Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bersama Kok Tak Bisa

Menurut Kalla, Unit Kerja tumpang tindih dengan wewenangnya, juga menabrak tugas Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Sekretaris Kabinet.

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memutuskan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi tetap jalan terus. Banyak orang bertanya: bagaimana nasib hubungan Presiden dan Wakil Presiden?

Pertanyaan yang pantas diajukan. Sebab, Unit Kerja, yang diumumkan pembentukannya oleh Presiden SBY pada 26 Oktober, mendapat tentangan keras dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Kalla, Unit Kerja tumpang tindih dengan wewenangnya, juga menabrak tugas Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Sekretaris Kabinet. Presiden SBY meluruskan bahwa Unit Kerja tidak mengambil keputusan. Unit itu hanya membantu Presiden memantau pelaksanaan program dan reformasi—dua agenda di mana presiden dibantu oleh wakil presiden. Posisi wakil presiden, dalam bahasa SBY, adalah ”included” dan bukan ”excluded”.

Polemik pecah di depan publik. Ini sesuatu yang tak lazim. Sejak SBY-JK memimpin negeri dua tahun lalu, memang ada satu-dua perbedaan pandangan. Dalam soal Unit Kerja, yang terjadi bukan lagi sekadar perbedaan. Mungkin ”retak” lebih menggambarkan apa yang terjadi, meskipun kata ”pecah” bisa terdengar berlebihan. Dengan menakar kadar hubungan seperti sekarang, banyak yang menilai pasangan ini sulit untuk kembali bersatu dalam Pemilu 2009.

Bicara tahun 2009 barangkali terlalu jauh. Yang patut dipikirkan adalah menjaga keutuhan dua pemimpin pilihan rakyat secara langsung itu. Pekerjaan besar memperbaiki negeri hanya bisa dilakukan jika kedua pemimpin negeri kompak, berjalan searah, dan saling mendukung.

Sebenarnya, di antara perbedaan gaya dan kepribadian, keduanya punya potensi besar untuk bekerja sama. Jusuf Kalla adalah seorang pedagang yang bereaksi dan bertindak serba cepat. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono bergerak lebih hati-hati dan berpikir sistematis. Bukankah berbagai persoalan Republik perlu dijawab dengan kombinasi keduanya? Yang satu mematangkan konsep dan ide, yang lain melaksanakannya dengan cepat. Soalnya tinggal duduk berdua lebih sering, menyamakan persepsi, dan mengatur ritme kerja yang cocok menurut tantangan yang dihadapi.

Barangkali kombinasi unik kedua pemimpin ini termasuk faktor yang diperhitungkan rakyat ketika memenangkan pasangan ini pada Pemilu 2004. SBY-JK merebut 67 juta suara, 60 persen dari total suara pemilih. Perolehan suara ini bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah suara Partai Golkar ditambah suara Partai Demokrat, dua partai tempat kedua pemimpin itu berasal. Kepercayaan besar yang sudah diberikan rakyat itulah yang perlu dipertahankan sampai akhir. Untuk mempertahankan hal itu, keduanya punya pekerjaan rumahnya sendiri.

Presiden SBY, dengan tetap mempertahankan Unit Kerja, memang telah menunjukkan bahwa ia punya wewenang penuh mengangkat pembantu atau lembaga yang diperlukan pemerintahannya. Ia berhasil menunjukkan kepada rakyat bahwa sistem pemerintahannya adalah presidensial—dan bukan ”wapresidensial” seperti guyonan yang disebarkan entah oleh siapa melalui pesan pendek.

Itu saja tidak cukup. Presiden SBY perlu lebih banyak bicara dengan tokoh-tokoh partai politik tentang Unit Kerja. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2006 yang membentuk unit itu perlu disosialisasikan agar dipahami lebih luas.

Jusuf Kalla menghadapi dilema yang tidak ringan. Dia bukan saja tidak dicalonkan sebagai wakil presiden oleh Partai Golkar, melainkan juga dipecat oleh Akbar Tandjung, ketua umum lama, sebagai anggota Dewan Penasihat Golkar. Tapi sekarang ini Jusuf Kalla adalah Ketua Umum Partai Golkar. Dan di bawah kendali Kalla, Beringin berbalik posisi dari partai ”oposisi” menjadi pendukung SBY-JK.

Untuk ”jasa” Partai Golkar itu, Jusuf Kalla perlu memberikan imbalan kepada partai, misalnya kursi lebih banyak di kabinet. Tapi kekuasaan memberikan kursi kabinet itu tidak ada padanya melainkan ada di tangan Presiden SBY. Serba sulit. Jika Kalla memaksa, konflik dengan SBY bisa lebih terbuka. Bila Kalla mengalah, giliran Partai Golkar yang menekannya. Kabar bahwa Wakil Ketua Umum Partai Golkar menyerahkan daftar nama-nama calon menteri langsung ke tangan Presiden SBY boleh dianggap sebagai tekanan kepada Kalla agar berusaha lebih keras memasukkan orang Golkar ke ”dalam”. Tak ada cara lain. Jusuf Kalla perlu lebih mampu ”menguasai” partai yang dipimpinnya.

Selain itu, memperbaiki hubungan dengan SBY adalah hal utama yang perlu dilakukan Kalla, sesuatu yang tidak sulit untuk pribadi super-fleksibel seperti wakil presiden itu.

Yang terpenting, SBY-JK perlu menunjukkan bahwa slogan kampanye ”Bersama Kita Bisa” tidak terpeleset menjadi ”Bersama Kok Tak Bisa”—seperti dalam kasus Unit Kerja. Yang lain, misalnya tiket untuk Pemilu 2009, sebaiknya dipikirkan kemudian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus