yang tidak mengalir utuh dan datang bagai kepingan, waktu saat kehidupan masa silam tidak pernah bisa berbagi dengan masa kini.
Namun, seperti setiap upaya pemahaman, buku ini pun terkena hukum besi pengetahuan: setiap pengetahuan menuntut upaya untuk mengabaikan dan melupakan. Intensifikasi kesadaran waktu hanya bisa berhasil jika aspek inheren waktu—yakni gerak dan ruang—untuk sementara diabaikan, setidaknya didistorsikan demi menguatkan konkretisasi waktu itu. Sumbangan terbesar Newton pada ilmu adalah definisi matematis bagaimana dan dalam situasi apa gerak berubah menurut matra waktu, sementara Einstein mengadakan revolusi dengan menunjukkan, antara lain, bagaimana waktu melentur menurut matra gerak: kecepatan cahaya.
Seperti halnya seniman, karya fisikawan seperti Einstein bukan melulu buah pergulatannya dengan dunia dan dirinya sendiri. Karya itu juga adalah respons ketakpuasan atas prestasi para pendahulunya. Paper Juni yang terbit di Annalen der Physik 17, 1905, itu membahas kinematika dan elektrodinamika benda-benda bergerak. Ia terutama adalah reaksi terhadap eksperimen Michelson-Morley yang menguji keberadaan eter sebagai medium perambatan cahaya, sekaligus perluasan bagi ide transformasi Lorentz dan teori gelombang elektromagnetik Maxwell. Dari sana disimpulkan bahwa eter tak ada dan kecepatan cahaya selalu sama, tak peduli sumber cahaya atau si pengamat sedang bergerak saling menjauh atau saling mendekat: sebuah pemikiran yang menampik akal sehat sekaligus mendobrak persepsi ruang-waktu Newtonian.
Meski mengabaikan matra gerak dan pemikiran yang melatari mimpi-mimpi Einstein, novel ini bisa menyadarkan bahwa kehidupan memang lebih kaya dari fisika. Itu prelude yang indah menuju kepada kesadaran betapa kenyataan semesta ternyata masih lebih fantastis dari kehidupan manusia. Lewat fisika yang dibimbing argumen estetik—keanggunan dalam kesederhanaan—Einstein mendedikasikan hidupnya buat memahami watak fantastis kenyataan itu. Dedikasi itu bukan saja membawanya kepada relativitas khusus dan umum. Ia juga menyeret dunia ilmu memasuki semesta yang keajaibannya bahkan lebih menakjubkan dari yang sanggup dibayangkan oleh kecerdasan. Kelak terbukti bahwa kejeniusan Einstein pun tak berdaya menghadapi keajaiban yang memberinya rasa penasaran berlarut-larut sampai ujung usianya itu.
Nirwan A. Arsuka, lulusan Teknik Nuklir UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo