Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membubarkan lokalisasi prostitusi di kawasan Dolly patut disokong. Berada di tengah permukiman padat, Dolly merupakan mata rantai yang melanggengkan pelacuran di Surabaya. Bisnis seks itu juga menimbulkan dampak sosial yang tidak baik. Tidak sedikit anak perempuan di lingkungan Dolly yang besar dengan angan-angan menjadi pelacur karena menganggap itu pekerjaan bagus. Ada pula kasus penyelundupan wanita untuk dijadikan penjaja seks. Saat ini di lokalisasi itu terdapat 54 rumah bordil yang menampung sekitar seribu pelacur.
Karena itu, sungguh lancung jika Wakil Wali Kota Whisnu Sakti Buana menentang rencana ini. Jika ada yang salah atau kurang pas, Whisnu sebaiknya membahasnya dengan Risma. Whisnu harus sadar bahwa rencana Wali Kota ini dilakukan bukan tanpa argumentasi. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 jelas-jelas melarang bangunan di wilayah Surabaya dipakai sebagai tempat asusila.
Protes para pekerja seks, muncikari, dan penduduk sekitar yang takut kehilangan pekerjaan harus dihadapi dengan kepala dingin. Harus dimaklumi, selama ini Dolly merupakan kawasan ekonomi yang menghidupi ribuan orang, dari pekerja seks hingga tukang parkir.
Dalam rencana Risma, Dolly akan diubah menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Sumber pendapatan penduduk di sekitar tempat itu tidak hilang. Sebaliknya, mereka mendapat lingkungan ekonomi baru yang lebih sehat. Barangkali rencana ini yang belum jelas benar bagi penduduk di sekitar Dolly. Karena itu, Risma dan jajarannya perlu menjelaskannya dengan rinci, termasuk berapa lama masa transisi akan berlangsung dan apa saja yang bisa dikerjakan masyarakat untuk memperoleh penghasilan pengganti.
Pemerintah Kota Surabaya mesti memastikan alih profesi para pekerja seks bakal berhasil. Pelatihan singkat dan modal kerja Rp 3 juta tidak akan berarti apa-apa jika pemerintah tidak menyediakan kesempatan dan ruang hidup yang ramah bagi mereka. Tanpa ruang tersebut, perempuan yang rata-rata miskin dan berpendidikan rendah itu kemungkinan besar akan kembali menjadi pekerja seks di jalanan. Kalau ini yang terjadi, pemerintah akan lebih repot karena transaksi seks tak terkontrol sehingga menyulitkan pengendalian penyakit menular berbahaya, seperti HIV/AIDS.
Direncanakan empat tahun lalu, penutupan Dolly harus dipastikan sukses. Anggaran Rp 5,4 miliar tidak boleh sia-sia. Sosialisasi yang intens dan terbuka mesti dilakukan. Kalau semua persiapan dilakukan dengan benar, tak ada alasan publik tak menyokong rencana ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo