Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengadili jubah putih

Pn pidie, aceh, menyidangkan kelompok jubah putih pengikut tengku bantaqiyah yang mengadakan aksi turun ke jalan di sigli dan meulaboh, aceh. 31 orang didakwah melakukan tindak pidana umum.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Mengadili jubah putih
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MASIH ingat kasus "Jubah Putih" Aceh ? Mereka adalah sekelompok orang berjubah putih dengan senjata golok dan tombak yang Mei lalu mengadakan aksi turun ke jalan di Sigli dan Meulaboh, Aceh. Gerakan ini bertujuan "menegakkan Islam sedunia", dengan cara menutup warung yang buka siang hari di bulan Puasa dan membunuhi warga Cina di kedua kota tadi. Untung saja, sebelum ada korban jatuh, aksi telah dapat digagalkan oleh petugas keamanan. Seorang anggota gerakan mati tertembak, 35 lainnya ditangkap. Pemeriksaan sebagian perkara itu sudah selesai. Sabtu pekan lalu, berkas perkara kasus Sigli dilimpahkan kejaksaan ke Pengadilan Negeri Pidie. "Panglima" gerakan itu, Iskandar, bersama 30 tertuduh lainnya didakwa melakukan tindak pidana umum dengan mengadakan kerusuhan di Sigli, Kabupaten Pidie, bulan Ramadan lalu. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa aksi itu dipersiapkan secara matang. Bermula dari sebuah rapat di kediaman Tengku Bantaqiyah, di desa terpencil Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, Aceh Barat, 23 Maret 1987. Di situ hadir sejumlah muridnya, antara lain Iskandar, Rusdi Ali, Cut Ali, dan Sabirin A.R. Pembicaraan membahas masalah kehancuran Islam, merajalelanya minuman keras, judi, perzinaan, sampai soal kosongnya masjid di waktu salat. "Semua itu perlu diluruskan, umat Islam harus bangkit," kata Tengku Bantaqiyah. Caranya: mereka harus berpawai dengan memakai jubah dan senjata tajam. "Untuk menunjukkan kebangkitan Islam," katanya. Pada pertemuan berikutnya, 7 Mei, diresmikan "Tentara Kebenaran Islam", yang terdiri dari 14 orang. Tentara itu dibaiat dan diberi tepung tawar (peuseujuk) oleh sang Imam, Bantaqiyah. Sebagai panglima, dilantiklah Iskandar, dengan gelar Tengku Raja Iskandar Moh. Bendera gerakan pun ditentukan, berwarna hijau dan merah. Selebaran dibagikan. Sehari kemudian, mereka turun gunung guna melaksanakan perintah Tengku Bantaqiyah -- pendiri aliran sesat yang dilarang Kejaksaan Tinggi Aceh sejak 1984. Hari H dipilih 15 Mei 1987, bertepatan dengan 17 Ramadan, hari peringatan Nuzulul Quran. Iskandar bersama 33 pengikut berangkat di pagi buta dari Masjid Pho Teumeureuhom, Beureuneun, Pidie, dengan berjalan kaki sepanjang 12 km menuju Sigli. "Kami mau membunuh pengkhianat-pengkhianat Islam. Kami mau mengajak orang masuk Islam. Jika ada yang menolak, orang itu harus dibunuh," kata Iskandar kemudian, kepada jaksa yang memeriksanya. Tapi di depan kantor Kodim, gerak jalan ini terhenti berkat rayuan Letkol Doyot Sudrajat, Kapolres Pidie. "Saya orang Islam, kalian Islam. Kita bersaudara. Marilah kita berembuk," kata Doyot. Doyot berhasil. Orang-orang yang kelihatan begitu beringas ini akhirnya bisa diboyong memasuki halaman Kodim, dan senjata mereka dilucuti. "Suasananya cukup tegang juga," kata Doyot Sudrajat kepada TEMPO. "Habis, pedang mereka terhunus di depan saya." Di Meulaboh, Sabirin berhasil merekrut empat anggota dan juga melakukan gerakan di hari yang sama. Tapi, karena melawan, Sabirin tewas tertembak, sedang empat anak buahnya diringkus. Perkara mereka belum jelas kapan dibawa ke pengadilan. Belum juga diketahui secara pasti apakah peristiwa Sigli berkaitan dengan percobaan pembunuhan Dubes AS Paul Wolfowitz dan dua warga negara Belgia di Jakarta, tahun lalu. Pelakunya Mohammad Isa, santri dari pesantren Cileduk, Jakarta. Kepada TEMPO, di hadapan Buchari, Iskandar pernah mengaku terlibat percobaan pembunuhan Dubes Paul Wolfowitz dan dua turis Belgia yang dianggapnya kafir. Perintah membunuh itu, katanya, atas restu Tengku Bantaqiyah. Kisah itu mungkin lebih jelas bila kelak sang "panglima" dibawa di depan pengadilan, tak lama lagi. Sayangnya, sang imam Tengku Bantaqiyah hingga kini belum dipegang pihak berwajib. Dia entah berada di mana. Agus Basri Laporan Muchsin Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus