SAMBIL melangkah, Sersan Polisi Dudung menyiapkan pistolnya.
Rumah di tengah sawah itu memang ibarat kandang macan. Di situ
tinggal Nursalim, 50, pemimpin rampok yang ditakuti di
Pemangkat, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, bersama anak,
istri, dan menantunya.
Rumah itu tampak sepi. Maklum, meski masih siang dan matahari
bersinar, hujan sedang turun. Tanpa ragu Dudung membuka pintu
dan melangkah masuk. Tiba-tiba saja ia diteriaki, "Perampok!"
Dan sebelum anggota polisi itu bisa berbuat sesuatu, sebilah
parang panjang menhantam lengan kanannya, pistolnya mentah
dan sekali lagi mata parang terayun ke punggung Dudung. Nursalim
mengamuk.
Aspan, petugas Keamanan Rakyat (Kamra) yang menunggu di luar,
menjadi sasaran berikutnya. Lelaki setengah umur itu sama sekali
tak berdaya menghadapi Nursalim yang sedang beringas. Apalagi ia
lagi tak enak badan. Maka, dalam sekejap, lengan kirinya putus
terbabat parang dan detik berikutnya, pinggang dan punggungnya
menjadi sasaran. Ia pun rebah bersimbah darah dan seketika mati.
Anggota polisi dan Kamra yang lain tak mau mengambil risiko.
Sebab, mereka tak ada yang berpistol, sedang pistol satusatunya
yang ada di tangan Dudung kini beralih ke tangan Nursalim.
Mereka cuma bisa mengangkat korban dan pergi mencari bantuan.
Sore itu juga, 19 Oktober lalu, wakil komandan polisi setempat,
Mayor V. Suwarso, memimpin penyergapan. Lewat megafon, Nursalim
diimbau untuk menyerah. Tapi, bandit kawakan itu rupanya
bertekad mati daripada menyerahkan pergelangan tangannya
diborgol. Maka, setelah empat jam menunggu dan dari dalam rumah
belum juga ada tanda-tanda bakal menyerah, mereka langsung
menyergap.
Kali ini, residivis asal Madura itu tak sempat lagi memainkan
parangnya. Ia roboh tersambar peluru. Anaknya, Margelap, 22, dan
menantunya, Mistar, 20, juga mati diterjang peluru. Cuma Pusi,
kemanakan Nursalim yang menyerah. Tapi seorang wanita, yang
diduga sering ikut beroperasi bila Nursalim terjun ke lapangan,
sempat melarikan diri.
Penyergapan terhadap kornplotan Nursalim itu bermula dari
perampokan di siang bolong yang terjadi di rumah Kurnadi. Banyak
petunjuk bahwa pelakunya adalah kawanan Nursalim. "Dia memang
seorang residivis yang ditakuti," kata polisi Pemangkat. Pernah
meringkuk di penjara selama 15 tahun karena membunuh, Nursalim
kemudian menjadi pemimpin perampok dan selalu bekerja dengan
kekerasan. Masyarakat di situ tahu betul bagaimana cara kawanan
itu beraksi.
"Kalau mereka mau mencuri atau merampok, siang hari pun jadi,"
tutur seorang tokoh masyarakat Sebangkau. Sekali waktu,
katanya, kawanan Nursalim enak saja menyabit padi, padahal yang
empunya sedang ada di sawah. Di kali yang lain, tanpa permisi
dan mengetuk pintu, ia memikul padi yang baru dipanen dari rumah
seorang penduduk. Tak ada yang berani melawan atau melapor.
"Mereka takut dibunuh," katanya lagi.
Tempat persembunyian Nursalim tak lain rumahnya sendiri di
Kampung Parit Jawa, Sebangkau, di Kecamatan Pemangkat sekitar
162 km dari Pontianak, atau 22 km dari Singkawang arah ke utara.
Kepada tetangganya di Parit Jawa itu ia mengatakan, "siapa saja
yang tak kukenal berani masuk rumah akan kuberi ayunan parang."
Tekadnya itu rupanya ia pegang teguh, hingga Dudung (kini masih
dirawat di rumah sakit tentara di Pontianak) dan Aspan menjadi
korban.
Setelah kematian Nursalim dan dua anak buahnya, masyarakat
Pemangkat merasa tenang karena tindak kejahatan menurun. Namun,
polisi sempat meningkatkan patroli karena ada desas-desus,
penjahat yang bersimpati kepada Nursalim akan menuntut balas.
Namun, setelah dicek, kata Letnan Kolonel Sumintar, komandan
polisi Singkawan, ternyata tidak benar. Dari seorang tokoh asal
Madura yang dekat dengan Nursalim, polisi mendapat kepastian
bahwa tak akan terjadi apa-apa.
Di daerah pesisir barat Kalimantan Barat, penjahat yang ditakuti
memang yang berasal dari Jawa Timur, khususnya Madura. Selain
kelompok Nursalim, ada beberapa kelompok lain yang sering
mengganggu. "Penduduk setempat memang ada juga yang menjadi
penjahat, tapi umumnya hanya pencuri tradisional," kata Letnan
Dua Supardi, komandan polisi Pemangkat.
Karena dinilai telah berjasa, Aspan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang, dengan upacara militer.
Aspan, yang pada tahun 1960-an pernah ikut aktif menumpas
gerombolan pengacau PGRS/Paraku, menurut Supardi, dikenal
sebagai "orang yang tak pernah menolak tugas". Ayah tujuh anak
itu di kampungnya juga dikenal bisa mengobati penyakit, seperti
koreng dan demam. Bahkan, menurut Sumintar, Nursalim pun pernah
berobat padanya.
Kegiatan sampingnya itu tampakny bisa menunian kehiduDan
keluarganya. Sebab sebagai anggota Kamra, selama ini ia hanya
mendapat honor berupa 10 kg beras setiap bulan. Honor berupa
uang biasanya berasal dari masyarakat, bila kebetulan ada yang
menaruh simpati. Sebab itu, Sumintar mengusulkan kepada Kadapol
Kalimantan Barat agar Aspan bisa diberi pangkat kehormatan
sebagai prajurit polisi. Dengan begitu, ia bisa mendapat pensiun
Rp 30 ribu. "Meski ia sudah dianggap sebagai pahlawan,
keluarganya 'kan perlu makan," kata Sumintar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini