RASANYA tak banyak gunanya sekadar mengulang apa yang hampir
selalu dibicarakan sekitar Reformasi 1517 yang melahirkan
Protestanisme itu. Atau Anda sudah tahu. Atau Anda tak perlu
tahu.
Apa yang mau saya bicarakan ini rasanya masih amat jarang
dibicarakan orang. Dan cukup berharga untuk Anda ketahui.
Yaitu ini: apakah artinya - bila ada - gebrakan Martin Luther
466 tahun yang lalu itu bagi kehidupan poitik umumnya dan
filsafat politik khususnya? Lebih tandas, apakah filsafat
politik reformasi itu reformasi filsafat politik?
Yang teramat menyolok, dari reformasi Luther dalam kaitannya
dengan politik, adalah sifatnya yang mendua. Ambigius. Di sini
begini, di situ begitu. Plin-plan, kata orang dulu. Kurang
konsisten, istilah yang lebih keren.
Dalam hal-hal agama dan teologia, wah wah wah, Luther itu tak
kepalang radikalnya. Revolusionernya. Terjang sana terjang sini,
tanpa kompromi. Tapi dalam soal-soal politik? Minta ampun
melempemnya. Tak banyak bersikap. Sekali-kalinya bersikap justru
amat konservatif. Bahkan reaksioner.
Secara teologis, dengan garangnya Luther menerjang semua
penyekat hirarkis yang memisah-misahkan orang-orang seiman.
Tidak ada imam, tidak ada awam! - teriaknya. Setiap orang adalah
imam bagi dirinya. Hati saya merekah bangga punya penganjur
seperti Luther yang seorang ini.
Tapi secara sosial? Hirarki dalam masyarakat itu perlu dan
alamiah. Tak dapat dan tak boleh diubah-ubah. Misalnya, Anda
'cuma' seorang pesuruh. Wah, jangan katakan 'cuma'. Itulah
tempat yang telah disediakan Allah bagi Anda. Bekerjalah
sebaik-baiknya sebagai pesuruh, itulah tugas suci Anda. Kepingin
promosi dapat merupakan tanda ketidak puasan Anda terhadap
pengaturan Allah.
Itulah sebabnya, pada satu pihak Luther membela mati-matian
kesucian hati nurani pribadi. Tapi pada pihak lain, tanpa ragu,
ia menerima lembaga perbudakan dan kerja paksa.
Sebab, semua itu ada tempatnya. Dan untuk setiap tempat, ada
aturannya. Raja, misalnya, adalah untuk memerintah. Lalu rakyat:
hak dan kewajiban mereka adalah diperintah. Bagaimana bila raja
memerintah sewenang-wenang? Itu juga haknya. Rakyat yang baik
adalah yang patuh dan taat. Pembalasan itu di tangan Tuhan,
bukan di tangan rakyat. Malah siapa tahu Tuhan mempergunakan
raja yang lalim untuk menguji kesetiaan iman dan kepatuhan kita.
Sebab itu, padamkan api revolusi. Selama-lamanya. Terus terang,
Saudara, padam pula simpati dan hormat saya pada pemikiran
politik seperti ini.
Tetapi Luther pernah menulis, "Bila kita naik ke surga, kita
mesti berbicara kepada Allah dalam bahasa yang baru ....Bila
kita ada di bumi, kita mesti berbicara dalam bahasa kita sendiri
.... Kita mesti dengan cermat membedakannya, yaitu bahwa dalam
hal-hal ilahi kita berbicara dengan bahasa yang sama sekali
berbeda dari dalam hal-hal politik."
Bahwa keduanya berbeda, saya kira tak satu pun dari kita
mempermasalahkannya. Yang aneh ialah mengapa Luther begitu
menonjolkan perbedaan, dan tidak justru mencari apa yang dapat
menghubungkan keduanya.
Yang menjadi sebab utama tentunya ialah, anehnya, justru
sikapnya yang revolusioner dan radikal itu. Revolusioner dan
radikal terhadap teologia dan filsafat politik gereja Katolik
Roma abad pertengahan.
Luther amat berkepentingan untuk menonjolkan perbedaan antara
agama dan masyarakat justru karena keduanya praktis lebur
menjadi satu di dalam corpus christianum, dalam respublica
christiana, Abad Pertengahan.
Luther menuduh gereja Katolik Roma mempolitikkan agama dan
mengagamakan politik. Dan ia melihat misi reformasi yang khusus
adalah membebaskan teologia dari politik! Depolitisasi agama.
Dan, bukan kebetulan, kalau pada kurun waktu yang relatif
bersamaan - 1513 - terbit sebuah buku dengan misi yang sama,
walau dari sudut yang lain. Saya harap Anda jangan kaget kalau
saya sebut nama pengarang buku itu. Ialah Niccolo Machiavelli.
Ia ingin membebaskan politik dari teologia. Deagamanisasi
politik.
Apa itu depolitisasi agama? Serahkan urusan politik kepada orang
politik. Orang agama hanya mengurus agama. Itu barangkali
pengaturan terbaik, sekiranya keduanya - agama dan politik - tak
pernah bertumpang-tindih. Dalam Abad Pertengahan, ada soal-soal
politik yang dianggap punya dimensi religius. Karena itu, gereja
mencampuri politik. Luther sebaliknya. Ia melihat ada soal-soal
religius yang punya aspek politis. Karena itu, dalam hal-hal
tertentu, penguasa politik boleh mencampuri soal agama. Bukankah
salah satu tugas seorang raja, menurut Luther, adalah
memperkembangkan, atau paling sedikit melindungi, agama?
Jadi orang politik boleh mencampuri agama, tapi tidak
sebaliknya. Machiavelli terbukti lebih berhasil dari Luther.
Tetapi, biarpun mau, gereja a la Luther memang tak akan mampu
berbuat apa-apa. Pertama, gereja yang bebas sepenuhnya dari
politik tidak akan mempunyai etika politik yang relevan untuk
ditawarkan. Dan kedua, sikap antiinstitusi Luther sendiri.
Gereja, bagi Luther, adalah societas peecta. Tidak memerlukan
lembaga atau peraturan. Tidak mengenal pembedaan atau
pengkotakan. "Kita dibaptiskan," tulisnya, "tidak sebagai raja
atau pangeran atau rakyat ....Sebutan bagi kita pun cuma satu.
Bukan raja atau pangeran atau rakyat, tapi Kristen. Itu saja."
Tetapi, agama yang tak terorganisisasi dengan rapi bagaimana
dapat menjadi kuat? Tanpa melembaga, bagaimana ia dapat
"bersaing" dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain? Tanpa
lembaga kemasyarakatan yang memadai, yang terjadi adalah lembaga
kekuasaan politik menjadi satu-satunya kekuatan, tanpa imbangan.
Hasll akhirnya: masyarakat yang otoriter.
Mungkin karena itulah reformasi Luther tidak hanya dihubung
-hubungkan dengan Machiavelli, tapi juga dengan Adolf Hitler.
Ya, reformasi 1517 barangkali merupakan cerita sukses dalam
bidang teologia. Tidak dalam bidang politik. Paling sedikit
sampai reformator yang lain, yang tak terlalu pemberang seperti
Luther, mencoba menata kembali koordinasi dan relasi antara
agama dan politik. Yang satu tidak membawahkan yang lain.
Kedua-duanya diletakkan di bawah satu kuasa dan koordinasi:
Allah. Dan agama pun antara lain berfungsi sebagai wadah
pembinaan dan pendidikan politik. Awas, saya tidak mengatakan
pembinaan dan pendidikan politikus. Orang itu, Calvin namanya.
Eka Darmaputera adalah pendeta, dosen, dan doktor dalam bidang
hubungan agama dan masyarakat yang diperolehnya 1982 di
Boston, AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini