Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTUH berapa tahun lagi hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyadari kekeliruannya soal ujian nasional? Selama bertahun-tahun tak terhitung banyaknya keteledoran kementerian ini menyiapkan materi soal ujian nasional. Nyelonong-nya soal-soal berstandar internasional, yang di luar kisi-kisi ujian nasional sekolah menengah pertama, baru-baru ini menambah panjang daftar ripuh ujian nasional.
Apa gunanya, misalnya, mencantumkan soal tentang rumus Pitagoras yang tingkat kesulitannya bukan untuk murid SMP? Soal yang banyak diprotes guru-guru SMP di Jakarta itu berupa gambar kapal tanker yang ditarik parasut. Dengan memakai hukum Pitagoras, siswa diminta menentukan panjang tali parasut, dengan data berupa angka sudut dan ketinggian segitiga itu. Musykillah mayoritas anak SMP bisa menjawab soal itu lantaran jawabannya berupa akar dari angka puluhan ribu. Lagi pula, nilai akar bukan bagian dari standar kompetensi lulusan murid SMP. Ini salah satu soal yang memantik protes.
Badan Standar Nasional Pendidikan, yang bertanggung jawab mengawasi pembuatan soal, semestinya mafhum soal begini tak boleh dijadikan materi ujian. Patut dipertanyakan kesungguhan lembaga ini, apakah tidak memiliki mekanisme audit, sehingga soal-soal itu lolos. Soal yang bikin heboh tadi diambil lembaga itu dari Programme for International Student Assessment (PISA). Negara-negara maju yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)-seperti Jerman, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Kanada-memakai soal PISA ini untuk menguji literasi matematika dan sains pada siswa kelas menengah. Menteri Pendidikan Mohammad Nuh terpecut memakai soal-soal PISA untuk ujian nasional.
Ambisi Menteri Nuh boleh saja setinggi langit, tapi harus diimbangi dengan persiapan matang. Penggunaan bahan ujian yang melenceng dari kisi-kisi kurikulum jelas merugikan siswa. Dampaknya bisa fatal: anak-anak tak lulus ujian. Semestinya ada konsistensi antara kurikulum yang diajarkan dan soal yang diujikan.
Yang membuat berang para guru, kecerobohan pembuatan soal itu tidak hanya pada Pitagoras. Ada soal-soal ujian nasional yang tidak tersedia jawabannya, atau soal matematika tentang sumbu simetri putar yang tidak tepat pembuatannya. Sampai kiamat, anak-anak atau orang dewasa sekalipun tak akan bisa menyelesaikan soal itu.
Selain soal Pitagoras, tahun ini ada insiden munculnya nama calon presiden Joko Widodo, yang disebut sebagai tokoh bersih, dalam soal ujian nasional untuk sekolah menengah atas. Dunia pendidikan Indonesia pun mencemooh, dan Kementerian tergopoh-gopoh melakukan "penghapusan" nama Jokowi dari lembar pertanyaan. Tapi upaya itu justru berakibat semrawutnya soal ujian bahasa Indonesia. Ada yang soalnya diblok putih, ada pula soal yang harus ditukar lantaran nama Jokowi belum sirna.
Keteledoran-keteledoran itu mahal harganya. Jutaan siswa menjadi tumbal. Banyak murid mengalami stres menghadapi ujian nasional. Guru dan orang tua pun ikut tertekan. Khalayak sulit menerima komentar Menteri Nuh yang terkesan sangat normatif, yakni "berjanji akan mengevaluasi ujian tersebut".
Sepatutnya Kementerian memastikan tak ada "soal-soal bermasalah" yang lolos di ujian nasional. Pemerintah harus lebih serius mengevaluasi ujian nasional, termasuk menghukum pejabat yang teledor dan guru-guru yang lancung membocorkan soal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo