Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA arti warna pakaian? Di atas panggung peragaan busana, mungkin warna sekadar penanda tren dan musim. Tapi, di atas panggung politik, warna adalah identitas, yang bisa menjadi masalah sangat sensitif, yang memungkinkan seorang ketua partai politik menegur keras politikus yang ingin dicalonkan dari partainya dalam pemilihan gubernur karena tidak memakai pakaian dengan warna kebanggaan partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa lalu, warna pakaian tidak hanya menjadi penanda politik, tapi juga sosial. Dalam bukunya yang menarik, The Secret Lives of Color, Kassia St. Clair bercerita bagaimana para penguasa Cina, Jepang, juga Eropa, menerapkan aturan ketat dalam berpakaian. Petani harus berpakaian ala petani, bangsawan harus berpakaian layaknya bangsawan. “Warna kemudian menjadi pembeda yang signifikan dalam bahasa sosial ini. Warna-warna mati, warna tanah, cokelat muda, sangat jelas menunjukkan kelas petani pedalaman. Sedangkan warna-warna cerah, seperti merah menyala, hanya dibolehkan bagi sedikit kalangan,” tulis St. Clair.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu terjadi karena pewarna cerah sangat mahal. Warna-warna itu didapatkan dari material atau mineral yang harus diproses khusus dan rumit. Tanpa diatur dalam undang-undang yang ketat pun para petani sederhana tidak mampu membeli kain berwarna cerah. Plinius Tua (Pliny the Elder), seorang pemikir Romawi abad pertama, menceritakan bahwa para pelukis klasik Yunani hanya memakai empat warna: hitam, putih, merah kusam, dan kuning. Plinius mungkin berlebihan, karena orang Mesir sebelumnya telah menggunakan lebih banyak warna. Tapi darinya kita bisa paham bahwa palet warna di masa itu sangat terbatas.
Hal ini berubah sejak abad ke-19, setelah Revolusi Industri berkembang dan bisa menciptakan bahan-bahan sintetis kimia untuk pigmen warna. Demokratisasi warna pun terjadi. Semua orang bisa mengakses warna apa pun yang mereka mau dengan harga terjangkau. Dinding sosial yang selama ini dibatasi oleh warna jebol.
Tapi hidup itu seperti pendulum yang bergerak ke kanan dan ke kiri secara konstan. Pemakaian warna yang tak lagi terbatas memunculkan kejenuhan. Warna dianggap sebagai pengacau keagungan seni, bahkan dianggap “dosa” karena dinarasikan sebagai ketidakjujuran, menutupi kemurnian. Saat itu colore (warna) dan disegno (gambar) dihadap-hadapkan sebagai dua hal yang harus dipilih. Disegno itu murni dan intelek, sedangkan colore itu vulgar dan binal (juga banal).
Sastrawan Amerika abad ke-19 dari periode Renaisans Amerika, Herman Melville, bahkan menulis cukup keras soal ini, “[Warna] hanyalah tipu daya halus yang sebenarnya tidak terdapat dalam substansi, tapi hanya dilakukan di permukaan.”
Le Corbusier, arsitek Swiss-Prancis yang mempelopori gerakan Purisme dalam seni, bahkan mengatakan, “Mari kita serahkan kepada para pencelup pakaian saja kegembiraan sensorik dari kaleng cat.” Tentu, ini bukan berarti Le Corbusier antiwarna, karena dalam Architectural Polychromy pada 1931 ia membuat panduan warna untuk arsitektur. Hanya, yang dia tolak adalah penggunaan warna secara berlebih.
Di Indonesia saat ini, warna-warna terang benderang justru dipakai sebagai identitas sebagian besar partai. Beberapa diambil dari sejarah, tapi banyak juga yang dipilih karena warna itu dianggap mewakili nilai tertentu. Merah itu berani, putih itu suci, hijau itu islami.
Masalahnya, anggapan seperti itu sangat rentan pada perubahan. Saat ini warna jambon (pink) dianggap feminin, sedangkan biru adalah maskulin. Padahal, di Eropa pada Abad Pertengahan, keadaannya terbalik. Jambon yang bagian dari merah adalah maskulin dan biru adalah feminin. Merah dan kuning itu dianggap warna hangat, sedangkan hijau dan biru itu sejuk. Tapi perbedaan ini hanya bisa dilacak hingga abad ke-18. Ada banyak bukti yang menyatakan bahwa, di Abad Pertengahan, biru dianggap sebagai warna hangat, bahkan merupakan warna paling hangat.
Pada akhirnya, warna hanya soal persepsi subyektif. “Warna, bagaimanapun, harus dipahami sebagai kreasi budaya yang subyektif. Kita tidak bisa mendapatkan definisi universal yang tepat dan bermakna bagi semua warna, seperti halnya kita tidak bisa menentukan koordinat sebuah tempat dalam mimpi,” tulis St. Clair.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo