Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik reformasi: reformasi ...

Luther ingin membebaskan teologia dari politik, niccolo machiavelli ingin membebaskan politik dari teologia. reformasi 1517 sukses dalam teologia, tidak dalam politik. perlu koordinasi agama dan politik.

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASANYA tak banyak gunanya sekadar mengulang apa yang hampir selalu dibicarakan sekitar Reformasi 1517 yang melahirkan Protestanisme itu. Atau Anda sudah tahu. Atau Anda tak perlu tahu. Apa yang mau saya bicarakan ini rasanya masih amat jarang dibicarakan orang. Dan cukup berharga untuk Anda ketahui. Yaitu ini: apakah artinya - bila ada - gebrakan Martin Luther 466 tahun yang lalu itu bagi kehidupan poitik umumnya dan filsafat politik khususnya? Lebih tandas, apakah filsafat politik reformasi itu reformasi filsafat politik? Yang teramat menyolok, dari reformasi Luther dalam kaitannya dengan politik, adalah sifatnya yang mendua. Ambigius. Di sini begini, di situ begitu. Plin-plan, kata orang dulu. Kurang konsisten, istilah yang lebih keren. Dalam hal-hal agama dan teologia, wah wah wah, Luther itu tak kepalang radikalnya. Revolusionernya. Terjang sana terjang sini, tanpa kompromi. Tapi dalam soal-soal politik? Minta ampun melempemnya. Tak banyak bersikap. Sekali-kalinya bersikap justru amat konservatif. Bahkan reaksioner. Secara teologis, dengan garangnya Luther menerjang semua penyekat hirarkis yang memisah-misahkan orang-orang seiman. Tidak ada imam, tidak ada awam! - teriaknya. Setiap orang adalah imam bagi dirinya. Hati saya merekah bangga punya penganjur seperti Luther yang seorang ini. Tapi secara sosial? Hirarki dalam masyarakat itu perlu dan alamiah. Tak dapat dan tak boleh diubah-ubah. Misalnya, Anda 'cuma' seorang pesuruh. Wah, jangan katakan 'cuma'. Itulah tempat yang telah disediakan Allah bagi Anda. Bekerjalah sebaik-baiknya sebagai pesuruh, itulah tugas suci Anda. Kepingin promosi dapat merupakan tanda ketidak puasan Anda terhadap pengaturan Allah. Itulah sebabnya, pada satu pihak Luther membela mati-matian kesucian hati nurani pribadi. Tapi pada pihak lain, tanpa ragu, ia menerima lembaga perbudakan dan kerja paksa. Sebab, semua itu ada tempatnya. Dan untuk setiap tempat, ada aturannya. Raja, misalnya, adalah untuk memerintah. Lalu rakyat: hak dan kewajiban mereka adalah diperintah. Bagaimana bila raja memerintah sewenang-wenang? Itu juga haknya. Rakyat yang baik adalah yang patuh dan taat. Pembalasan itu di tangan Tuhan, bukan di tangan rakyat. Malah siapa tahu Tuhan mempergunakan raja yang lalim untuk menguji kesetiaan iman dan kepatuhan kita. Sebab itu, padamkan api revolusi. Selama-lamanya. Terus terang, Saudara, padam pula simpati dan hormat saya pada pemikiran politik seperti ini. Tetapi Luther pernah menulis, "Bila kita naik ke surga, kita mesti berbicara kepada Allah dalam bahasa yang baru ....Bila kita ada di bumi, kita mesti berbicara dalam bahasa kita sendiri .... Kita mesti dengan cermat membedakannya, yaitu bahwa dalam hal-hal ilahi kita berbicara dengan bahasa yang sama sekali berbeda dari dalam hal-hal politik." Bahwa keduanya berbeda, saya kira tak satu pun dari kita mempermasalahkannya. Yang aneh ialah mengapa Luther begitu menonjolkan perbedaan, dan tidak justru mencari apa yang dapat menghubungkan keduanya. Yang menjadi sebab utama tentunya ialah, anehnya, justru sikapnya yang revolusioner dan radikal itu. Revolusioner dan radikal terhadap teologia dan filsafat politik gereja Katolik Roma abad pertengahan. Luther amat berkepentingan untuk menonjolkan perbedaan antara agama dan masyarakat justru karena keduanya praktis lebur menjadi satu di dalam corpus christianum, dalam respublica christiana, Abad Pertengahan. Luther menuduh gereja Katolik Roma mempolitikkan agama dan mengagamakan politik. Dan ia melihat misi reformasi yang khusus adalah membebaskan teologia dari politik! Depolitisasi agama. Dan, bukan kebetulan, kalau pada kurun waktu yang relatif bersamaan - 1513 - terbit sebuah buku dengan misi yang sama, walau dari sudut yang lain. Saya harap Anda jangan kaget kalau saya sebut nama pengarang buku itu. Ialah Niccolo Machiavelli. Ia ingin membebaskan politik dari teologia. Deagamanisasi politik. Apa itu depolitisasi agama? Serahkan urusan politik kepada orang politik. Orang agama hanya mengurus agama. Itu barangkali pengaturan terbaik, sekiranya keduanya - agama dan politik - tak pernah bertumpang-tindih. Dalam Abad Pertengahan, ada soal-soal politik yang dianggap punya dimensi religius. Karena itu, gereja mencampuri politik. Luther sebaliknya. Ia melihat ada soal-soal religius yang punya aspek politis. Karena itu, dalam hal-hal tertentu, penguasa politik boleh mencampuri soal agama. Bukankah salah satu tugas seorang raja, menurut Luther, adalah memperkembangkan, atau paling sedikit melindungi, agama? Jadi orang politik boleh mencampuri agama, tapi tidak sebaliknya. Machiavelli terbukti lebih berhasil dari Luther. Tetapi, biarpun mau, gereja a la Luther memang tak akan mampu berbuat apa-apa. Pertama, gereja yang bebas sepenuhnya dari politik tidak akan mempunyai etika politik yang relevan untuk ditawarkan. Dan kedua, sikap antiinstitusi Luther sendiri. Gereja, bagi Luther, adalah societas peecta. Tidak memerlukan lembaga atau peraturan. Tidak mengenal pembedaan atau pengkotakan. "Kita dibaptiskan," tulisnya, "tidak sebagai raja atau pangeran atau rakyat ....Sebutan bagi kita pun cuma satu. Bukan raja atau pangeran atau rakyat, tapi Kristen. Itu saja." Tetapi, agama yang tak terorganisisasi dengan rapi bagaimana dapat menjadi kuat? Tanpa melembaga, bagaimana ia dapat "bersaing" dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain? Tanpa lembaga kemasyarakatan yang memadai, yang terjadi adalah lembaga kekuasaan politik menjadi satu-satunya kekuatan, tanpa imbangan. Hasll akhirnya: masyarakat yang otoriter. Mungkin karena itulah reformasi Luther tidak hanya dihubung -hubungkan dengan Machiavelli, tapi juga dengan Adolf Hitler. Ya, reformasi 1517 barangkali merupakan cerita sukses dalam bidang teologia. Tidak dalam bidang politik. Paling sedikit sampai reformator yang lain, yang tak terlalu pemberang seperti Luther, mencoba menata kembali koordinasi dan relasi antara agama dan politik. Yang satu tidak membawahkan yang lain. Kedua-duanya diletakkan di bawah satu kuasa dan koordinasi: Allah. Dan agama pun antara lain berfungsi sebagai wadah pembinaan dan pendidikan politik. Awas, saya tidak mengatakan pembinaan dan pendidikan politikus. Orang itu, Calvin namanya. Eka Darmaputera adalah pendeta, dosen, dan doktor dalam bidang hubungan agama dan masyarakat yang diperolehnya 1982 di Boston, AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus