Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah harga yang harus dibayar untuk kedatangan seorang presiden dari negara adidaya: pedagang kali lima tak bisa berjualan, angkutan umum berubah rute, pemakai ponsel tak bisa menelepon atau mengirim pesan, lalu lintas warga mendadak dibatasi, bahkan ada sekolah yang terpaksa diliburkan. Lalu, di Kebun Raya Bogor yang asri itu tiba-tiba bertengger dua helipad dengan konstruksi yang kukuh permanen.
George Walker Bush datang ke Bogor hanya untuk 10 jam. Tetapi Presiden Amerika Serikat itu telah menyedot perhatian masyarakat Indonesia lebih dari 10 hari. Dia datang untuk berbincang-bincang dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun sebagian rakyat Indonesia menentang kedatangan Bush. Maka, pertemuan ini pun menjadi sebuah teater absurd, belum pasti akan menghasilkan kesepakatan yang bermanfaat untuk rakyat Indonesia, tetapi ongkos yang dikeluarkan sudah begitu besar. Aksi demo digelar hampir setiap hari di berbagai kota, terutama dilakukan oleh ormas Islam. Bagi pendemo, kedatangan Bush lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Kain putih dibentangkan bermeter-meter untuk tempat orang membubuhkan tanda tangan menolak kedatangan Tuan Bush.
Apa sebenarnya agenda penting pembicaraan Bush dengan Susilo Bambang Yudhoyono? Tentu saja ada yang sangat penting dari kacamata kedua pemerintah. Kalau hanya ngobrol basa-basi sambil minum teh dan menikmati keindahan Istana Bogor dengan kebun rayanya, tentu amat mubazir bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Terlepas dari penting atau tidaknya agenda pembicaraan, sebenarnya kalau mau berhemat dan pertemuan berlangsung tenang—tapi mungkin kurang greget dan tak ada unsur dramatisnya—pertemuan kedua presiden itu tak harus dilakukan di Istana Bogor. Adakan saja pertemuan itu di Bali. Pasti tak akan ada perubahan rute angkutan kota—kebetulan memang di Bali tak ada angkutan kota. Pertemuan bisa diadakan di hotel mewah kawasan Nusa Dua atau Kuta atau Sanur, terjamin tak akan menggusur pedagang kaki lima. Atau, kalau pertemuan mensyaratkan harus menggunakan simbol kenegaraan yaitu istana kepresidenan, Bali pun punya Istana Tampaksiring. Tak perlu lagi membangun helipad, mungkin hanya perlu sedikit renovasi. Yang pasti, kekhawatiran keamanan terganggu karena ada aksi unjuk rasa menentang Bush sangatlah kecil. Orang Bali tak punya masalah dengan Bush, bahkan kedatangan Bush bisa menguntungkan citra Bali sebagai pulau yang aman setelah diluluh-lantakkan oleh teroris semacam Amrozi. Kalau Bush mau ke Bali, lalu mengajak warga Amerika tidak takut datang ke Bali untuk berlibur, jangan-jangan citra Bush bisa naik.
Mungkin ada pertimbangan lain, kenapa pertemuan antara Bush dan Yudhoyono tidak di Bali. Barangkali Bush ingin suasana lain. Ia pernah ke Bali pada 2003 dan memilih tempat pertemuan di sebuah hotel mewah di Pantai Kuta. Ya, barangkali saat ini Bush ingin menghirup udara pegunungan di Bogor. Atau Bush berencana menanam pohon tertentu di Kebun Raya Bogor, yang nantinya bisa dikenang sebagai “Pohon Bush”. Maklum, sudah banyak tokoh dunia yang menanam pohon atau bunga di kebun raya terbesar di Indonesia ini.
Cuma, repotnya itu. Tuan Bush hanya berkunjung 10 jam terhitung saat turun di Halim Perdanakusuma, sementara ratusan jam dikonsentrasikan untuk ”keamanan” dan miliaran rupiah dihabiskan untuk tamu kita ini. Mahal betul ongkosnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo