MENDENGAR suara ribut-ribut, Wenna terbangun dan langsung
mengambil badik dari balik bantal. Di hadapannya, tahu-tahu
sudah berdiri Lasakbi, 27, saudara sepupu istrinya, yang berdiri
dengan sikap menantang. Wenna, yang biasa main tabok terhadap
istri, langsung menendang. Pergumulan terjadi hingga sebuah
kipas angin terjatuh. Beberapa jurus kemudian, badik beralih
tangan dan langsung terhunjam ke perut Wenna.
Pengemudi itu pun mati, disaksikan Lasakbi dari bawah kolong
ranjang. Sementara itu, dua rekannya, Bakri dan Samsudin, segera
mengambil langkah seribu begitu selesai mengikat istri Wenna.
Dawasiah, 27, istri Wenna, memang dijumpai anaknya, Darwis, 11,
dalam keadaan tangan dan kaki terikat, serta mulut terbekap
sepotong kain. Tapi, pekan lalu, ia ditangkap polisi karena
diduga terlibat pembunuhan terhadap suaminya, yang terjadi
Oktober lalu di rumah Jalan Baru, Kelurahan Kalibaru, Jakarta
Utara.
Lasakbi, yang telah ditangkap lebih dulu, memang mengaku bahwa
pembunuhan didalangi Dawasiah. Ibu beranak satu yang tampak tua
itu memang mengaku sakit hati terhadap suaminya, yang
berperangai kasar dan suka mabuk-mabukan. Selain sering digebuk,
ia juga mengaku sudah tiga kali hampir dibunuh dengan badik.
Lasakbi sendiri, yang pernah tinggal di rumah Wenna, sakit hati
karena dituduh berbuat serong dengan Dawasiah, hingga akhirnya
diusir. Maka, menurut dugaan polisi, kloplah dendam keduanya
hingga mereka pun merancan pembunuhan. Tapi Dawasiah menyangkal
terlibat. "Saya memang dendam terhadap suami, tapi saya
mencintai dia, karena kami terikat anak," katanya pada polisi
Jakarta Utara yang memeriksanya. Dalam tahanan, istri ketiga
Wenna - konon Wenna punya enam istri - itu tampak menderita,
sekaligus merasa geram. "Kalau saya berhadapan dengan pembunuh
suami, saya akan membunuhnya kembali," ujarnya.
Peristiwa pembunuhan Wenna itu miripdengan yang terjadi di
Palembang, Oktober lalu. Korbannya bernama Adi Hasyim, 53,
pedagang es yang berpenghasilan lumayan, tapi galak terhadap
anak-istrinya. Dia kedapatan tak bernyawa di rumahnya di Kampun
10 Ulu dengan leher terikat tali plastik.
Pembunuhnya, menurut polisi Palembang, tak lain istrinya, yang
dibantu anak dan pembantunya. Latar belakang pembunuhan: sakit
hati. Rasiyem, istri Hasyim, kepada polisi mengaku bahwa sering
mendapat perlakuan kasar dan jarang diberi uang belanja. Husin,
19, anak tertua dari empat bersaudara yang sering kena damprat,
merasa kasihan melihat ibunya. Tahun lalu, katanya kepada TEMPO,
ia mengaku mencuri uang Rp 3,5 juta dan emas sekitar 175 gram
yang disembunyikan ayahnya.
Semua hasil curian itu, "saya berikan kepada Ibu." Apa lacur,
sebelum sempat dimanfaatkan, diketahui Hasyim. Sejak itulah ia
semakin kasar dan ringan tangan.
Maka, ibu dan anak itu pun berembuk bagaimana cara mengakhiri
perlakuan yang tak pada tempatnya itu. Mafiah, 22, pembantu di
rumah itu, ternyata mendukung rencana nyonya rumah. Alasannya,
"Bapak sering marah kalau saya menolak 'kemauannya'."
Pada waktu yang sudah ditentukan, mereka pun menyediakan tali.
Lalu, ketika Hasyim tertidur pulas, lehernya dijerat. Tubuh
lelaki tua itu pun berkelojotan sebentar kemudian terkulai
lemas.
Untuk menghilangkan kecurigaan bahwa Hasyim mati karena
terbunuh, tali yang mengikat lehernya diatur sedemikian rupa
hingga seolah-olah ia mati gantung diri. Apa mau dikata, polisi
yang melakukan pengusutan akhirnya bisa membuktikan bahwa Hasyim
mati secara paksa oleh tangan orang lain. "Waktu itu kami lagi
dirasuk setan," ujar Husin kepada TEMPO.
Terbunuhnya Hasyim dan Wenna tampaknya hanya untuk menggenapi
"kasus Suratman" di Cidodol, Jakarta Selatan, awal Oktober lalu.
Perajin jok itu dihabisi dengan cara yang jarang dilakukan
pembunuh: disetrum. Ia meninggal akibat ulah istrinya sendiri,
yang bekerja sama dengan seorang pemuda ganjais - pacarnya - dan
dua orang lain (TEMPO, 22 Oktober).
"Saya tidak tahu belakangan ini kok banyak istri yang tega
membunuh suami sendiri," kata seorang perwira polisi di Kodak
Metro Jaya. "Barangkali karena sekarang zaman emansipasi
wanita."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini