Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Polemik pencipta bintang

Choirul anam menanggapi polemik pencipta lambang bintang bagi ppp. menurutnya, orang pertama yang menginginkan ppp menggunakan lambang bintang adalah k.h. sochib bisri menjelang pemilu 1977.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Polemik pencipta bintang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Membaca polemik antara Drs. Mardinsyah dan Drs. Ridwan Saidi tentang lambang Bintang pada PPP mengingatkan saya pada polemik Ridwan Saidi dan K.H. Saifuddin Zuhri sekitar NU -- MI dalam PPP, beberapa tahun lewat. Dan, kalau boleh, izinkan saya kini berperan bagaikan Mahbub Djunaidi, waktu itu. Saya ingin memberikan sedikit catatan, baik kepada Mardinsyah maupun Ridwan Saidi, yang menyangkut apa yang mereka polemikkan di TEMPO, 15 Agustus, Kontak Pembaca. Juga, lebih jauh, diberitakan dalam rubrik Nasional edisi yang sama. Catatan ini, hasil menyontek harian Jawa Pos, yang tak saya ketahui tanggal penerbitannya. Ini, agaknya, tak atau belum pernah disinggung dalam polemik tersebut. Orang pertama yang menginginkan agar PPP menggunakan lambang bintang, ternyata, K.H. Sochib Bisri, pemimpin Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Meski, tampaknya, tak ada hubungan dengannya lambang Bintang yang kemudian diputuskan sebagai lambang PPP oleh DPP PPP pimpinan Naro kini. Sebab, waktu itu, memang belum sampai pada detailnya. Kiai Sochib adalah putra K.H. Bisri Sjansuri, orang Nomor 1 di NU, yang meninggal dunia tujuh tahun lalu (25 April 1980). K.H. Bisri Sjansuri yang rais am NU itu juga kakek Ketua PB NU Abdurrahman Wahid. Kiai Sochib sendiri mengusulkan lambang Bintang itu ketika PPP mencari tanda gambar untuk Pemilu 1977. Usul itu kemudian disampaikan kepada bapaknya yang, ketika itu, memang orang paling berwibawa dalam NU. Waktu itu, K.H. Bisri Sjansuri hanya tersenyum saja. Yang jelas, lambang Bintang itu kemudian dimasukkan sebagai salah satu nominasi yang akan dipilih. Waktu itu, ada tujuh calon tanda gambar yang akan dipilih. Yakni Ka'bah, Bintang, Quran-Hadis (berbentuk dua kitab), Rantai, Gambar Jabat Tangan, Bintang Bulan, dan Bumi. Kiai Sochib mengusulkan, agar bintang bersudut lima persis seperti yang dipakai PPP sekarang. Bintang bersudut lima itu, menurut Kiai Sochib cukup bisa menghimpun banyak tujuan. Bintang itu terdapat dalam lambang Pancasila, merupakan simbol ketuhanan sesuai dengan Rukun Islam yang lima atau Pancasila yang juga lima sila. Dari tujuh calon tanda gambar tersebut, kemudian diperas menjadi lima. Gambar "jabat tangan" digugurkan, karena dianggap yang lain pasti lebih baik. Juga, 'rantai' digugurkan dengan alasan 'tidak layak'. Semula, gambar rantai itu akan terdiri dari empat sambungan yang melambangkan persatuan empat partai yang bergabung dalam PPP. Yakni NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarekat Islam Indonesia, dan Perti. Setelah tinggal lima, maka dilakukan pembicaraan lagi antara tokoh PPP yang ketika itu masih didominasi oleh tokoh-tokoh NU. Dalam pembicaraan tersebut, diperoleh kesepakatan untuk memeras lagi jumlah lima itu menjadi tiga. Dan, calon tanda gambar yang digugurkan itu adalah Bintang Bulan dan Dua Kitab (Quran dan Hadis). Alasan pengguguran dua calon itu cukup masuk akal. Bulan Bintang pernah dipakai oleh salah satu di antara empat partai yang bergabung, sehingga akan menimbulkan kesan partai tersebut yang menonjol. Gambar Bulan Bintang memang pernah dipakai partai Masyumi, yang kemudian dipakai Parmusi. Yang agak menarik, pengguguran lambang Dua Kitab. Menurut Kiai Sochib, lambang Dua Kitab tersebut bisa saja menyinggung salah satu golongan yang selama ini berpendapat bahwa di samping Quran dan Hadis masih ada dua kitab yang menjadi pegangan. Yakni, Ijma' dan Qiyas. Ijma' adalah kesepakatan para ulama dan Qiyas merupakan dalil-dalil analogi. Maka, tinggallah Ka'bah, Bintang, dan Bumi. Mengenai Bumi, Kiai Sochib menyebutkan bahwa idenya diambil dari kata-kata Quran, "Sesungguhnya, Aku jadikan manusia itu pemimpin di bumi." Di antara tiga itulah, pilihan akan dijatuhkan. Cara pemilihannya juga khas ulama. Yakni dengan melakukan salat Istikharah, satu salat yang dilakukan tengah malam untuk mendapatkan feeling dari Allah. Kiai Bisri Sjansuri, menurut Kiai Sochib, lantas memimpin beberapa ulama untuk melakukan salat Istikharah tersebut di tempat para ulama itu sendiri-sendiri. Dan, setelah masing-masing melakukan salat Ishkharah, mereka lantas berkumpul di pondok Denanyar menghadap Kiai Bisri Sjansuri. Acaranya, mencocokkan takwil. Yakni, mengadakan pencocokan, apakah isyarat yang diterima para ulama itu dalam salat Istikaharah masing-masing itu sama. Menurut hasil pencocokan takwil itu, ternyata sama: lambang PPP yang pas adalah Ka'bah. Itulah sebabnya, Kiai Bisri Sjansuri selalu mempertahankan agar PPP diperbolehkan menggunakan lambang Ka'bah. Sebab, lambang itu hasil salah Istikharah para ulama. Bahkan, soal ini pernah beliau sampaikan kepada Presiden Soeharto. Tetapi Kiai Sochib sendiri sudah merasa bahwa suatu saat arah pembangunan politik memang akan berubah dan Ka'bah tidak akan diperbolehkan sebagai lambang kekuatan sosial politik. Kiai Sochib juga yang sebetulnya sudah lama menghendaki agar NU kembali ke bentuk organisasi sosial keagamaan. Sehingga, tidak direpotkan oleh masalah-masalah politik praktis, yang hanya akan menjauhkan orang-orang NU dari kegiatan pendidikan. Kini kedua keinginan Kiai Sochib itu rupanya terkabul. NU sudah menyatakan dirinya tidak lagi berada dalam kegiatan politik praktis dan PPP berlambang Bintang. Meski ketika itu diputuskan bahwa lambang PPP adalah Ka'bah, ide Kiai Sochib tak begitu saja "dimatikan". Lambang Bintang, menurut Kiai Sochib, akan dipakai apabila bila hal. Artinya, bila terpaksa tidak boleh menggunakan Ka'bah. Menurut Kiai Sochib, hampir semua tokoh PPP mengetahui bahwa lambang Bintang bersudut lima memang pernah menjadi salah satu pilihan. Dan, beliau hanya tertawa tatkala diberi tahu bahwa, menurut berita koran, lambang Bintang tersebut ciptaan Ridwan Saidi, tokoh muda Parmusi yang kini berganti mendominasi partai itu. Walau Bumi tak jadi dipakai lambang PPP, rupanya, tetap saja berputar. Satu sisinya, kadang-kadang, di atas dan satu kali di bawah lagi. CHOIRUL ANAM Morokrembangan I/2 Surabaya B0178

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus