Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Eksekusi oleh para istri

Beberapa kasus pembunuhan yang didalangi oleh istri korban sendiri, karena didorong oleh rasa sakit hati dan dendam.(krim)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDENGAR suara ribut-ribut, Wenna terbangun dan langsung mengambil badik dari balik bantal. Di hadapannya, tahu-tahu sudah berdiri Lasakbi, 27, saudara sepupu istrinya, yang berdiri dengan sikap menantang. Wenna, yang biasa main tabok terhadap istri, langsung menendang. Pergumulan terjadi hingga sebuah kipas angin terjatuh. Beberapa jurus kemudian, badik beralih tangan dan langsung terhunjam ke perut Wenna. Pengemudi itu pun mati, disaksikan Lasakbi dari bawah kolong ranjang. Sementara itu, dua rekannya, Bakri dan Samsudin, segera mengambil langkah seribu begitu selesai mengikat istri Wenna. Dawasiah, 27, istri Wenna, memang dijumpai anaknya, Darwis, 11, dalam keadaan tangan dan kaki terikat, serta mulut terbekap sepotong kain. Tapi, pekan lalu, ia ditangkap polisi karena diduga terlibat pembunuhan terhadap suaminya, yang terjadi Oktober lalu di rumah Jalan Baru, Kelurahan Kalibaru, Jakarta Utara. Lasakbi, yang telah ditangkap lebih dulu, memang mengaku bahwa pembunuhan didalangi Dawasiah. Ibu beranak satu yang tampak tua itu memang mengaku sakit hati terhadap suaminya, yang berperangai kasar dan suka mabuk-mabukan. Selain sering digebuk, ia juga mengaku sudah tiga kali hampir dibunuh dengan badik. Lasakbi sendiri, yang pernah tinggal di rumah Wenna, sakit hati karena dituduh berbuat serong dengan Dawasiah, hingga akhirnya diusir. Maka, menurut dugaan polisi, kloplah dendam keduanya hingga mereka pun merancan pembunuhan. Tapi Dawasiah menyangkal terlibat. "Saya memang dendam terhadap suami, tapi saya mencintai dia, karena kami terikat anak," katanya pada polisi Jakarta Utara yang memeriksanya. Dalam tahanan, istri ketiga Wenna - konon Wenna punya enam istri - itu tampak menderita, sekaligus merasa geram. "Kalau saya berhadapan dengan pembunuh suami, saya akan membunuhnya kembali," ujarnya. Peristiwa pembunuhan Wenna itu miripdengan yang terjadi di Palembang, Oktober lalu. Korbannya bernama Adi Hasyim, 53, pedagang es yang berpenghasilan lumayan, tapi galak terhadap anak-istrinya. Dia kedapatan tak bernyawa di rumahnya di Kampun 10 Ulu dengan leher terikat tali plastik. Pembunuhnya, menurut polisi Palembang, tak lain istrinya, yang dibantu anak dan pembantunya. Latar belakang pembunuhan: sakit hati. Rasiyem, istri Hasyim, kepada polisi mengaku bahwa sering mendapat perlakuan kasar dan jarang diberi uang belanja. Husin, 19, anak tertua dari empat bersaudara yang sering kena damprat, merasa kasihan melihat ibunya. Tahun lalu, katanya kepada TEMPO, ia mengaku mencuri uang Rp 3,5 juta dan emas sekitar 175 gram yang disembunyikan ayahnya. Semua hasil curian itu, "saya berikan kepada Ibu." Apa lacur, sebelum sempat dimanfaatkan, diketahui Hasyim. Sejak itulah ia semakin kasar dan ringan tangan. Maka, ibu dan anak itu pun berembuk bagaimana cara mengakhiri perlakuan yang tak pada tempatnya itu. Mafiah, 22, pembantu di rumah itu, ternyata mendukung rencana nyonya rumah. Alasannya, "Bapak sering marah kalau saya menolak 'kemauannya'." Pada waktu yang sudah ditentukan, mereka pun menyediakan tali. Lalu, ketika Hasyim tertidur pulas, lehernya dijerat. Tubuh lelaki tua itu pun berkelojotan sebentar kemudian terkulai lemas. Untuk menghilangkan kecurigaan bahwa Hasyim mati karena terbunuh, tali yang mengikat lehernya diatur sedemikian rupa hingga seolah-olah ia mati gantung diri. Apa mau dikata, polisi yang melakukan pengusutan akhirnya bisa membuktikan bahwa Hasyim mati secara paksa oleh tangan orang lain. "Waktu itu kami lagi dirasuk setan," ujar Husin kepada TEMPO. Terbunuhnya Hasyim dan Wenna tampaknya hanya untuk menggenapi "kasus Suratman" di Cidodol, Jakarta Selatan, awal Oktober lalu. Perajin jok itu dihabisi dengan cara yang jarang dilakukan pembunuh: disetrum. Ia meninggal akibat ulah istrinya sendiri, yang bekerja sama dengan seorang pemuda ganjais - pacarnya - dan dua orang lain (TEMPO, 22 Oktober). "Saya tidak tahu belakangan ini kok banyak istri yang tega membunuh suami sendiri," kata seorang perwira polisi di Kodak Metro Jaya. "Barangkali karena sekarang zaman emansipasi wanita."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus