Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA hakim pengadilan di Papua memvonis bebas Komisaris Polisi Marthen Renouw. Mungkin jika Reno berada di luar habitatnya, misalnya di Jakarta, nama Reno tak dikenal. Tapi di Papua, ia polisi ”digdaya”. Bertugas selama 29 tahun di sana membuat polisi ini dekat dengan siapa pun, termasuk para ”jawara” kayu. Kedekatan inilah yang akhirnya membuat ia ditangkap dan diadili. Ia dituduh menerima suap dari para pembalak hutan—kejahatan yang menurut Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban membuat negara rugi Rp 45 triliun per tahun.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan data, sepanjang September 2002 hingga 2003 para pembalak mengguyurkan uang lebih dari Rp 1 miliar. Dengan dakwaan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Pencucian Uang, jaksa menuntut Reno tiga tahun penjara. Tuntutan ini ringan, karena pelanggaran terhadap pasal-pasal gratifikasi—yakni menerima hadiah yang dimaksudkan agar seorang pejabat melakukan atau tidak melakukan sesuatu—menurut undang-undang diganjar hukuman minimal empat tahun. Dengan dalih jaksa tak bisa menghadirkan para pengirim uang yang disebut hakim sebagai ”saksi kunci”, majelis hakim mengambil putusan bulat memvonis bebas Reno.
Tentu saja para pembalak yang mengirim uang ke rekening Reno langsung lenyap begitu polisi tersebut duduk di kursi terdakwa. Semestinya jaksa lebih keras mencari mereka. Tapi saksi kunci lenyap, hakim pun punya ”dalih” membebaskan terdakwa.
Bukan sekali ini saja pengadilan Papua membebaskan terdakwa pembalak hutan. Dua tahun terakhir, setidaknya ada 21 pembalak yang divonis bebas oleh pengadilan di daerah itu. Menteri Kaban, yang geram dengan fakta ini, telah melaporkan kasus tersebut ke Komisi Yudisial. Kaban meminta lembaga pengawas martabat hakim itu memeriksa seluruh hakim yang mengadili dan memvonis bebas para terdakwa penggangsir kayu.
Putusan bebas Reno membuktikan hakim terlalu kaku berpegang pada hukum acara pidana. Meminjam istilah pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satryo, hakim terpaku pada sistem pembuktian konvensional. Padahal seorang hakim dituntut terus ”menggali” hukum dan berani melakukan terobosan. Hakim jangan terpaku pada bukti yang ada. Yang terpenting, putusannya tidak mengkhianati rasa keadilan masyarakat.
Saksi yang kabur bukan ”harga mati” untuk membuktikan seseorang melakukan tindak kejahatan. Jika demikian acuannya, penegakan hukum untuk membasmi kejahatan korupsi akan gagal. Hilangnya para saksi pemberi suap, misalnya, akan membuat koruptor bebas. Padahal jelas kejahatan pembalakan liar terjadi karena ada kerja sama antara pencoleng kayu dan aparat pemerintahan.
Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan UU Pencucian Uang pun sudah meluaskan pengertian yang disebut ”alat bukti”. Menurut undang-undang, alat bukti itu bisa berupa informasi yang diterima, dikirim, atau disimpan secara elektronik, atau dokumen berupa gambar, peta, rancangan, atau angka yang terekam secara elektronik. Dengan pengertian seperti ini, mestinya hakim bisa terus menggali setumpuk bukti dokumen pengiriman uang. Mungkin vonis Reno lain ceritanya jika hakim berani melakukan terobosan model begini.
Karena meninggalkan dugaan terjadi ”apa-apa” antara terdakwa dan para penegak hukum, sebaiknya Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung memeriksa jaksa dan hakim kasus Reno ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo